Friday, 29 March 2024, 15:13

gaulislam edisi 197/tahun ke-4 (1 Ramadhan 1432 H/ 1 Agustus 2011)

 

Problem anak sekolah nggak jauh dari urusan belajar. Umumnya anak sekolah pada merinding kalau mendengar kosakata belajar. Lho? Bukannya belajar adalah tugasnya? Nggak juga anak sekarang mah. Bayangan yang ada di benak adalah buku-buku pelajaran tebal, rumus yang sulit, duduk manis di depan meja dan berbagai pikiran negatif lainnya. Belum lagi ancaman dan suara ortu yang menggelegar menyuruh kamu untuk belajar. Wuih, ini adegan belajar apa uji nyali sih? Pantes aja banyak yang pada bête kalau disuruh belajar. Masuk kamar bukannya buka buku malah buka fesbuk. Bukannya nulis PR malah nulis sms dan memperbarui status di FB. Bukannya menghafal rumus tapi malah ngapal lagu yang tertanam di memori ponsel. Walah, kapan pinternya?

Bro en Sis, kalau bukan dari kesadaran diri kamu sendiri memang belajar tuh berat terasa. Bukannya jadi pinter tapi malah menjadi beban tersendiri. Kalau tak segera dicari solusinya, bukan tak mungkin kamu malah jadi stres dan anti sama aktivitas belajar. Nah, biar kondisi ini tak berlarut-larut mending kamu baca tulisan ini sampai tuntas biar ada perubahan dalam diri kamu, at least dalam menyikapi belajar agar tak menjadi sesuatu yang menakutkan buatmu. Sip!

 

Benahi niat dulu

‘Belajar yang rajin biar pinter trus jadi dokter.’; ‘Belajar yang bener biar nilaimu bagus, gampang dapat kerjaan dan dapat gaji jutaan.’; ‘Belajar yang giat biar dapat ranking satu di kelas.’

Nah, ada nggak di antara kamu yang nggak didogma dengan kalimat-kalimat di atas? Pasti hampir semua pernah atau bahkan sering. Jadilah, niat belajar si anak diarahkan hanya sebatas pencapaian tujuan-tujuan duniawi semata. Tak heran bila tujuan duniawi itu tak tercapai, maka ortu akan marah dan kecewa karena menganggap cara belajar si anak tak mencapai hasil sesuai yang diharapkan.

Bagi si anak, dia akan menterjemahkan kalimat dogma di atas dengan caranya sendiri. Akhirnya, menghalalkan segala cara menjadi kebiasaan. Mencontek saat ujian, misalnya. Ketika ditanya dengan entengnya dia menjawab bahwa mencontek itu adalah sarana membahagiakan ortu yang selalu menginginkan anaknya dapat nilai bagus tanpa peduli caranya halal atau haram. Niatnya bener tapi caranya salah. Maka tujuan yang bener tidak bisa dicapai dengan cara yang salah, misalnya mencontek.

Inilah yang nantinya menjadi cikal-bakal para koruptor di negeri ini. Oleh karena itu, ayo luruskan niatmu belajar mulai sekarang. Allah Swt. berfirman tentang keutamaan orang yang beriman dan berilmu: niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS al-Mujaadilah [58]: 11)

Sobat muda muslim pembaca setia gaulislam, cukup ayat ini saja sebagai motivasi kita dalam belajar dan menuntut ilmu. Bila pun ada manfaat duniawi semisal nilai bagus, dapat pekerjaan enak dan gaji banyak maka itu adalah efek samping dan bukan menjadi tujuan utama dan terakhir.

Niatkan belajar untuk menjadi pintar karena Allah semata. Niat ini nanti berimbas pada tujuan kamu berikutnya. Belajar juga tidak melulu menghadap buku yang tebalnya sampai bisa bikin bantal. Belajar adalah saat kita mendapatkan sesuatu yang baru dari sebuah proses sehingga menjadikan kita sosok manusia yang lebih baik dan bijak.

