Tuesday, 23 April 2024, 15:05

gaulislam edisi 391/tahun ke-8 (1 Rajab 1436 H/ 20 April 2015)

 

Saya berharap kamu nggak salah baca judulnya. Bukan bergerah (kata ini memang nggak baku), tetapi bergairah. Kalo yang gerah nyari ilmu besar kemungkinan memang nggak minat, walaupun belajarnya di ruangan berpenyejuk udara. Tetap aja ngerasa kegerahan alias merasa nggak tenang. Nah, banyak nggak di antara kamu yang begini? Ngerasa gerah kalo lagi belajar? Bawaannya malas dan nggak enak. Tetapi kalo disuruh maen senangnya bukan maen. Waduh, kalo kamu kayak gitu, bisa dipastikan nggak berminat belajar, nggak semangat mencari ilmu. Bener kan? Kalo jawabanmu iya, maka insya Allah pas nih kamu baca gaulislam. Eit, tunggu dulu. Setelah baca, jangan kamu buang lembaran gaulislam ini ya. Hargai ilmu yang kamu dapatkan. Ok? Sip!

Memiliki passion alias gairah itu perlu lho. Memang sih, bukan cuma ketika belajar, saat makan pun perlu gairah. Hehehe.. kalo soal makanan langsung ijo dah matanya. Apalagi makanan yang kamu sukai. Sesuatu yang kamu inginkan dan kamu bersemangat untuk mendapatkannya akan memberikan dorongan yang kuat. Beda banget dengan yang nggak memiliki hasrat, udah payah dan gampang nyerah. Perjuangannya nggak maksimal.

Nah, lebih mudah namanya dalam ajaran agama kita adalah niat. Passion itu kaitannya dengan niat. Kalo udah ada niat, maka kita akan tergerak untuk meraih keinginan kita. Niat yang kuat akan berimbas pada upaya yang maksimal. Sambil diiringi dengan agar mendapat hasil. Jika pun gagal, setidaknya kita sudah berusaha semaksimal kita bisa. Tetap ada nilainya (pahala), selain tentunya pengalaman.

 

Belajar ilmu agama itu utama

Sobat gaulislam, belajar ilmu agama, yakni seputar Islam, adalah fardhu ‘ain alias kewajibannya ditekankan kepada individu muslim. Nggak bisa diwakili oleh muslim lainnya. Apa saja yang fardhu ‘ain? Belajar baca al-Quran, itu wajib ‘ain. Nggak bisa diwakilkan. Harus berusaha agar bisa membaca al-Quran, lebih keren lagi bisa mahir bacanya (makhrojul huruf dan tajwidnya), plus bisa menghapalnya dan bahkan menafsirkannya. Selain itu, shalat. Kudu bisa bacaannya dan gerakannya. Nggak bisa diwakilkan kepada muslim lainnya. Kalo belum bisa harus belajar terus. Masih banyak ilmu agama lainnya yang wajib dipelajari dan diamalkan. Tetap semangat mendapatkannya.

Bagaimana dengan mencari ilmu umum? Kalo ilmu selain ilmu agama, mencarinya berdasarkan kecukupan. Disebut fardhu kifayah. Jadi, kalo misalnya di tempat tinggalmu nggak ada bidan yang akan membantu dalam proses melahirkan, sementara untuk nunggu bidan yang mau tinggal di kampung itu sulit, maka kamu yang perempuan yang tinggal di kampungmu itu, punya kewajiban belajar ilmu kebidanan agar bisa dipraktekkan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan kaum muslimin di daerahmu. Jika sudah ada nih, maka yang lainya tidak punya kewajiban belajar ilmu yang sama. Sebab, sudah cukup terwakili oleh kamu.

Sobat gaulislam, belajar ilmu agama itu lebih utama. Sebab, ilmu ini yang akan mengantarkan kita ke surga. Jadi, kudu lebih bergairah lagi belajar ilmu agama. Lebih keren lagi memang ilmu dunia diraih, ilmu untuk bekal ke akhirat juga diraih. Keduanya bisa diambil. Kalo belum bisa dua-duanya, setidaknya belajar ilmu agama adalah prioritas.

 

Teladan sepanjang masa

Yuk, kita coba menggali banyak cerita di masa lalu yang bisa menjadi inspirasi kita dalam belajar, khususnya belajar ilmu agama. Semoga saja beberapa kisah yang akan dituliskan di sini bisa memberi inspirasi dan solusi dalam belajar.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Yuk, kita mengenal beberapa sosok ulama dan orang-orang keren di masa lalu dan gairahnya dalam mencari ilmu. Saya kutip dari beberapa halaman website, salah satunya dari muslim.or.id. Berikut hasil kutipannya dengan beberapa modifikasi dan editing seperlunya agar kamu bisa memahaminya dengan mudah.

