Friday, 19 April 2024, 16:15

gaulislam edisi 422/tahun ke-9 (11 Safar 1437 H/ 23 November 2015)

 

Waduh, tema edisi ini bikin ngeri dan deg-degan. Gimana nggak, itu judul kayaknya udah penuh senjata deh, ditambah darah pula. Hmm… gitu ya? Hehehe.. nggak usah kaget bin herman, eh, heran. Nggak ada pula yang perlu dikhawatirkan. Biasa aja lagi. Sebab, banyak orang yang menuduh teroris kepada orang atau kelompok tertentu juga nyantai-nyantai aja asal mulut mangap. Lagian, kalo nggak ngerasa jadi teroris, mengapa harus risih dengan istilah ini. Betul nggak?

Sobat gaulislam, kamu pasti ngeh juga kan dengan berita dan opini yang berseliweran di media massa mainstream, media massa alternatif, termasuk di media sosial. Ya, berita tentang pemboman beberapa tempat di Paris, ibukotanya negara Perancis. Dunia dibuat geger dalam aksi di Jumat pagi (waktu setempat), tanggal 13 November 2015 lalu. Serentak atas arahan media mainstream rame-rame mengutuk aksi brutal yang menewaskan lebih dari 150 orang tersebut. Seolah dunia merasa terluka dengan kejadian tersebut. Malah banyak juga lho, atas alasan kemanusian, yang muslim juga banyak yang ikut-ikutan simpati atas kejadian tersebut.

Kok bisa? Ya, lihat aja, sebagian di antaranya majang foto profil dengan bendera Perancis sebagai bukti ikut berduka. Padahal, waktu ribuan muslim Rohingya dibantai rezim Myanmar, boro-boro majang foto profil dengan lambang pengungsi Rohingnya, misalnya. Berdoa pun belum tentu. Sebab, banyak juga malah yang nyinyir dengan aksi demo sebagian besar kaum muslimin untuk menggalang kepedulian terhadap muslim Rohingya. Mereka bilang, “ngapain mikirin urusan negara lain. Urusin aja negeri sendiri!” Eh, pas kejadian di Paris, ngedadak heboh sok peduli. Padahal, kalo dibalikkin, “ngapain lu ngurusin negara lain?” Nggak adil banget. Apa karena takut dicap ekstrimis dan bagian dari teroris? Cemen banget deh, lu!

Oya, bukan berarti saya tega menyaksikan kejadian di Paris kemarin, lho. Cuma saya tergelitik aja dengan sikap penduduk dunia, termasuk ada yang muslimnya juga. Kok, bisa-bisanya merasa terluka hatinya melihat kejadian itu, sementara di Palestina udah bertahun-tahun selalu begitu, nggak ada tuh gerakan mengutuk Israel dari orang-orang liberal bin sekuler. Tetapi karena kasusnya yang mati banyak nonmuslim di negara sekuler pula, udah gitu langsung yang tertuduh sebagai teroris adalah orang Islam, eh malah rame-rame memberikan simpati.

Nggak salah nih? Atau takut juga disebut bagian dari teroris? Padahal, siapa juga yang nuduh-nuduh bahwa pelakunya itu orang Islam atau dari kelompok kaum muslimin. Kalo saya sendiri malah curiga, jangan-jangan sebenarnya itu konspirasi di antara mereka aja agar memberi kesan dizalimi lalu merasa sah melakukan serangan balik. Alasan yang gampang ditebak. Bagi mereka, mengorbankan sedikit warga negaranya, yang penting mendapat manfaat lebih dari kepentingan yang diimpikannya. Buktinya, sehari setelah kejadian itu, Perancis memborbardir pengungsi Suriah di Raqqa. Ketahuan banget kan niat jahatnya?

 

Benarkah umat Islam itu teroris?

