Saturday, 20 April 2024, 10:16

gaulislam edisi 303/tahun ke-6 (5 Syawal 1434 H/ 12 Agustus 2013)

Bro en Sis rahimakumullah, gimana kabar kamu semuanya? Semoga di hari ke-5 bulan Syawal ini (ketika buletin gaulislam terbit) kamu tetap beriman, istiqomah bersama Islam, dan tentu saja mendapat perlindungan Allah Ta’ala. Aamiin. Semoga seluruh kaum muslimin juga demikian ya, Bro en Sis.

Hmm… kegiatan paling utama di awal bulan Syawal biasanya adalah silaturahim dengan keluarga inti, kerabat dekat, juga menjalin ukhuwah dengan tetangga dekat, kawan satu sekolah, sahabat seperjuangan dalam dakwah dan masih banyak lagi (termasuk dengan ‘jamaah facebookiyah dan twiteriyah’). Wuih, indahnya silaturahmi dan silah ukhuwah. Semoga itu berlanjut di hari-hari berikutnya pada 11 bulan yang akan datang hingga kembali menjumpai Ramadhan tahun depan. Insya Allah.

Namun sayangnya kita seperti semangat “hangat-hangat tahi ayam” alias semangatnya cuma sesaat. BTW, kenapa istilah ini yang dipakai ya? Padahal semua hal yang ‘diproduksi’ kemudian dikeluarin juga sepertinya hangatnya cuma sesaat kok. Roti misalnya, akan hanya hangat ketika pas dikeluarin dari oven. Kalo udah lama ya dingin juga. Nasi uduk juga sama, pas baru dimasak ya hangat (atau bahkan panas), setelah beberapa menit ya dingin juga. Selain itu, semua—maaf, tahi atau kotoran juga karakternya emang begitu, baru dikeluarkan ya hangat. Coba aja pegang hehehe… pas udah agak lama ya dingin juga. Sama saja.

Eh, ini kok jadi ngelantur gini ya? Sori Bro en Sis, mungkin ini dampak dari ‘penyakit setelah lebaran’ (apa hubungannya? hehehe), banyak yang masih mencret gara-gara makannya nggak beraturan dan nggak ngikutin kaidah thayyib. Halal sih halal, tapi nggak thayyib (nggak baik: terlalu pedas, asam, banyak santan, kacang-kacangan, berlebih konsumsi minuman bersoda dan sejenisnya). Walhasil, ya banyak yang sakit. Umumnya ya mencret. Maka jangan heran kalo ada teman kita yang sampai saat ini, pas baca gaulislam edisi ini, kentutnya juga masih disertai koloid, hehehe (itu tandanya masih menwa alias mencret wae—mencret terus)

 

Kok takwanya cuma di Ramadhan?

Sobat gaulislam, saya yakin kita semua masih ingat dengan semangat kita (dan seluruh kaum muslimin) di awal Ramadhan. Tarawih pertama, masjid tak kuat menampung jumlah jamaah. Hari kedua, masih lumayan banyak tapi sudah berkurang sedikit, hari ketiga dan seterusnya hingga akhir Ramadhan, masjid mengalami kemajuan shafnya alias tadinya membludak hingga keluar, di akhir Ramadhan yang bertahan cuma dua shaf dan sisanya banyak di luar masjid (mal, pasar swalayan, atau sedang bete dirajam macet tak berampun saat mudik). Meski demikian, suasana Ramadhan secara umum tetap menghadirkan keberbedaan di banding bulan lainnya. Meski ada cukup banyak acara Ramadhan di televisi yang merusak, tapi semoga yang nonton nggak banyak. Meski ada yang nggak puasa di bulan Ramadhan, tetapi jumlah yang berpuasa insya Allah jauh lebih banyak. Ini membuktikan bahwa di bulan Ramadhan, kaum muslimin cenderung memiliki ketakwaan yang lebih baik ketimbang bulan lainnya. Patut disyukuri.