Pertama, tentang semangat mendatangi majelis ilmu lebih awal. Adalah Syaikh Abdullah bin Hamud az-Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu Ali al-Qaali. Abu Ali memiliki kandang ternak di samping rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya di sana. Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud az-Zubaidi, tidur di kandang ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang guru sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya sebelum terbit fajar. Nah, az-Zubaidi mengetahui hal tersebut dan langsung berdiri mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh seseorang dan khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu Ali berteriak, “Celaka, siapa Anda?”. Kemudian az-Zubaidi berkata, “Aku muridmu, az-Zubaidi”. Abu Ali berkata, “Sejak kapan Anda membuntuti saya? Demi Allah tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih tahu tentang ilmu nahwu selain Anda, maka pergilah tinggalkan saya” (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, al-Qifthi, 2/119).

Selain kisah di atas, ada juga kisahnya Ibnu Jandal al-Qurthubi. Beliau berkata, saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan hingga keluar darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, al-Qifthi, 2/363 dengan saduran).

Sobat gaulislam, sekarang silakan interospeksi diri kita masing-masing. Rasa-rasanya, zaman sekarang makin banyak orang malas belajar Islam. Semoga tidak denganmu.

Kedua, selain semangat dalam mendatangi majelis ilmu, juga kita perlu belajar bagaimana para ulama membelanjakan hartanya demi mendapatkan ilmu. Khalaf bin Hisyam al-Asadi berkata, “Saya mendapatkan kesulitan dalam salah satu bab di kitab nahwu. Maka saya mengeluarkan 80.000 dirham hingga saya bisa menguasainya” (Ma’rifatul Qurra’ al-Kibar, adz-Dzahabi, 1/209)

Ayah dari Yahya bin Ma’in adalah seorang sekretaris Abdullah bin Malik. Ketika wafat, beliau meninggalkan 100.000 dirham untuk Yahya. Namun Yahya bin Ma’in membelanjakan semuanya untuk belajar hadits, tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang bisa ia pakai (Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar, 11/282)

Ali bin Ashim bercerita, “Ayahku memberiku 100.000 dirham dan berkata kepadaku: ‘pergilah (untuk belajar hadits) dan saya tidak mau melihat wajahmu kecuali kamu pulang membawa 100.000 hadits’” (Tadzkiratul Huffadz, adz-Dzahabi, 1/317)

Ketiga, kisah lainnya terkait semangat dalam mencari ilmu walau jarak yang ditempuh amatlah jauh. Abu ad-Darda radhiallahu ’anhu mengatakan, “Seandainya saya mendapatkan satu ayat dari al-Quran yang tidak saya pahami dan tidak ada seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad (yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya”. Sa’id bin al-Musayyab juga mengatakan, “Saya terbiasa melakukan rihlah berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits” (Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/100). Keren!

Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah) ke Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut (Tadzkiratul Huffadz, 2/630).

Keempat, terkait dengan konsetrasi belajar. Imam Abu Bakar bin al-Anbari Rahimahullah melihat seorang budak wanita yang cantik lagi jelita di pasar sedang dijual. Dia tertarik kepadanya dan membelinya. Kemudian budak itu dibawa ke rumahnya.

Ibnu al-Anbari bercerita, “Saya disibukkan dengan mengkaji sebuah masalah dari beberapa masalah-masalah ilmiah. Hati saya menjadi terganggu dengan budak tadi dari mengkaji masalah-masalah tersebut. Saya menyuruh pembantu saya untuk membawa budak tersebut ke pasar dan menjualnya. Dia tidak boleh mengganggu saya dari belajar ilmu. Pembantu saya membawanya ke pasar untuk menjualnya. Budak itu berkata, “Biarkan saya berbicara dengan Ibnu al-Anbari walau sekadar dua patah kata.” Dia membawa ke saya dan berkata, “Kenapa Anda menjual saya, apakah saya memiliki catat/aib?”

Ibnu al-Anbari menjawab, “Anda tidak memiliki aib, tapi Anda mengganggu belajar saya. (yakni pikiran saya selalu teringat kepadamu)”. Ketika kabar itu sampai ke Khalifah al-Radli Billah, beliaupun berkata, “Tidak mungkin ada yang lebih manis di hati orang tersebut melebihi manisnya ilmu.”

Demikianlah para ulama kita. Semoga Allah Ta’ala membakar semangat-semangat kita untuk mempelajari agama ini, walaupun tidak bisa seperti semangatnya para ulama, setidaknya mendekati mereka. Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita dalam mencari ilmu. Semangat dan bergairahlah! [O. Solihin | Twitter @osolihin]