Tuesday, 19 March 2024, 18:52

gaulislam edisi 356/tahun ke-7 (22 Syawal 1435 H/ 18 Agustus 2014)
 

Hari Ahad kemarin, tanggal 17 Agustus 2014, Hari Kemerdekaan Indonesia. Hampir seluruh rakyat Indonesia bergembira dan merayakannya. Kok hampir? Bukan seluruh rakyat Indonesia? Hehehe.. emang yang masih bayi (apalagi baru lahir) sudah tahu soal ini? Termasuk yang sedang hilang akal? Itu sebabnya, tak semua rakyat Indonesia, termasuk yang juga kritis memahami persoalan. Misalnya, yang masih mempermasalahkan (kedengarannya ngeyel ya?) tentang apakah negeri kita sudah merdeka dalam arti yang sesungguhnya atau lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya? Ini menarik untuk disimak.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sepertinya kamu juga udah paham bener ya bahwa acara dalam perayaan kemerdekaan negeri kita ini lebih sering monoton alias itu-itu aja yang dominan. Apa tuh? Nggak jauh dari balap karung, lomba makan kerupuk, masukkin belut ke botol, dan panjat pinang (eh, ada juga sih upacaranya di pagi hari, hehehe…). Memang sih sebagai hiburan. Targetnya biar masyarakat bergembira. Ketika semua acara seperti itu selesai, masyarakat kembali menghadapi kondisi kehidupan yang sulit. Sebentar lagi bulan Oktober. Biasanya di bulan ini hampir selalu ada kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak). Di awal Agustus ini sebenarnya sudah ada pembatasan penjualan solar bersubsidi, dan pelarangan menjual premium di SPBU kawasan rest area di jalan tol. Waduh, bikin repot.

Acara hiburan semacam lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, lomba balap karung emang menghibur. Eh, sebenarnya istilah balap karung itu istilah yang salah lho. Harusnya lomba lari menggunakan karung, eh, pas nggak ya? Masih mending lah, dibanding balap karung kan berarti yang balapannya adalah karungnya bukan orangnya. Semua itu, hiburan yang melenakan. Masyarakat harus tahu bahwa ketika kita bergembira merayakan kemerdekaan, termyata SDA (Sumber Daya Alam) kita dikeruk habis oleh pihak asing yang sudah berkomplot dengan oknum pejabat yang tak bertanggung jawab.

 

Kisah sedih negeriku

Sobat gaulislam, pekan lalu saya berkesempatan ngobrol dengan sahabat saya semasa sekolah. Dia balik lagi ke Indonesia setelah malang-melintang hampir 10 tahun bekerja di negeri orang. Sahabat saya ini bekerja di perusahan minyak dan gas, baik saat ini maupun ketika jadi ekspatriat di Timur Tengah. Ngobrol dengannya, nggak bisa berhenti. Selalu ada cerita. Banyak hal diobrolkan, terutama tentang kegelisahannya terhadap kondisi negeri ini. Sebagai pekerja yang bergelut dengan sumber daya alam yang melimpah dan bernilai tinggi, sahabat saya ini amat menyayangkan pemerintah dalam mengelola SDA, terutama minyak, gas, dan bahan tambang (mineral).

Obrolan menjelang sore di rumahnya itu makin hangat, bukan saja karena sinar matahari sore yang mulai memasuki beranda rumahnya yang membuat kami harus hijrah ke ruang tamu jika tak mau dijemur, tetapi juga karena obrolannya seputar pengelolaan SDA yang tak semestinya itu menyulut keheranan tak habis pikir. Dia menyampaikan bahwa pemerintah–yang dalam kasus ini pelaksana teknisnya adalah Pertamina, sebenarnya diuntungkan oleh undang-undang migas. Pertamina kondisinya tak punya dana dan alat untuk bisa mencari sumber minyak. Maka, kemudian bekerjasama dengan perusahaan asing macam ExxonMobil, British Petroleum, Chevron, Total, ConocoPhillips dan perusahaan sejenisnya untuk melakukan pencarian sumber minyak. Jika sudah ketemu dan bernilai ekonomis, maka dilakukan persiapan penyediaan sarana untuk eksplorasi dan produksi.