Sobat gaulislam, kamu seharusnya nggak percaya dengan tuduhan ini. Bener lho. Sebab, kita memang nggak merasa. Walau begitu, sakit juga kalo dituduh begitu rupa. Pihak tertentu yang makan nangkanya, eh kita malah dapat getahnya. Jika pun ada kaum muslimin yang menganggap jalan kekerasan tersebut sebagai aksi perlawanan, tentu ada alasannya. Perancis dan negara Barat lainnya, termasuk di dalamnya Amerika dan Rusia, adalah biangnya kekerasan di negeri-negeri muslim melalui penjajahan mereka. Jadi, kalo pun itu dilakukan oleh bagian dari sekelompok kaum muslimin, bisa dikatakan wajar karena melakukan perlawanan. Semut juga kalo diinjek mati, eh, kalo diinjek ya melawan.

Sebagai remaja muslim, tentunya merasa gerah atau nggak enak ati ketika banyak pihak menuduh dan menyalahkan kaum muslimin dalam kasus ini atau kasus-kasus lainnya yang berhubungan dengan terorisme. Meski yang dituduh adalah sekelompok orang, tetapi imbasnya kan ke banyak orang Islam. Buktinya ini nih, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menuding sekolah Islam sebagai penyebab munculnya terorisme di Indonesia. Apa hubungannya, coba? Aneh-aneh aja.

Tetapi pernyataan itu memang disampaikan politikus PDIP sekaligus Direktur Eksekutif Megawati Institute Siti Musdah Mulia beberapa waktu yang lalu.

Musdah menyarankan agar sekolah Islam seperti Muhammadiyah atau sekolah pesantren untuk dikurangi dan kalau bisa disamakan dengan sekolah kristen yang dikatakannya masih sangat jarang. “Mungkin sekolah Islam harus dikurangi, ini sangat penting agar generasi Indonesia ke depannya semakin baik, jadi tidak berkembang lagi terorisme di negeri ini,” ujar Musdah Mulia. (suaranasional.com, 11/11/2015)

Oya, pernyataan Musdah Mulia itu, kalo pun nggak diberitakan di media, sebenarnya sejak dulu juga pemikirnanya sudah liberal dan sering nyinyir terhadap Islam dan kaum muslimin. Nggak salah tuh? Kenapa masih tetap ingin disebut muslim ya? Gagal paham! Sebab, kalo yang nuduhnya orang kafir ya wajar karena mereka nggak ngerti Islam. Lha, kalo yang nyinyir model begitu adalah seorang muslim, itu namanya keblinger alias sesat.

Jadi, apakah benar umat Islam itu teroris? Jawabannya, nggak. Kalo pun ada sekelompok kaum muslimin yang kemudian melakukan jalur perlawanan bersenjata untuk menyingkirkan musuh-musuh Islam yang sudah lebih dulu memulai dengan kekerasan, menurut saya itu wajar. Ibaratnya sekarang, negeri-negeri Barat yang penjajah itu kena batunya.

 

Obyektif sekaligus subyektif

Sobat gaulislam, dalam memahami realitas kehidupan memang harus obyektif. Kita telusuri semua faktanya supaya kita kenal betul dengan fakta tersebut. Kita memang nggak suka dengan fakta yang menjelekkan Islam, tapi kita coba tahan dulu benci binti murka kita sebelum dapetin info yang benar-benar valid dan obyektif agar kita bisa menilai dengan keputusan yang jelas.

Nah, kalo pun kita harus subyektif dalam waktu yang bersamaan, tentunya ini pun harus dilakukan karena sebagai muslim, kita wajib menilai segala sesuatunya berdasarkan sudut pandang Islam. Itu mutlak harus dilakukan karena Islam adalah pedoman hidup kita. Islam adalah the way of life. Jadi wajar banget kan kalo Islam menjadi patokan kita dalam menilai suatu pemikiran atau perbuatan. Mengenali dan memahami fakta memang harus obyektif, tapi sudut pandang kudu subyektif dong, yakni berdasarkan Islam.