Namun demikian, sebenarnya kita juga perlu merasa khawatir bahwa takwa kaum muslimin cuma nyangkut di bulan Ramadhan. Nah, ngomongin soal takwa seharusnya ketika kita berpuasa di bulan Ramadhan, memang semestinya berbuah takwa. Eh, kamu tahu kan istilah takwa? Tahu dong, intinya menjalankan perintah Allah Ta’ala dan menghindari atau menjauhi segala larangan Allah Ta’ala. Pinter! Namun, kamu perlu tahu juga nih tambahan wawasan tentang takwa. Yup, takwa (taqwa) itu berasal dari kata waqa, yaqii, wiqayah dengan makna yang sejalan, sedang kata muttaqin adalah bentuk faa’il (pelaku) dari ittaqa suatu kata dasar bentukan tambahan (mazid) dari kata dasar waqa atau secara singkatnya waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara.

Ada juga yang membagi dua definisi taqwa, yakni pertama, hati-hati dan yang kedua meninggalkan yang tidak berguna. Ada juga yang mengatakan takwa itu mengetahui dengan akal, memahami dengan hati dan melakukan dengan perbuatan. Sementara muttaqin dapat diterjemahkan menjadi orang yang menjaga diri untuk menyelamatkan dan melindungi diri dari semua yang merugikan.

Nah, secara keseluruhan kata muttaqin adalah menjaga diri untuk menyelamatkan dan melindungi diri dari semua yang merugikan. Merugikan di sini yang dimaksud yaitu melindungi diri dari segala perbuatan yang mengandung kemaksiatan, syirik, kemunafikan dsb.

Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Baqarah [2]: 233)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, dalam al-Quran bisa kita temui perintah dan dukungan untuk melaksanakan ketakwaan. Nggak heran jika seruan agar kaum Muslim meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Swt. sering dilontarkan para khatib Jumat, dan para aktivitis dakwah lainnya pada berbagai kesempatan.

Syaik Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Ruhaniyatud Da’iyah menjelaskan mengenai hakikat takwa. Menurutnya, takwa lahir sebagai konsekuensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muraqabatullah, merasa takut dengan murka dan azabNya, serta selalu berharap limpahan karunia dan maghfirahNya.

Persoalannya sekarang, mengapa takwa hanya di bulan Ramadhan? Ah, jadi inget sebuah iklan yang isinya begini, “Taat kalo ada yang lihat”. Aduh, malu dan perlu berbenah sobat. Kita taat di bulan Ramadhan wajib, di bulan lainnya juga wajib. Jangan oportunis lah. Cuma memanfaatkan momen tertentu untuk ibadah dan bertakwa hanya karena banyak pahala dan kebaikan di dalamnya. Oya, soal ini udah dijelasin di edisi kemarin-kemarin ya. Tentang mulianya bulan Ramadhan, tentang pahala, tentang kebaikan-kebaikan di dalamnnya, tentang banyak hal yang intinya berbuah pahala plus bonus pahala dari setiap amal shalih yang kita kerjakan dengan ikhlas. Itu sebabnya, kalo kita hanya takwa saat Ramadhan, sementara bulan lainnya menjadi liar kembali, berarti ada something wrong dalam diri kita. Bisa jadi cuma ikut-ikutan aja ibadah karena teman yang lain ibadah. Bisa juga terpaksa karena malu kalo nggak puasa. Sangat mungkin juga sebenarnya menolak, cuma ngerasa nggak ada gunanya melawan karena khawatir dianggap aneh oleh kaum muslimin lainnya. Banyak sebab. Tetapi yang pasti, imannya belum kuat tuh kalo sampe ketakwaan ngikutin mood atau momen tertentu. Catet lho, Bro en Sis!

Jejak Ramadhan seharusnya membekas

Hmm… jadi inget syair lagunya Bimbo, Setiap Habis Ramadhan. Syairnya begitu sarat makna dan mendalam. Beberapa bait bunyi­nya begini: Setiap habis rama­dhan/ hamba rindu lagi ramadhan/ Saat-saat padat beribadah/ tak terhingga nilai mahalnya/ setiap habis ramadhan/ hamba cemas kalau tak sampai/ umur hamba di tahun depan/ berilah hamba kesempatan….

Gimana baca lirik seperti ini, rindu lagi Ramadhan nggak? Memang banyak juga di antara kita yang sedih ‘ditinggal’ Ramadhan, namun seharusnya lebih sedih lagi kalo setelah Ramadhan, kita nggak berubah jadi baik. Sia-sialah Ramadhan bagi kita, kalo setelahnya kita tak jua menjadi lebih baik: akidahnya, ilmunya, takwanya, akhlaknya, dan kuantitas serta kualitas amal shalih kita.

