Thursday, 25 April 2024, 07:42

  gaulislamedisi 274/tahun ke-6 (9 Rabi’ul Awwal 1434 H/ 21 Januari 2013)

 

Ayo, siapa di antara kamu yang tahu RSBI? Hmm… yang pasti RSBI bukan Rumah Sakit Bersalin Indonesia, atau pun Ra iso Sekolah, Bayar Iso (nggak bisa sekolah, bayar jadi bisa), tapi adalah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Kalo ditilik dari singkatan resminya, sebenarnya RSBI ini mustinya keren banget, namun yang namanya ‘rintisan’ juga memiliki arti ‘diusahakan’, belum memberikan kepastian, hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi memberikan kepastian final dengan membubarkannya. Diulang: membubarkannya.

Program RSBI mulai digulirkan pemerintah dengan alasan untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di Indonesia dengan negara-negara lain, sehingga nantinya diharapkan jebolan dari program RSBI ini bisa bersaing dikancah internasional. Tapi apa daya, niat mulia tersebut langsung direspon oleh kalangan pebisnis sebagai kesempatan untuk mengeruk keuntungan dari dunia pendidikan. Hasilnya? terjadi stigmatisasi bahwa pendidikan yang bertaraf internasional adalah pendidikan yang mahal dan bahasa pengantar belajarnya pun harus disampaikan dalam bahasa Inggris, walaupun sekolahnya sendiri ada di Indonesia, dididik oleh orang Indonesia, yang dulunya juga sekolah di Indonesia.

Lebih lucu lagi, ketika orang Indonesia sudah pada mulai jago bahasa Inggris, eh ternyata anak-anak negara lain pada belajar bahasa Cina dan Korea Selatan, karena emang sekarang Cina dan Korea Selatan perlahan menjadi kiblat baru dalam berbagai hal, Cina sudah menjadi kiblat baru dalam bidang ekonomi, teknologi dan militer. Hollywood dan Bollywood yang sebelumnya menjadi kiblat seni dan budaya populer, sekarang Korea Selatan yang bertahta dengan K-Wave. Kalo suatu ketika nanti giliran Indonesia yang bertahta, anak-anak negara lain mulai belajar bahasa Indonesia, apa ya kita masih ngeyel belajar bahasa asing?

Oya, dalam hal ini bukan berarti belajar bahasa asing tidak ada manfaatnya, namun ketika masih dalam fase pendidikan, pemahamanlah yang mustinya diutamakan. Nggak peduli mau pake bahasa apa, justru sejarah membuktikan, penerjemahan berbagai macam ilmu (buku) ke bahasa lokal akan sangat membantu bangsa tersebut untuk lebih maju. Lihatlah bagaimana Islam semakin tersebar luas, ketika mulai banyak ajarannya diterjemahkan ke dalam bahasa lain, lihat juga bagaimana Jepang bisa bangkit dengan cepat setelah kalah perang.

Bro en Sis ‘penggila’ gaulislam, program RSBI sebenernya tidaklah mutlak buruk. Ide dasarnya cukup mulia, namun pelaksanaannya yang hancur lebur. Program yang belum sempat membuktikan kehandalannya tersebut, sudah dieksploitasi sejak awal untuk bisnis, sehingga semakin mempertajam jurang kesenjangan pendidikan di Indonesia. Buktinya, mereka yang kaya bisa sekolah di mana saja, sementara siswa yang pintar belum tentu, apa lagi sudah tidak pintar, miskin pula. Ironinya, kelompok terakhir inilah yang dominan di Indonesia. Di lain sisi, siswa kaya belum tentu pintar. Maka, dengan mengakomodasi siswa kaya dan tidak pintar ini ke dalam sekolah unggulan, justru berpotensi menurunkan kualitas sekolah unggulan tersebut. Betul nggak?

Sobat muda muslim, menurut ente pade, mana yang lebih membanggakan bagi seorang guru: mendidik anak yang sudah pintar untuk kemudian menjadi lebih pintar atau berhasil mengubah anak yang sebelumnya tidak pintar menjadi pintar? Ayo jawab! Yup, sebenernya keduanya tidaklah salah, namun menilik kondisi Indonesia saat ini, mustinya pilihan untuk mengubah anak yang tidak pintar menjadi pintar, lebih prioritas.

Bila siswa yang pintar memperoleh prioritas karena kepintarannya, semestinya siswa yang tidak pintar, juga memperoleh prioritas. Namun yang terjadi saat ini adalah siswa yang tidak pintar ini akan semakin susah untuk sekolah, apalagi mengenyam fasilitas pendidikan yang premium, mimpi kali ye?

