Friday, 29 March 2024, 11:48

gaulislam edisi 420/tahun ke-9 (27 Muharram 1437 H/ 9 November 2015)

 

Sepuluh November, nggak lama lagi. Sehari setelah buletin ini terbit di tanggal 9 November 2015. Ya, sobat gaulislam, kamu semua pasti setuju, bahwa di setiap tanggal ini di masa lalu, pasti terjadi peristiwa pada seseorang atau banyak orang, entah di belahan Bumi mana. Yang bagi mereka, peristiwa tersebut selalu diingat. Menjadi sejarah yang tak akan terlupa di sepanjang usia.

Misal, dulu pas tanggal 10 November, ada yang lagi ngumpet di kandang sapi, dicari Bu Hari yang galak karena hutang yang nggak dibayar-bayar. Mungkin ada pula pas tanggal 10 November di tahun yang berbeda, lagi stres berat, diomelin Pak Hari karena lupa ngerjain PR. Atau mungkin, di tahun yang berbeda pula, ada yang berbunga-bunga karena sedang dilamar Mas Hari. Hmm… So sweet!

Apapun itu, semuanya cuma peristiwa kecil yang hanya menjadi sejarah bagi perseorangan atau kelompok saja. Iya kan? Beda halnya kalo kita tambahkan angka tahun spesial di belakangnya, menjadi 10 November 1945, pastilah ingatan bangsa ini akan tertuju pada sebuah peristiwa heroik yang terjadi di Kota Surabaya. Puluhan tahun silam, ratusan bahkan ribuan pejuang nan gagah berani telah gugur di kota itu. Berjuang demi melepaskan diri dari cengkraman penjajahan.

 

Sekadar seremonial

Mengenang 10 November 1945, selain mungkin ingat pada Bu Hari, Pak Hari, atau Mas Hari yang saya tulis tadi, ingatan kamu, juga bangsa ini pasti tertuju pada Hari Si Pahlawan yang cool abis itu. Eh, bukan. Maksudnya, Hari Pahlawan. Kata ‘Si’ kamu hilangkan saja.

Sobat gaulislam, untuk memperingati hari pahlawan ini, biasanya diadakanlah seremonial tertentu. Misalnya saja, upacara bendera, pagelaran kesenian, dan lain semacamnya. Yang sayangnya, ketika upacara atau seremonial lainnya usai digelar, maka usailah segalanya.

Jadi teringat dulu ketika saya masih di bangku SMP. Pas ketika ikut upacara di bawah terik matahari, saya kepanasan dan pingsan. Digotong ke puskesmas. Sejak saat itu, saya jadi kapok ikutan kayak begituan.

Lama-lama saya mulai mikir. Untuk apa sih ngadain seremonial mengenang pahlawan kalo nggak menghormati apa yang kita rayakan? Misalnya, capek-capek ikutan upacara nih. Tapi setelah upacara selesai, selesailah semuanya. Yang dilakuin malah perbuatan-perbuatan buruk yang seandainya para pahlawan itu hidup dan melihatnya, mereka tentu bersedih dan menangis. Contoh kelakuan nggak tahu diri itu, misalnya korupsi, gaul bebas, nenggak miras.

Para pahlawan di masa lalu telah mengorbankan segenap yang mereka miliki. Dari harta, tenaga, bahkan nyawa sekali pun untuk melepaskan negeri ini dari penjajahan. Dan setelah semuanya terwujud, kini malah digerogoti dengan yang namanya korupsi para pejabatnya. Menciptakan penderitaan baru di tengah masyarakat dengan mencaplok uang rakyat dan digunain untuk kepentingan diri sendiri. Jangan salah, jika negeri ini sudah terlalu banyak tikus-tikus berdasinya, bisa jadi ia akan ambruk dan terpuruk. Tak ada beda dengan masa ketika penjajahan dulu. Miskin, nestapa, menderita. Bedanya, ia dijajah oleh pemimpinnya sendiri. Bikin kesel saja mereka itu.

