Friday, 29 March 2024, 13:57

gaulislam edisi 322/tahun ke-7 (20 Safar 1435 H/ 23 Desember 2013)
Dear sobat gaulislam, bertahun-tahun hidup di Indonesia dengan muslim sebagai mayoritas penduduk sebenarnya membuat saya ‘kagum’ karena di bulan Desember yang belum juga nyampe tanggal 25 udah penuh dengan nuansa hari raya Natal. Lihat aja tayangan-tayangan tv udah mulai siap dengan film-film bernuansa Natal. Mal-mal dan pusat perbelanjaan pun demikian, selama 1 bulan penuh nuansa Natal dan diskon gede-gedean digelar.  Apalagi ada fakta yang bikin saya mengelus dada yaitu justu para karyawan yang muslim di mal dan pusat malah disuruh memakai topi sampai kostum ala Sinterklas. Belum lagi entar ada yang ujug-ujug sowan ke rumah-rumah teman atau bos demi merayakan dan ngucapin selamat Natal—karena alasan ‘nggak enak’. Uff… kok gini banget ya? Emang toleransi itu sejauh mana sih?

Mau tahu jawabannya? Kamu kudu belajar lebih mendalam tentang Islam, Bro en Sis. Tetapi jangan khawatir, kalo kamu mau baca terus artikel ini, insya Allah dapat juga jawabannya meski tak banyak. Semangat!

 

Sensitif tapi kudu!

Yup, masalah perbedaan keyakinan memang sensitif. Tapi justru karena sensitif jadi kudu dipahami.  Kalo nggak paham, jadilah semua agama ibarat ‘komedi putar’. Muter kemana aja arahnya, semua sama. Wadoouw!

Sensitif? Ya memang! Makanya kudu ada yang namanya toleransi biar sensitivitas itu nggak meruncing dan bikin perpecahan. Nggak enak banget kan, kalo berantem ternyata pangkal masalahnya adalah perbedaan keyakinan alias agama. Coz, ya emang beda duluan apanya yang mau disamain? Toleransi? Yap, bener banget!  Tapi harus dipahami seperti apa sih toleransi yang bener dalam perbedaan keyakinan. Itu masalah yang harus kita ketahui dan samakan persepsinya.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sebenernya simpel aja sih. Sederhana. Toleransi dalam beragama berarti ya membiarkan mereka yang berbeda agama dengan kita untuk menjalankan seluruh ibadah dan ritual mereka tanpa kita ganggu. Begitupun sebaliknya. Jadi, ikutan dengan mereka untuk merayakan dan mengucapkan selamat di hari raya mereka, itu nggak termasuk perwujudan toleransi, apalagi sampe mau ngejalanin demi meramaikan hari raya mereka—misalnya pake kostum sinterklas walaupun hal itu demi kerjaan. Hmm… justru sebenarnya udah ‘mengorbankan akidah’ kita untuk ikut-ikutan mereka. Nggak banget deh!

 

Takut?

Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir), niscaya kalian akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, lihat al-Lu’lu wal Marjan, hadits no. 1708)

Sebenarnya saya udah angkat jempol buat Majelis Ulama Indonesia yang udah keren banget mengadakan pemantauan dan pengawasan dalam masalah toleransi beragama ini. Mulai dengan disahkannya fatwa ‘larangan merayakan Natal bersama’ bertanggal 7 Maret 1981 (walaupun hal-hal yang sudah nyata dan jelas hukumnya, nggak perlu lagi ada fatwa. Ya kayak gini susahnya hidup tanpa khilafah Islam). Justru MUI tegas menegur dan menghimbau agar tidak berlebihan dalam memasang atribut Natal ataupun perayaan agama yang bukan Islam sebagaimana dimuat dalam situs republika.co.id (22/12/2010). MUI pun mengingatkan kepada pengelola mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya agar tidak memaksa karyawannya yang beragama Islam untuk memakai simbol-simbol dan ritual Natal.

Dinas Tenaga Kerja kota Bekasi pun pernah membuka posko bagi para karyawan yang merasa keberatan bila tempat kerjanya memaksa mereka untuk mengenakan atribut Natal seperti dimuat dalam republika.co.id (22/12/2009).

Tetapi, data itu udah lama banget, tahun 2009 dan 2010. Lha kalo sekarang bagaimana? Seharusnya tetap seperti itu. Udah jelas kok batasannya.