Sehingga nggak muncul mispersepsi atau celakanya malah menyalahkan Islam. Padahal mah bisa jadi justru karena kita sendiri yang salah memahami fakta dan sekaligus solusinya. Misalnya nih, untuk memahami agama di luar Islam, tentunya kita harus memahami faktanya dengan detil tentang agama tersebut, lalu kita nilai dengan Islam. Begitu pun ketika ingin memahami fakta sekularisme, maka kita kumpulkan segala informasi yang berkaitan dengan sekularisme supaya obyektif, setelah itu baru kita nilai sekularisme dalam sudut pandang Islam, bukan yang lain.

Tentu akan aneh dong ya kalo memandang Islam dari sudut pandang sekularisme atau ajaran Barat, maka yang tampak bukan wajah asli Islam. Kalo pun bikin lukisan, tuh lukisan udah dicorat-coret dengan nggak karu-karuan sesuka mereka mencoretkan warna dan garis pada kanvas. Inilah alasannya bahwa upaya pencarian fakta boleh seobyektif mungkin, tapi sudut pandang penilaian tetap harus Islam.

Berkaitan dengan soal ini, Ustadz Hamid Fahmy menuliskan, dalam kajian Islam, suatu framework atau manhaj terkait pertama-tama dengan proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Suatu ‘metobalisme’ dalam nutrisi spiritual. Kualitas ilmu, cara mencari, sumber ilmu yang benar, penalaran yang betul, manfaat yang jelas merupakan sebahagian dari bangunan framework. Jika ilmu itu cahaya al-haqq, seperti kata Waqi’ guru Imam Syafi’i, maka ilmu dan iman sumbernya sama. Siapa yang banyak ilmu mesti tebal imannya dan sebaliknya. Ia akan berilmu dengan imannya dan beriman dengan ilmunya. (Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Islamia, Tahun I No. 6 (Juli-September 2005), hlm. 118-119)

Inilah alasannya mengapa kita harus obyektif tapi sekaligus subyektif. Alam pikiran kita boleh melanglangbuana kemana aja untuk mendapatkan fakta yang obyektif tentang segala hal, tapi al-Quran dan as-Sunnah tetap menjadi obornya. Sehingga kita tetap menjadi orang yang mencintai Islam sepenuh hati dan insya Allah akan memberikan dorongan yang kuat agar kita bangga menjadi muslim. Oke?

Sobat gaulislam, terkait judul artikel ini, yakni Tertuduh Teroris, sebenarnya kalo nggak merasa, ya nggak perlu cemas. Emang sih, rasa cemas itu wajar. Tapi, kalo nggak ada alasan untuk cemas, terus kita ujug-ujug cemas, itu namanya nggak wajar. Misalnya nih, ketika santer berita di media massa yang kayaknya pengen puas banget untuk menghantam Islam, bahwa Islam tuh agama yang mengajarkan terorisme dan kaum muslimin adalah teroris. Sehingga perlu diadakan pembenahan kurikulum di pesantren-pesantren. Banyak pihak kemudian mengeneralisir alias pukul rata bahwa semua pesantren adalah sarang teroris. Waduh, emang bikin kita was-was bin cemas. Tapi kita jangan panik dulu, karena kalo kita nggak salah ngapain harus cemas. Betul nggak sih?

Kecemasan hanya akan memberikan kesan bagi pihak yang emang pengen puas ngejelekkin Islam dan kaum Muslimin, mereka akan menilai kalo kita tuh emang bersalah. Meski yang ngelakuin sebagian kecil dari kaum Muslimin, tapi karena kita panik dengan pemberitaan dan merasa tertuduh, lalu cemas. Padahal, kita nggak salah. Aneh banget kan? Nggak perlu cemas. Kalem aja. Kalo emang nggak salah. So, jangan takut dituduh teroris. Betul? [O. Solihin | Twitter @osolihin]