Para pahlawan di masa lalu, juga pastilah ingin hasil perjuangannya terus berkelanjutan. Akan tetapi, hasil perjuangan itu kini mulai dirusak bahkan oleh generasi mudanya sendiri dengan gaul bebas, pacaran, mengkonsumsi narkoba, dan lain semacamnya. Sadar atau tidak, mereka secara perlahan-lahan telah menggergaji tonggak kemerdekaan yang telah dibangun pahlawan. Tahu nggak, hancur atau jayanya sebuah peradaban, itu tergantung dari generasi mudanya. Apa yang bisa diharapkan sebuah bangsa jika para generasi mudanya suka teler dan hobi free seks? Jelas bangsa tersebut akan tumbuh menjadi bangsa teler dan bejat. Hancur deh. Emang!

 

Pahlawan pilihan

Sobat gaulislam, ngomongin soal pahlawan, kita harus berani membedakan, bahwasanya pahlawan itu sebenarnya ada dua macam, yaitu pahlawan sejati dan pahlawan abal-abal. Ketika kita ngomongin segerombolan maling misalnya, maka ukuran pahlawan bagi gerombolan itu tentulah seseorang yang pandai mengelabuhi tukang ronda, punya berjibun trik mencongkel pintu atau jendela, memiliki prestasi mencuri yang tak terkalahkan serta bermurah hati mendidik calon-calon pencuri handal penerus gerombolan pencuri. Namun, apakah layak ia disebut pahlawan sejati? Bagi kita, dia hanyalah pahlawan abal-abal. Ngaku pahlawan, padahal sebenarnya brengsek.

Taruhlah seseorang tentara gugur di medan perang. Tak hanya harta, tenaga, dan pikiran yang telah ia korbankan, bahkan juga nyawa. Tapi usut punya usut, tentara yang bersangkutan ternyata tentara sebuah negara komunis dan gugur ketika hendak menjajah negara lain dan menyebarkan ideologi komunis. Apakah tentara itu seorang pahlawan bagi negaranya? Pasti. Tapi sekali lagi, tak lebih dari sekadar pahlawan abal-abal menurut Islam.

Mari kita lihat juga seseorang yang berjuang guna menumbuh suburkan nasionalisme dan kesukuan. Di mana nasionalisme dan kesukuan itu sendiri, manakala tumbuh dengan subur di bumi ini, pasti juga akan mengarahkan penghuni bumi untuk membanggakan negeri dan sukunya sendiri. Acuh atas permasalahan saudara seiman hanya karena berbeda suku dan batas teritorial negara. Atau bahkan, rela untuk saling serang hanya karena saling klaim tapal batas dan berbagai persoalan sepele lainnya. Aneh, padahal mereka bersudara atas dasar iman dan Islam. Maka, apakah pahlawan nasionalisme dan kesukuan itu pahlawan sejati? Kamu tentu bisa menyulam sendiri jawabannya.

Sebaliknya, para pejuang yang berupaya sekuat tenaga membebaskan negerinya dari cengkraman penjajahan, jelas mereka adalah pahlawan sejati yang keren abis. Karena Islam sendiri adalah ideologi yang anti penjajahan. Seperti halnya para pejuang kita yang keren di masa lalu. Berjuang mati-matian hingga mati beneran guna memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan dari bangsa asing. Berkat jasa-jasa mereka, bentuk penjajahan, setidaknya secara militer, udah tinggal sejarahnya.

Selain itu, tentu para pejuang Islam, penyebar dakwah, merekalah sebenarnya yang paling pas menyandang gelar pahlawan sejati. Mengapa demikian? Lihatlah, berkat jasa-jasa mereka, berkat cucuran darah dan keringat mereka, kita semua yang hidup di jaman ini bisa mengenal Islam. Yang jika kita mau menjadikan Islam sebagai way of life, kita semua tidak hanya akan selamat di dunia, tapi juga akan selamat dan berbahagia ketika sudah pulang ke akhirat. Super sekali.Mantap tenan, Bro en Sis!

Itu sebabnya, di manakah sebenarnya letak penghormatan kita tujukan? Apakah pada pahlawan sejati atau pada pahlawan abal-abal? Orang yang masih waras akalnya, tentu akan menaruh hormat hanya pada mereka para pahlawan sejati. Mencarinya, untuk kemudian menerapkan jurus AT (amati dan tirukan) setiap hal-hal baik yang ada pada sang pahlawan sejati itu dalam diri kita.