Kita pantas cemas menyaksikan polah teman-teman waktu Ramadhan kemarin dalam menjalani puasa hanya sebatas menahan diri dari makan dan minum doang. Sementara,  mereka tetep keukeuh pacaran, tetep membuka auratnya, tetep tidak mengontrol mata, telinga, dan hatinya dari perbuatan kotor dan nista. Kita khawatir banget, jangan-jangan, cuma mendapatkan rasa lapar dan haus dari puasanya itu. Rugi deh. Rasulullah saw. bersabda: “Betapa banyak orang yang ber­puasa, tapi mereka tidak menda­patkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga”  (HR Ahmad)

Sobat gaulislam, selama bulan Ramadhan ini kita udah terbiasa hidup teratur dan memiliki rasa takut yang cukup tinggi kepada Allah Swt. Kita rela menahan untuk tidak makan dan minum di siang hari semata karena kita taat kepada Allah Swt. dan menjaga puasa kita agar tidak batal. Betapa kita rela mati-matian istiqamah dalam menjalankan perintah Allah ini. Subhanallah.

Siang dan malam hari jadi giat beribadah seolah hari esok maut menjemput kita. Semarak shalat tarawih berjamaah memberikan suasana kebersamaan yang tinggi, tilawah al-Quran bergema hebat dari mulut kita. Juz demi juz kita lalui dengan penuh semangat dan keikhlasan sehingga begitu Ramadhan selesai, al-Quran khatam dibaca. Semoga amalan kita diterima Allah Swt. Jerih payah beribadah siang dan malam semoga menambah nilai takwa kita di hari-hari ke depanya. Jangan sampe deh, ibadah yang rajin dan taat menjalankan perintah Allah Swt. hanya terjadi di bulan Ramadhan saja. Sayang banget.

Maka, agar kita tetap bisa menjalankan ibadah di luar Ramadhan dan makin kuat ketakwaan kita, nggak ada salahnya kita ciptakan suasana yang sama dengan saat Ramadhan. Agar kita senantiasa merasa dekat dengan Allah Swt. dan dihindarkan dari perbuatan dosa. Kamu pernah dengar kan lagunya Opick yang berjudul Tombo Ati? Isinya pasti kamu pada hapal deh. Yup, obat hati itu ada lima perkara. Pertama, membaca al-Quran (meresapi makna untuk mencerahkan akal dan jiwa). Kedua, shalat malam (agar bisa meraih disiplin orang-orang shalih). Ketiga, bergaul dengan orang-orang shalih (untuk mendapatkan ilmu dan nasihatnya). Keempat, shiyam, yakni puasa (agar lapar kita berbuah sadar). Kelima, dizkir malam (membiasakan dzikir di malam hari di saat banyak manusia terlelap dalam tidurnya).

Nah, semoga saja artikel gaulislam edisi kali ini (di 5 Syawal 1434 H—12 Agustus 2013) bisa membuat kita senantiasa menumbuhkan ketakwaan meski Ramadhan sudah berlalu meninggalkan kita. Artinya, ada hasilnya gitu lho. Shaum Ramadhan berbuah takwa, bukan cuma dapetin lapar dan haus doang.

Terakhir, ada hadis qudsiy yang oke banget untuk memotivasi agar kita senantiasa dekat dengan Allah untuk meraih takwa kepadaNya:“Jika seorang hamba mendekat kepadaKu sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta; jika ia mendekatiKu sehasta, aku akan mendekatinya sedepa; jika ia datang kepadaKu dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan berlari” (Shahih Bukhari, XI/199)

Oke deh, kita kita berharap Ramadhan jejaknya membekas bagi kita, dan semoga juga bagi seluruh kaum muslimin. Meskipun kalo liat kenyataannya, Ramadhan jejaknya tak membekas dalam kehidupan kaum muslimin secara umum. Sedih sungguh. Tapi bukan untuk dikeluhkan semata. So, ini tugas kita untuk kembali menyadarkan mereka. Itu sebabnya, yuk kita gencarkan dakwah! [solihin | Twitter @osolihin]