Friday, 19 April 2024, 23:41

gaulislam edisi 568/tahun ke-11 (30 Dzulhijjah 1439 H/ 10 September 2018)

 

Masih ada aja lho orang yang phobia alias takut pisan bin banget terhadap politik, khususnya Islam politik. Gerakan #2019GantiPresiden aja banyak dipersekusi bahkan dituduh ditunggangi oleh ormas Islam bernama HTI—padahal katanya udah dibubarin sama pemerintah. Alasannya, karena HTI adalah ormas yang getol ngomongin politik. Kok, takut dan asal tuduh, sih?

Beberapa waktu lalu, UAS alias Ustaz Abdul Somad ceramahnya dilarang dan ditolak hadir di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur (padahal sudah terjadwal). Berbagai alasan dihamburkan oleh pihak yang menolak kehadiran UAS untuk berceramah. Bahkan pihak kepolisian dalam berita yang dirilis CNN Indonesia meminta UAS tidak membahas politik. Widih, takut amat, ya?

Sobat gaulislam, mau tahu kenapa kok bab politik Islam dilarang disampaikan? Itu karena akan bikin umat melek dan tahu apa yang harus dilakukan. Umat Islam akan bangkit pemikiran dan perasaannya. Jiwanya akan berkembang, pikirannya akan tercerdaskan dengan Islam.

Iya. Terbukti, jika umat memahami politik Islam dengan benar, mereka akan peduli pada urusan kaum muslimin lainnya, mereka akan memahami pentingnya persatuan kaum muslimin dalam akidah Islam. Selain itu, umat akan tahu dan paham pengelolaan urusan negara dan bagaimana negara seharusnya menyejahterakan rakyatnya. Nah, pembahasan seperti ini yang paling ditakuti oleh penguasa zalim, karena kejahatan mereka akan mudah dibongkar oleh rakyatnya sendiri. Beneran!

 

Apa sih arti politik menurut Islam?

Dalam kitab Mafahim Siyasiyah dijelaskan bahwa politik adalah ri’ayatusy syu’unil ummah dakhiliyan wa kharijiyan bi hukmin mu’ayanin (pengaturan urusan ummat di dalam negeri dan luar negeri, dengan hukum tertentu). Kalo kita bicara Islam, maka pengaturan tersebut menggunakan aturan Islam. Kalo bicara kapitalisme, maka hukum yang digunakan adalah kapitalisme. Begitu pula dengan sosialisme dan komunisme.

Nah, adapun pengaturan urusan umat tidak melulu urusan pemerintahan seperti sangkaan banyak orang selama ini, melainkan termasuk di dalamnya aspek ekonomi (iqtishadi), pidana (uqubat), sosial (ijtima’i), pendidikan (tarbiyah) dan lain-lain.

Buktinya apa tuh? Islam, udah ngatur masalah ini sejak pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, lalu dilanjut generasi Khulafa ar-Rasyidin, Tabi’in, Tabiut Tabi’in, salafus shalih sampe terakhir di Turki. Sepanjang rentang waktu itu, masyarakat dan negara diatur oleh Islam. Sayangnya, sejak tanggal 3 Maret 1924, yakni saat Musthafa Kemal at-Taturk, pria jahat dan ambisius keturunan Yahudi menghancurkan pemerintahan Islam di Turki atas bantuan agen-agen Inggris, Islam nggak lagi diterapkan sebagai sebuah ideologi negara. Sampe sekarang, lho. Kamu perlu catat ini.

Akibatnya, pemuda dan pemudi Islam masa kini nggak nyetel dalam memahami Islam sebagai sebuah ideologi negara. Generasi Islam kontemporer cuma mengenal dan memahami Islam sebagai ibadah ritual belaka. Jadinya, nggak ngeh kalo Islam tuh sebuah ideologi. Akibatnya, ketika memahami istilah politik dalam pandangan Islam aja suka kerepotan. Kalo udah gitu, pastinya juga nggak bakalan sadar politik. Beneran.

Bukti lainnya, ketika para ulama mencoba mengenalkan politik atau sebagian ada yang terjun dalam politik praktis (maksudnya jadi pengurus parpol atau dicalonkan jadi pejabat negara atau berkampanye melawan kezaliman penguasa), langsung dinyinyirin karena dianggap udah bermain politik. Menurut kalangan ini, ulama harusnya ngurus umat aja, ibadah, dan sejenisnya. Mungkin mereka khawatir ulama jadi ikut-ikutan rusak. Atau, bisa juga khawatir kalo ulama ikut terjun ke politik praktis bisa merusak rencana para politisi busuk. Wallahu a’lam.

