Saturday, 20 April 2024, 03:57

gaulislam edisi 392/tahun ke-8 (8 Rajab 1436 H/ 27 April 2015)

 

Aduh, ngomongin tentang cuek nih. Ada yang tersungging, eh, tersinggung nggak ya? Kalo tersinggung berarti masih manusia, bukan batu. Hehehe… ya iyalah. Manusia kan punya pikiran dan perasaan. Itu sebabnya, sebenarnya cocok pembahasan kita kali ini, karena arti cuek itu adalah masa bodoh alias nggak mau peduli. Jadi, seharusnya boleh tersinggung tapi kemudian memperbaiki agar nggak cuek. Tul nggak?

Sobat gaulislam, dalam sebuah komunitas atau organisasi sangat diperlukan komunikasi. Komunikasi antara anggota komunitas atau organisasi dibangun untuk saling memberikan masukan berupa saran dan kritik. Hasilnya akan dievaluasi untuk kemudian dibuat program. Jika bagus, akan dibuat program utuk mempertahankannya, bahkan bila memungkin akan ditingkatkan levelnya ke arah inovasi alias pengembangan. Jika ternyata setelah dievaluasi kondisi komunitas kita selama ini memegang rekor buruk, tentunya akan dibuat program untuk memperbaikinya. Pengurus dan anggota komunitas itu harus saling berbagi informasi dan tentunya melaksanakan tugas dan wewenangnya masing-masing. Sangat diperlukan komunikasi di antara mereka untuk mengokohkan ikatan komuntas tersebut. Tentunya, semua itu dilakukan utuk kebersamaan kita dalam komunitas yang kita buat. Bukan untuk menghancurkannya.

Oya, kalo kamu sebagai ketua osis atau ketua rohis ngambil keputusan sepihak mungkin dalam kondisi tertentu bisa aja dilakukan. Apalagi kapasitasnya sebagai ketua memang harus cepat bertindak. Kalo pun nggak bisa sendiri, seorang ketua pasti punya temen-temen pengurus lainnya. Bisa aja kan ketua rohis kemudian sharing dengan temen-temen pengurus rohis untuk memutuskan suatu program. Meski semua anggota tak perlu tahu, tapi kalo kemudian ada anggota rohis yang bertanya gara-gara ketua rohis dan jajarannya telat nagsih sosialisasi program, ya harus dijawab en dilayani dengan baik. Jangan bilang, “Anggota nggak perlu tahu semua. Lagian laksanakan aja keputusan kita-kita” Apalagi kalo sampe keceplosan bilang, “Terserah ente sekarang. Ngikut program yang udah kita buat, atau ente menolak. Emangnya ane pikirin!” Waduh, itu bukan cuma cuek, tapi lebih parah dari cuek, sobat!

Waspadalah, bisa jadi itu udah arogan en sombong bin keras kepala. Nggak banget dah!

Komunikasi yang sehat

Sobat gaulislam, saya rasa dan saya pikir kejadian seperti ini sering terjadi di antara kita-kita. Bukan aneh, karena emang sudah biasa terjadi. Masalahnya, tak ada komunikasi yang sehat di antara kita. Padahal tuh program misalnya untuk kita wujudkan bersama. Lha, gimana jadinya kan kalo misalnya sebuah program yang dimengerti hanya oleh yang bikin aja, sementara pelaksananya hanya diberikan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan sedikit juknis (petunjuk teknis). Itu pun dengan tanpa tahu alasan dibuatnya program, termasuk kenapa juklak dan juknisnya seperti itu.

Wah, gimana nih? Kalo diingatkan malah balik sewot dan bilang, “Nggak mau tahu. Pokoknya laksanakan. Emangnya ane pikirin nanti kayak gimana di lapangan. Ente udah tahu lah apa yang seharusnya dilakukan seorang aktivis rohis”. Duileee… padahal nggak semua tuh aktivis rohis ngerti. Tul nggak sih? Kenapa nggak dengan lembut mengatakan, “Insya Allah nanti kita akan jelaskan latar belakang kenapa program ini dibuat dan diputuskan untuk dijalankan. Kita cari waktunya. Akhi tenang aja. Kita bicarakan bersama dan kami akan memberikan argumentasi. Jika memang ada hal-hal yang kurang jelas, kita bisa samakan persepsi. Kalo pun belum ada kata sepakat nantinya, tolong beri waktu kami untuk mengukur seberapa efektif program ini. Jika memang kurang efektif, kita bisa urun rembug untuk memperbaikinya. Afwan, karena kemarin kita tak sempat sosialisasikan dengan cepat kepada semua anggota rohis” Hmm.. tuh rangkaian kalimat bikin tenang yang bertanya. Sekaligus menunjukkan kredibilitas seorang ketua rohis yang bisa mengayomi dan dijadikan panutan. Meski pada akhirnya program itu kurang bagus hasilnya, tetap ada penghormatan dan nggak akan saling menjatuhkan.