Boys and gals, jangan jadi remaja kuper (kurang pergaulan) yang bisanya cuma mengutip dari buku tanpa peduli realitas kehidupan sebenarnya. Belajar dari kehidupan dan tentang kehidupan ini jauh lebih asik dan bikin cerdas daripada berkutat dengan buku saja. Tapi itu bukan berarti belajar dari buku jadi nggak penting loh. Intinya, jadikan momen belajar menjadi hal yang menyenangkan baik itu dari buku ataupun dari nonbuku. Siap ya?

 

Tujuan belajar seorang muslim

Kehidupan seorang muslim tak jauh dari mengharap ridho Allah Swt. Begitu juga dengan tujuan belajar,  tak jauh dari tujuan besar ini. Bila ridho Allah yang menjadi tujuan, maka tak ada ceritanya seorang muslim akan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.

Akhir-akhir ini banyak pihak yang menjanjikan gelar sarjana mulai S1, S2 bahkan S3 dengan cara yang tak terpuji. Dengan hanya membayar sekian juta rupiah tanpa perlu ujian dan masuk kuliah, seseorang bisa mendapatkan ijazah. Inilah efek dari kalimat-kalimat dogma di atas yang melupakan bahwa belajar ini juga dalam rangka meraih ridho Allah, bukan hanya materi semata. Belajar akhirnya menjadi sesuatu yang dibisniskan, tidak lagi mempunyai nilai ruhiyah yang ada hubungannya dengan kehidupan sesudah mati. Padahal setiap amalan kita di dunia selalu ada pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Ijazah bukan segalanya. Banyak orang mempunyai ijazah sekolah sampai deretan gelar yang dipunyai, tapi kontribusinya terhadap masyarakat kosong. Bisa-bisa orang seperti ini adalah ulat yang menggerogoti daun alias penyakit di dalam masyarakat. Contohnya saja koruptor dan para pejabat di negeri ini yang rela memalsukan ijazah agar bisa menduduki jabatan tertentu. Apa sih yang nggak bisa dibeli di negeri ini? Jadi kalo sekadar urusan ijazah, siapa aja bisa. Tapi ilmu yang didapat dari sebuah proses belajar, itu yang mahal harganya dan tak bisa dibeli dengan uang. Inilah yang seharusnya kita perjuangkan untuk didapatkan dengan cara yang halal.

Belajar seorang muslim juga tidak melulu ilmu-ilmu dunia saja. Begitu sebaliknya, seorang muslim juga tidak hanya belajar tentang ilmu akhirat an sich. Keduanya harus seimbang agar kehidupan akhirat bisa diraih tanpa meninggalkan kehidupan dunia. Seorang muslim yang pintar ilmu fisika dan matematika, juga wajib bagi dirinya untuk belajar ilmu Islam. Bahkan, belajar dien ini hukumnya adalah fardhu ain bagi tiap-tiap muslim. Belajar ilmu dunia juga penting tapi hukumnya sebatas fardhu kifayah yang apabila ada muslim lain yang sudah mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban itu. Jadi, disini kita bisa menempatkan skala prioritas belajar kita pada tempat yang seharusnya. Jangan malah kebalik-balik ya.

 

Untuk orang tua

Anak adalah cermin diri orang tua. Kita tak ingin cermin dibelah karena buruk rupa orang yang bercermin. Maksudnya adalah menjadi apa dan siapa anak-anak kita kelak, itu tergantung apa yang ditanamkan dan diajarkan orang tua pada anak-anaknya. Biarlah mungkin kita dulu didogma tujuan belajar adalah agar mudah mencari kerja dan dapat gaji yang banyak. Tapi janganlah itu kita teruskan pada anak-anak yang akan menjadi penerus generasi ini. Kita putus lingkaran ini dan kita buat lingkaran baru dengan memahamkan pada anak bahwa tujuan belajar adalah semata-mata demi meraih ridho Allah. Betapa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu pengetahuan.