Sobat gaulislam, rasa takut selalu menyergap perasaan kita gara-gara ‘toleransi’ perbedaan keyakinan ini.  Sebenarnya, lebih baik takut kepada Allah Ta’ala daripada takut kepada bos ataupun merasa nggak enak sama teman atau mungkin keluarga sendiri. Yup, daripada ngorbanin akidah sendiri, hayo! Kalo memang risikonya bakal kehilangan kerja dan lain-lain ya mending cari kerja or cari temen-temen yang bisa melindungi akidah deh. Tapi, selain itu sebaiknya positive thinking dulu. Lobi dulu. Omong baek-baek. Harusnya sih si bos ngerti, begitu juga temen kita.  Walaupun mungkin nanti ada konsekuensi yang kita terima, misal nggak dapet uang bonus, hubungan pertemanan jadi renggang, menurut saya sih itu nggak masalah ketimbang dimurkai Allah gara-gara kita ikutan merayakan Natal atau mengucapkan selamat di hari raya mereka. Iya nggak sih?

Allah Ta’ala udah berfirman dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 44, “..dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Selain itu, ada satu surat yang kayaknya udah kamu hafal dan mungkin dibaca setiap shalat. Yup, yakni firman Allah Ta’ala dalam surat al-Kaafiruun ayat 1-6 (kamu pasti tahu kan isinya? Hah? Lupa? Oke, saya tuliskan di sini ya, Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”)

Surat tersebut udah menegaskan bahwa toleransi perbedaan agama menurut Islam ya nggak boleh saling mencampuri urusan ibadah satu sama lain. So, mau takut apa lagi sih? Don’t worry be true muslim!

 

Negara penjaga akidah Islam

Yup, saat Islam belum lagi menjadi sebuah negara, Bilal bin Rabbah radhiallaahu ‘anhu tetap memegang teguh Islam sampe sekarat disiksa Umayyah bin Khalaf, majikannya yang adalah ‘orang penting’ kaum Quraisy. Kudu tuh kita jadikan contoh, sebab yang kita terima belumlah seberapa dibanding yang dirasakan oleh Bilal.

Nah, begitu Islam telah diterapkan dalam kehidupan, termasuk dalam bernegara ternyata sebenarnya negara kudu menjaga akidah warganegaranya. Baik Muslim maupun non Muslim. Lho? Iya, emang dikata kalo negara Islam isinya orang Islam semua? Ih, ketahuan tuh kamu nggak tahu sirah nabawiyah dan sejarah Islam (hehehe…)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Negara Islam yang beken dengan nama “Khilafah Islam” justru ternyata melindungi warganegara non-Muslim dalam menjalankan keyakinan dan agama mereka. Sampe dalam hal makanan dan pakaian, warganegara non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik, selama masih dalam koridor peraturan umum (yakni selama masih dibenarkan oleh syariah Islam); serta berhak melakukan pernikahan dan perceraian di antara mereka berdasarkan ketentuan agama dan keyakinannya. Tetapi kalo udah berhubungan dengan kepentingan publik dan negara, ya wajib tunduk pada aturan Islam.

Sekali lagi nih, dalam urusan keyakinan atau akidah, Islam nggak pernah memaksa seseorang untuk masuk ke dalam agama Islam. Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghutdan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 256)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Khilafah Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Muslim untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Khilafah Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun (Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyah hlm. 145)

So, Guys. Sebenarnya masalah toleransi akan semakin afdol terlaksana kalo individu yang menjalankan keyakinannya dilindungi oleh negara. Asalkan toleransi ini sesuai Islam bukan toleransi versi pluralisme yang membuat umat Islam justru latah ikut-ikutan merayakan dan mengucapkan selamat dalam perayaan agama yang berbeda.

Oya, yang perlu ditekankan nih, sebagai muslim kita justru harus bangga karena di akhirat nanti kita jelas di surga, sementara orang kafir tempatnya di neraka. Allah Ta’ala berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS al-Bayyinah [98]: 6-8)

Makin yakin dengan kemuliaan kita muslim kan? Then, keep your faith! Kita harus berani bilang ke teman or siapa saja yang nonmuslim: “Agamamu bukan agamaku”. Oke, sekian en terima kasih. [anindita | e-mail: thefaith_78@yahoo.com]