Tapi kini sepertinya upaya musuh-musuh Islam menjauhkan umat Islam dari Islam politik mulai menuai hasil. Walau, tidak semua terpengaruh, tetapi kebanyakan udah kadung alergi dengan istilah poilitik dan bahkan jadi nggak peduli alias cuek bae. Ada juga yang menolak mentah-mentah dengan berbagai alasan—salah satunya karena takut di-bully atau dipersekusi oleh pihak yang memusuhi Islam. Akibatnya, ya banyak deh yang cuma ngamalin Islam di bagian bab ibadah belaka. Kesannya jadi hanya ritual doang. Padahal, itu bahaya, lho!

 

Ketika Islam sebagai ‘ritual belaka’

Sobat gaulislam, ketika Islam hanya sekadar dipahami sebagai ibadah ritual belaka, paling nggak ada beberapa akibat or dampak yang bisa dirasakan faktanya:

Pertama, hilang kekuatannya. Yup, Islam jadi hilang kekuatannya. Karena apa? Karena kita hanya memahami Islam sebagai ibadah ritual belaka. Cuma ngurusin soal akhirat. Maka, dalam kurikulum di sekolah aja, perasaan dari dulu pelajaran agama cuma 2 jam pelajaran dalam seminggu. Jadi wajar aja kalo materi yang dibahas juga hanya seputar akidah, fikih (itupun sebatas sholat, puasa, zakat, haji, dan paling banter munakahat alias pernikahan), ditambah pelajaran sedikit tentang ilmu waris. Padahal, Islam tuh luas banget bahasannya. Nggak sekadar ngomongin surga-neraka aja. Dunia juga diperhatikan, Bro en Sis.

Sungguh, musuh-musuh Islam bakalan seneng kalo kita cuma mikirin akhirat mulu, karena merasa nggak bakalan ada yang ngusik kehidupan rusak mereka. Justru kalo Islam dipahami sebagai ideologi, musuh-musuh Islam bakalan mikir seribu kali (atau malah nggak berani?) untuk melawan Islam. Tapi, kalo kitanya cuma betah ngendon di masjid, sarungan mulu, dan menghindarkan diri dari politik (akidah siyasiyah), maka musuh-musuh Islam senang banget. Dan inilah kekalahan kita, karena Islam jadi hilang kekuatannya.

Kedua, turun derajat, deh. Bukan ngeledekin atawa ngetawain. Memang kalo kita memahami Islam sebagai ibadah ritual aja, itu udah menurunkan level kita ke derajat yang rendah. Lihat aja, sekarang yang maksiat banyak banget. Mengapa kaum Muslimin banyak yang maksiat? Karena mereka barangkali (dan sangat boleh jadi) memahami bahwa Islam nggak punya aturan yang tegas untuk masalah dunia.

Apalagi mereka ngelihat dalam sistem sekarang (Kapitalisme-Sekularisme) justru diberikan kebebasan orang berbuat apa saja asalkan nggak ngerugikan orang lain. Tapi, kalo pun ngerugiin orang lain, hukumannya nggak tegas, bisa dibeli dengan uang. Akhirnya, para pencuri ayam tetep jalan, yang korupsi juga anteng aja. Abisnya, kalo pun ketahuan, hukum bisa dibeli dengan uang. Andai saja kebetulan tetep dihukum, hukumannya nggak sebanding banget dengan kejahatannya.

Ambil contoh, kasus pembunuhan. Kejahatan ini cuma diganjar hukuman penjara (jumlah tahunnya tergantung model pembunuhannya). Itu sih nggak bikin kapok, apalagi meski dipenjara tetap bisa makan dan minum dengan gratis dan mungkin melihat televisi dan ‘nyari ilmu’ tambahan dari olah TKP atau reka ulang di tayangan seputar kriminalitas di televisi. Jadi jelas banget, ini menurunkan manusia (termasuk di dalamnya kaum muslimin) ke level yang rendah banget—disamain ama binatang ternak. Ancur total, kan?

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran (yang artinya): “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raaf [7]: 179)

Ketiga, kaum muslimin tak berdaya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Akan datang suatu masa, dalam waktu dekat, ketika bangsa-bangsa (musuh-musuh Islam) bersatu-padu mengalahkan (memperebutkan) kalian. Mereka seperti gerombolan orang rakus yang berkerumun untuk berebut hidangan makanan yang ada di sekitar mereka”. Salah seorang shahabat bertanya: “Apakah karena kami (kaum Muslimin) ketika itu sedikit?” Rasulullah menjawab: “Tidak! Bahkan kalian waktu itu sangat banyak jumlahnya. Tetapi kalian bagaikan buih di atas lautan (yang terombang-ambing). (Ketika itu) Allah telah mencabut rasa takut kepadamu dari hati musuh-musuh kalian, dan Allah telah menancapkan di dalam hati kalian ‘wahn’”. Seorang sahabat Rasulullah bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan ‘wahn’ itu?” Dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, “Cinta kepada dunia dan takut (benci) kepada mati.” (at-Tarikh al-Kabir, Imam Bukhari; Tartib Musnad Imam Ahmad XXIV/31-32; “Sunan Abu Daud”, hadis No. 4279)