Nah, itu sebenarnya ada aturan yang menguntungkan negara karena prosentase bagi hasilnya 80:20. Padahal untuk tahap studi kelayakan proyek sampai didapatkan sumber minyak dan kemudian menyediakan saran untuk eksplorasi dan produksi semuanya ditanggung pengelola, “dan itu bisa triliunan rupiah,” kata sahabat saya ini. Maka bagi hasil delapan puluh persen pemerintah Indonesia melalui Pertamina, dan 20 persen bagiannya pengelola sangat menguntungkan. “Tetapi yang terjadi, duitnya itu ke mana larinya?” sahabat saya ini mengajukan pertanyaan retoris karena sebenarnya hampir semua orang tahu bahwa korupsi di negeri kita sudah menjadi tradisi.

“Dari keuntungan tadi, setidaknya bisa digunakan untuk membuat fasilitas umum yang layak semacam rumah sakit murah dan biaya pendidikan murah yang disebar di setiap kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Saya belum yakin jika keuntungan itu harus dibagi ke-250 juta orang. Tetapi jika dialokasikan untuk fasilitas umum saya kira masih bisa,” panjang lebar dia berargumen.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Banyak cerita dihamburkan sahabat saya ini, namun rasanya tak cukup jika dituliskan di buletin ini. Tetapi kesimpulannya, kisah sedih bagi rakyat di negeri kita akan terus berlangsung jika pengelolaan SDA dini tetap buruk dan korupsi menjadi-jadi.

 

Merdeka, katanya

Dari tahun ke tahun sebenarnya atak ada yang berubah kok. Kita dicekoki dengan kata “merdeka” tetapi secara fakta sebenarnya belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dituliskan bahwa mer·de·ka /merdéka/ a 1 bebas (dr perhambaan, penjajahan, dsb); berdiri sendiri; 2 tidak terkena atau lepas dr tuntutan; 3 tidak terikat, tidak bergantung kpd orang atau pihak tertentu; leluasa. Nah, coba deh kamu perhatiin sekarang ini. Kira-kira dengan definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia ini, negeri kita sudah bisa disebut merdeka?

Secara fisik dalam arti militer memang kita tak ada penjajahan. Itu sudah berlangsung lama sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Tetapi apakah kita sudah merdeka dari penghambaan dan bisa berdiri sendiri, tidak terikat atau bergantung kepada orang atau pihak tertentu? Ternyata nggak kan? Kedelai aja masih impor, daging sapi masih impor, beras masih impor, bahkan lucunya, minyak mentah dari negeri ini diekspor, tetapi premium diimpor dari negeri lain. Menurut sahabat saya yang sudah dituliskan sebagian obrolannya di atas, merasa heran karena seharusnya—jika mau—pemerinah menambah jumlah kilang minyak untuk mengolah minyak mentah jadi bisa digunakan sebagai bahan bakar. Tidak harus impor yang tentu saja selain biayanya mahal, rawan korupsi dalam pengadaannya. Gawat!

So, jangan bilang merdeka deh, jika faktanya kita masih dijajah secara ekonomi dan politik. Politik juga? Kalo ekonomi sih jelas. Lha dijajah secara politik gimana penjelasannya? Gini, Bray. Ente kan tahu masalah pilpres kemarin? Siapapun pemenangnya, pasti ada kepentingan asing bermain di situ. Sudah jadi rahasia umum bahwa pemimpin negeri kita tak bisa menghindar dari kepentingan asing yang ingin berkuasa dan menguasai sumber-sumber ekonomi negeri kita. Lihat saja nama-nama perusahaan minyak dan gas yang tadi saya tulis. Setidaknya dari lima besar perusahaan minyak asing itu adalah dari negara Amerika Serikat, Prancis dan Inggris. Pastilah kalo perusahaan-perusaan tersebut pengen tetap beroperasi ngebor minya di sini, maka pemerintah negara-negara tersebut harus melobi pemerintah Indonesia (baca: bukan melobi, tepatnya menekan). Ini amat mudah dipahami, bahwa dukungan kepada para pemimpin negeri ini tidaklah gratis. Pasti ada udang di balik bakwan. Hadeueuh…