Kebersamaan ini memang harus terus kita jalin. Nggak boleh ada yang merasa benar sendiri. Nggak boleh ada yang perlu menyombongkan diri dan cuek abis dengan kondisi komunitas yang kita bangun dan juga lingkungan sekitar. Kalo di sekolah ada teman yang berbuat maksiat, tentunya kudu kita ingatkan. Teman yang diingatkan juga kudu mau terima. Karena namanya maksiat kalo didiemin bukan cuma yang maksiat yang bakalan rugi, yang lain juga rugi. Nggak percaya? Kalo di sekolah ada yang pacarannya hot, tapi yang mengetahui soal itu diem aja, nggak bereaksi negur atau ngingetin dengan alasan takut atau merasa bukan urusannya. Karena merasa tak ada yang resah dengan kelakuannya, maka tuh yang pacaran kebablasan sampe berzina. Lha, kalo aksi itu kemudian ketahuan, yang mukanya kecoreng kan bukan cuma dua orang teman kita itu, tapi kita dan seluruh sekolah dibikin malu. Tul nggak?

Itu sebabnya, Rasulullah saw. mengingatkan kita semua dalam sabdanya: “Perumpamaan keadaan suatu kaum/masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikiku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)

Ya, ibarat kita bersama-sama ngumpul di sebuah komplek perumahan. Kalo sama-sama cuek dan berprinsip “emang gue pikirin” atas tindakan apa pun yang dilakukan tetangga kita, maka cepat atau lambat kita juga bakalan kena getahnya. Misalnya aja ada tetangga kita yang hobi buag sampah ke got. Kita cuekkin aja dengan alasan ada petugas kebersihan komplek. Tapi kita lupa, bahwa kalo nggak ada yang negur, tuh ‘penyakit’ bisa menular ke tetangga yang lain. Nah, kalo sebagian warga komplek perumahan itu buang sampah sembarangan ke got, nanti pas musim ujan datang tuh got bakalan mampet, dan yang kena banjir bukan cuma yang buang sampah sembarangan, tapi semua orang yang ada di komplek itu.

 

Kita nggak sendirian

Sobat gaulislam, saling mengingatkan tuh bukan untuk kita sendiri aja, tapi harus dipahami untuk semuanya. Untuk kebersamaan kita. Jadi, kalo diingatkan jangan sewot, tapi sebaliknya berterima kasih. Memang harus ada keberanian dalam diri kita untuk mengingatkan, dan juga harus ada keikhlasan dari yang diingatkan untuk mengakui kesalahannya. Jangan kitanya cuek, dan yang melakukan kesalahan juga cuek. Sama-sama berprinsip: “emangnya gue pikirin!”. Orang yang pertama ngerasa nggak perlu capek-capek ngingetin, dan orang yang kedua ngerasa bebas berbuat dan berpikir instan tanpa perlu merasa risih dengan omongan orang lain nantinya. Cocok kalo gitu. Maksudanya cocok untuk bisa ancur barengan. Bahaya banget tuh!

Padahal nih, demi sebuah kebersamaan dan kebaikan kita semua, kalo ada yang lupa diri wajib diingatkan oleh yang sadar. Kalo ada yang maksiat, wajib ditegur dan diingatkan oleh yang tahu. Kalo nggak, ingat deh firman Allah Ta’ala tentang laknat bagi orang yang tak mau mencegah kemunkaran sebagaimana kisah kaum terdahulu, yang diceritakan Allah dalam al-Quran: “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maaidah [5]: 78-79)

Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memberi tahu bagaimana caranya mencegah kemunkaran. Dari Abi Said al-Khudri Radhiallahu ‘anhu telah berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; maka bila ia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan kalau tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Lukman al-Hakim berkata kepada anaknya: “Orang yang melihat tindakan munkar di hadapannya tapi tidak berusaha mencegahnya. Orang yang melihat keburukan di depan matanya tapi berdiam diri. Orang yang melihat perbuatan dosa di dalam keluarganya tapi ia mengabaikannya dan seolah-olah tidak tahu. Kesemua mereka wahai anakku, adalah manusia yang sakit jiwanya, lemah imannya, tidak punya kepribadian dan tidak punya kewibawaan. Dia adalah manusia penakut yang tidak layak hidup. Dialah manusia hina yang tidak kenal akan dirinya dan keutamaannya. Dia hidup tak ubahnya seperti hewan ternak yang ditarik ke sana dan ke sini, tidak tahu harga diri dan tidak mau mengerti akan dirinya.” (Mutiara Nasihat Lukman al-Hakim, karya Dr. Fathullah al-Hafnawi, hlm. 72)

Oke deh, semoga kebersamaan kita tetap terjalin dalam ikatan akidah Islam. Tentu, agar kebersamaan itu bernilai di hadapan Allah Ta’ala. Bersama itu, seharusnya juga bersatu. Sebab, percuma dong, bersama tapi nggak bersatu. Kok bisa? Iya, maksudnya, keberadaan kita jangan hanya sebatas ngumpul, tapi harus bersatu untuk saling peduli. Idealnya kan saling mengingatkan dan jangan ada yang cuek alias masa bodoh terhadap diri sendiri, teman, dan lingkungan sekitar. Dakwah itu, adalah tanda peduli. Orang yang peduli, pastinya berdakwah. Mereka yang cuek, ke laut aja. Ok? Sip! [O. Solihin | Twitter @osolihin]