Nah, akibat hanya memahami Islam sebagai ibadah ritual belaka, maka kaum Muslimin jadi nggak berdaya. Kenapa? Sebab, kalo Islam dipahami sebagai ibadah ritual belaka, hanya untuk ngurus individu masing-masing aja, cukup tenang kalo diri tiap Muslim itu melaksanakan ibadah ritual, maka pasti dijamin nggak bakalan ada semangat untuk memahami Islam sebagai agama yang harus disebarkan kepada seluruh umat manusia, nggak tergerak pula untuk berusaha memperjuangkan Islam sampai titik darah yang penghabisan.

Sebaliknya, kalo dipahami bahwa Islam bukan hanya akidah ruhiyah, tapi sekaligus akidah siyasiyah, maka akan ada semangat dan keinginan untuk menyebarkan lagi akidah Islam ini ke seluruh penjuru dunia. Karena sudah memahami bahwa satu-satunya agama yang mampu menyelesaikan berbagai problem kehidupan adalah Islam. Tentu karena Islam mengatur kehidupan dunia dan juga akhirat dalam satu paket.

Keempat, musuh Islam bersorak gembira. Ibarat main sepakbola, kalo seluruh pemain kita loyo dalam menghadapi lawan dalam pertandingan tersebut, sudah pasti lawan seneng banget, apalagi didukung suporter lainnya. Dijamin kita bakalan jadi bulan-bulanan. Abisnya, kita nggak berdaya, sih.

Kondisi yang dialami kaum Muslimin saat ini, tentu membuat gembira musuh-musuhnya. Nggak usah capek-capek memerangi karena banyak di antara kaum muslimin udah nggak bertenaga dan bahkan mengadopsi apa yang diajarkan oleh mereka. Permisifisme dan hedonisme adalah budaya Barat, tapi kini diamalkan juga oleh kaum Muslimin. Tuh, gimana nggak senang dan bersorak gembira kalo kenyataannya kayak gini. Tul nggak?

Padahal, Islam tuh keren banget sebagai ideologi, cuma sayangnya banyak umat Islam yang nggak tahu. Bahkan ada yang mencoba mengambil manfaat dari budaya Barat secara total. Ini kan aneh. Duh, kalo gitu, makin seneng aja musuh-musuh Islam. Benar kata Muhammad Abduh, “Al Islamu mahjubun bil muslimin – agama Islam terhalangi oleh kaum muslimin.” Yup, cahaya dan keagungan Islam pudar oleh perbuatan umatnya sendiri.

Dengan kenyataan seperti ini, tentunya kita berharap banget nih kaum Muslimin (khususnya remaja) segera nyadar. Kita ini hebat, tapi karena kita kebanyakan nggak memahami Islam sebagai ideologi, cuma tahu Islam tuh ngurus ibadah ritual belaka, maka akibatnya kita jadi lemah, tak berdaya, hilang kekuatannya, dan tumbuh subur kemaksiatan dalam kehidupan kita. Kondisi ini bikin musuh-musuh Islam seneng ati. Itu sebabnya, mereka khawatir kalo umat Islam memahami politik Islam dengan benar.

Jadi, mereka yang takut Islam politik, akan berusaha terus tuh untuk melemahkan kaum muslimin dengan cara menjauhkannya dari ajaran Islam yang paripurna. Aduh, rugi banget dah kita kalo menjadikan Islam cuma sebatas ritual belaka.

Sebagai tambahan, sepertinya kita perlu menyimak penuturan politikus muslim Mohammad Natsir yang menyampaikan, “Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman hidup bagi individu, masyarakat dan negara. Islam menentang kesewenang-wenangan manusia terhadap saudaranya. karena itu, kaum muslimin harus berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan. Islam menyetujui prinsip-prinsip Negara yang benar. Karena itu, kaum muslimin harus mengelola negara yang merdeka berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuan ini tidak terwujud jika kaum Muslimin tidak punya keberanian berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan, sesuai dengan nilai-nilai yang diserukan Islam. Mereka juga harus serius membentuk kader dari kalangan pemuda muslim yang terpelajar.” (hidayatullahcom)

Ayo bangkit dan pahami Islam sebagai ideologi agar kita mau dan mampu untuk berjuang menegakkannya! [O. Solihin | IG @osolihin]