Sobat gaulislam, jangan bilang merdeka deh kalo ternyata kerusakan akhlak kian merajalela, kriminalitas meningkat, seks bebas nggak keitung jumlah pastinya (saking banyak banget). Belum lagi narkoba, miras, pelacuran, perjudian, pacaran, dan masih banyak lagi bukti ketidak-taatan kepada Allah Ta’ala akan berbuah kerusakan. Jadi, apa masih layak disebut merdeka jika faktanya demikian? Hmm.. kita harus banyak merenung dan bertindak dengan benar terhadap berbagai fakta yang kita dapatkan.

Lalu, bagaimana?

Kalo emang pengen lebih baik, kita semua seharusnya sadar dan mau berubah menjadi lebih baik. Sebab, merdeka adalah terbebasnya kita dari segala penghambaan kepada hawa nafsu dan aturan orang lain, seraya kita mengikatkan dan menundukkan diri kita sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Sebab, itulah sebaik-baik penghambaan ki­ta. Kalo sekarang kita masih terjajah oleh ha­wa nafsu, dikendalikan dan didikte oleh orang lain, maka kita jelas masih terjajah alias belum mer­deka. Padahal dalam shalat, kita udah ber­ikrar kepada Allah, bahwa kita akan menye­rahkan segalanya kepada Allah Ta’ala. Firman-Nya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (QS al-An’âm [6]: 162)

Inilah hakikat kemerdekaan. Kalo kita bi­cara soal masyarakat, berarti masyarakat yang merdeka adalah masyarakat yang berhasil melepaskan diri dari cengkeraman aturan ma­syarakat lain, begitu pula dengan negara. Ne­gara yang merdeka adalah negara yang mandiri, dan tidak dikendalikan oleh aturan negara lain. Kalo sekarang? Kita masih terjajah, Bro en Sis. So, masyarakat kita masih belum bisa melepaskan ikatan yang dijeratkan ideologi kapitalisme.

Tragisnya lagi, kita malah menjadi pe­juang pesan-pesan ideologi kufur ini. Sebut sa­ja, masyarakat kita masih doyan bergaya hidup permisive alias bebas nilai. Makna kebahagia­annya adalah banyaknya materi yang berhasil dikoleksi, bukan lagi ridho Allah. Itu sebabnya, kemudian masyarakat kita dituntut untuk mela­kukan hal yang haram sekalipun untuk meraih kebahagiaan materi. Bila perlu nyari harta deng­an cara gila-gilaan. Masyarakat kita pun malah fasih melafalkan dan melaksanakan ide demo­krasi ketimbang Islam. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih menjadi bagian dari ma­syarakat Barat. Dan itu artinya belum merdeka.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Lalu ngapain kita? Putus hubungan dengan penjajah! Why? Iya dong, kalo kita mau mandiri, maka kita kudu melepaskan segala ikatan yang dibuat oleh pihak lain. Caranya? Nah, karena model penjajahan sekarang beda dengan dulu, maka kita kudu berani melepaskan segala ikatan dengan paham ideologi kapitalisme atau sosialisme-komunisme dan segala paham asing yang bertentangan dengan Islam. Baru kemudian kita mengikatkan sepenuhnya kepada Islam. Sebab, mengikatkan diri kepada Islam adalah bentuk ketundukan dan kepasrahan yang benar dan baik. Shahih banget dah!

Wujud putus hubungan dengan penjajah juga adalah kita menolak dengan tegas setiap ide atawa paham yang bertentangan dengan Islam. Pakaian kita kudu sesuai dengan ajaran Islam, makanan dan minuman kita juga sesuai dengan aturan Islam. Semua hal kudu Islam: baik itu urusan pribadi, hubungan di antara individu dalam bermasyarakat, dan juga kehidupan bernegara. Itu baru bebas merdeka. Islamlah yang menjadikan kita merdeka. So, jadikan Islam sebagai the way of life. [solihin | Twitter @osolihin]

1 thought on “Jangan Bilang Merdeka, Jika…

Comments are closed.