Nah, yang jadi masalah sekarang ialah, bagaimana kita bisa ‘mengendus’ keberadaan para pahlawan sejati ini? Ah, gampang kok. Caranya nggak ribet-ribet amat. Pahlawan sejati ini mempunyai ciri, yakni memberikan pengaruh besar dalam kehidupan orang lain atau masyarakat. Tentunya pengaruh ini adalah pengaruh positif, bukan sebaliknya. Karena kalau yang diberikan adalah pengaruh negatif, bisa saja yang bersangkutan hanyalah pahlawan abal-abal, atau mungkin pahlawan kesiangan.

Kenali ciri ini, maka akan kamu temukan pahlawan sejati bertebaran di sekitarmu. Beberapa di anataranya boleh jadi adalah orang-orang terdekat. Misal, ayah dan ibumu. Tak diragukan lagi, jasa ayah dan ibu kepada anak-anaknya, adalah sebuah jasa yang tanpa pamrih. Mendidik dan membesarkanmu. Mengajarimu tentang keberadaan Sang Pencipta berikut RasulNya. Tanpa kehadiran mereka, kamu mungkin akan mati beberapa saat setelah dilahirkan.

Masih banyak pahlawan sejati selain kedua orang tuamu. Kamu hanya perlu mencarinya dalam kehidupanmu. Tak hanya orang yang masih hidup dan tinggal dekat denganmu, orang yang sudah meninggal pun bisa menjadi pahlawan sejati manakala perbuatan baik yang dilakukannya terhadapmu terus berkelanjutan meskipun yang bersangkutan sudah lama menghadap Ilahi.

Misalnya saja Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam. Beliau sudah wafat berabad-abad lamanya. Tinggal juga ribuan kilometer jauhnya dari rumahmu. Namun, beliau sangat layak mendapat gelar pahlawan sejati. Tidak hanya bagimu, tapi juga bagi setiap manusia. Berkat beliaulah, kita bisa mengenal Islam. Yang dengan Islam itu sendiri, jika kita benar-benar menjadikannya sebagai way of life, masa depan kita insya Allah terjamin. Baik masa depan di dunia, lebih-lebih lagi masa depan di akhirat.

Sobat gaulislam, jika kita ditanya orang, mau jadi apa kita? Pahlawan atau pecundang? Tentu kita akan langsung acungkan tangan dan menjawab keras, ingin jadi pahlawan! Namun pada kenyataannya, tidak semua mau menjadi pahlawan sejati. Malah yang ada biasanya jadi pahlawan abal-abal atau bahkan hanya sekadar pahlawan kesiangan. Yang bangun tidur selalu kesiangan sambil ileran. Hiii…

Mari sama-sama berupaya semaksimal mungkin guna menjadi pahlawan sejati. Karena kalo bukan kita, siapa lagi? Kalo bukan kita, maka jumlah para pahlawan sejati akan menurun dari waktu ke waktu. Hingga akhirnya menyentuh level langka, sulit dicari sehingga patut dilindungi. Naudzubillah!

Nyatanya pula, banyak yang mengeluh bahwa menjadi pahlawan sejati itu luar biasa sulit. Ah, sebenarnya nggak juga. Yang sulit sebenarnya simpel hanya dalam hal mengarahkan kemauan kita. Kita mau atau nggak menjalankan prosesnya. Itu saja. Selebihnya, coba terapkan ciri yang melekat pada pahlawan sejati dalam dirimu, yaitu memberikan pengaruh besar yang positif dalam kehidupan orang lain. Maka sejak kali pertama ciri itu melekat padamu, selamat, kamu sudah bisa dipanggil pahlawan sejati.

Itu sebabnya, sudah siapkah kamu untuk bergerak menjadi seorang pahlawan sejati bagi keluarga, lingkungan sekitar, dan juga bagi kaum muslimin? Siap dong ya. Karena kalo nggak siap, itu artinya kamu lebih siap dengan jalan hidup sebagai seorang pahlawan abal-abal, atau pahlawan kesiangan alias pecundang. Waduh! [Farid Ab | abfarid@outlook.com]