Kita tanamkan pada anak-anak kita agar mereka menjadi generasi sebagaimana para salafus salih terdahulu. Mereka cerdas dalam ilmu dunia semisal matematika, fisika, kimia, bahasa asing dan lain sebagainya. Tapi pada saat yang sama mereka juga ahli dalam ilmu fiqh, tafsir, hadits dan hafidz al-Quran. Dunia dan akhirat seimbang. Jangan sampai anak-anak kita pintar fisika dan matematika tapi sholatnya malas. Boro-boro hafidz al-Quran, baca al-Quran-nya saja tak bisa. Naudzhubillah. Jangan pula anak-anak kita menjadi anak-anak yang seolah-olah rajin sholat tapi ternyata akhlaknya bejat.

Kita tanamkan pada diri anak-anak bahwa bekerja itu tidak harus berada di kantor. Tidak pula harus menjadi PNS sehingga menghalalkan segala cara dengan menyuap agar bisa diterima. Belajar adalah benar-benar mempelajari apa yang dibutuhkan oleh kehidupan. Ajari anak kita untuk survive dalam kondisi apa pun. Krisis moneter, pemecatan massal, ambruknya ekonomi dunia karena sistem kapitalis, itu semua tak akan merisaukan dirinya. Bekal keimanan yang kuat cukup sudah sebagai modal untuk bisa berdiri tangguh menantang zaman.

 

Finally…

Belajar itu ternyata tak semenakutkan seperti yang kamu bayangkan. Mulai sekarang luruskan niat kamu, tujuan kamu dan pehamaman kamu tentang makna belajar. Nggak ada yang melarang kamu untuk fesbuk-an, sms-an, nyetel musik, atau hal-hal mubah lainnya sakadar untuk refreshing. Tapi kamu kudu tahu diri dong dan bertanggung jawab terhadap diri kamu sendiri. Kamu kudu tahu kapan harus belajar, kapan harus fesbuk-an dan kapan harus istirahat.

Yakin deh, itu semua demi kebaikan kamu kok. Nggak usah menunggu diperintah ortu bila waktu belajar tiba. Bahkan belajar itu juga nggak harus menunggu waktu-waktu tertentu. Kamu aja sms-an juga nggak menunggu jam-jam tertentu kan? Bila untuk sms-an aja bisa, maka untuk belajar so pasti lebih bisa. Sms-an yang nggak akan keluar ulangan aja kamu bela-belain apalagi belajar yang pastinya bikin kamu lebih pintar dan bijak, maka harus lebih dibela-belain.

Skala prioritas belajar kamu juga sudah tahu dong. Belajar ilmu dien (agama) itu fardhu ain. Belajar ilmu selainnya atau ilmu-ilmu dunia itu juga penting tapi fardhu kifayah. Jangan sampai bingung ya. Mulai sekarang, sejak habis baca artikel ini, harus ada perubahan yang berarti dalam pola belajar kamu. Punyai tanggung jawab bahwa belajar ini adalah untuk dirimu sendiri (dan kalo udah bisa sebarkan lagi ke yang lain) demi meraih ridho Allah. Insya Allah, dunia akhirat kamu bakal cerah bila ini semua kamu lakoni dengan kesadaran penuh sebagai seorang muslim. Kerjaan dan gaji? Nggak usah khawatir, rezeki kamu nggak bakal diambil orang kok. Belajar aja yang rajin, ilmu dien dan selainnya. Selebihnya, yakini bahwa Allah Mahamengatur rizki. Siap ya? [ria: riafariana@gmail.com]

5 thoughts on “Belajar? Asik-asik Aja Tuh!

  1. dgn ilmu kita dapat memraih kebahagiaan dunia dan akhirat..Aamiiin….
    so..
    yuk kta belajar lbh smangat demi mraih ridho-Nya….n nggak mls2 lg…^_^

Comments are closed.