 

Bertaraf internasional

Menurut ane, yang dimaksud dengan bertaraf internasional sejatinya adalah pengakuan. Pengakuan dari siapa? Pengakuan dari masyarakat internasional. Bukan standar yang ditetapkan oleh pemerintah negara tertentu, bukan pula dari standar fasilitas dan bayaran yang tinggi. Jadi sebuah sekolah akan berubah statusnya menjadi sekolah bertaraf internasional dengan sendirinya, ketika sistem pendidikannya diakui oleh masyarakat internasional. Hal ini ditandai dengan, ketika orang dari berbagai negara, berebut untuk masuk sekolah tersebut, atau ketika sekolah tersebut bisa menyelenggarakan pendidikan lintas negara, karena diakui standarnya. Misal nih,  SMP Negeri 4 Surakarta buka cabang di New York, London dan Paris. Kalo itu sih sudah jelas dengan sendirinya sekolah tersebut menjadi bertaraf internasional.

Kalo melihat dari uraian sebelumnya sepertinya sekolah bertaraf internasional akan sulit dicapai, namun apa bener seperti itu? Tidak juga, kalo kita menilik pendidikan Islam yang diselenggarakan di Indonesia oleh pesantren, kita patut bangga, karena di beberapa pesantren yang ada di Indonesia, santri mereka berasal dari berbagai negara. Santri asing ini sengaja datang ke Indonesia khusus hanya untuk sekolah di pesantren tersebut. Selain itu yang ane tahu, prestasi ulama Indonesia dalam bidang pendidikan juga cukup membanggakan. Seorang ulama Indonesia di bidang bahasa Arab, buku karyanya mengenai belajar bahasa Arab, justru digunakan di Mesir saat ini, sebagai buku rujukan belajar bahasa Arab untuk tingkat dasar. Ya, logikanya, kalo buku tersebut menjadikan orang non Arab mudah berbahasa Arab, apalagi orang Arab, ya toh? Tapi ada juga sih yang lahir di Arab, besar di Arab, tapi seumur hidupnya tidak pernah bisa bahasa Arab, siapa coba? Onta!

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, dalam Islam pendidikan difokuskan pada skill alias kemampuan tertentu (mirip sekolah kejuruan). Dalam sepanjang sejarah Islam akan banyak kita temui berbagai ulama dengan skill yang spesifik, misal penghafal hadist, penghafal al-Quran, ulama fikih, kadang masih dibagi lagi kepada fikih bidang tertentu, misal fikih ekonomi dan sebagainya. Jelas bahwa pembagian tersebut berdasar pada bidang keahlian masing-masing ulama, bukan pada pengelompokkan tertentu, misal ulama SD, ulama SMP atau ulama S3.

Tradisi keilmuan yang kokoh dalam Islam tidak dibangun dalam sehari atau setahun dua tahun saja. Seringkali para penuntut ilmu belajar kepada 1 guru/ulama hanya untuk satu bidang ajar saja, kemudian berpindah ke guru/ulama yang lain untuk mempelajari bidang ajar yang lain. Sehingga akhirnya Islam selalu sukses menghasilkan generasi yang mumpuni di sepanjang masa. Catet Bro!

 

Berantakan!

Ada dua hal yang menjadikan pendidikan kita berantakan saat ini. Pertama, ingin instan. Hmm… generasi terdahulu mempelajari al-Quran sedikit demi sedikit bukan tanpa tujuan atau karena malas, namun mereka melakukannya agar bisa memahami al-Quran secara benar, sekaligus untuk diamalkan. Diriwayatkan bahwa Ustman bin Affan, Ubai bin Ka’b serta Ibnu Mas’ud menyatakan, mereka tidak akan ditambah 10 ayat lainnya oleh Rasulullah, kecuali telah mengamalkan 10 ayat sebelumnya. (lihat al-Jami‘ li al-Ahkam al-Quran, 1/51)

Itu sebabnya, mempelajari al-Quran dengan cara seperti ini membuat para Sahabat semisal Ibnu Umar baru bisa mengkhatamkan surat al-Baqarah selama delapan tahun. Sedangkan Umar bin al-Khaththab untuk menghafal al-Baqarah membutuhkan waktu 10 tahun. Namun hasil dan kualitasnya tidak diragukan lagi.

Nah, kalo kita lihat pendidikan saat ini, semuanya serba instan. Baru sekolah 1-2 tahun sudah dituntut untuk bisa seperti ulama. Belum lagi berbagai metode instan untuk lolos ujian nasional yang ditawarkan oleh bimbingan belajar, seolah-olah 3 bulan kursus atau ikut bimbel dijamin lolos UN atau tembus PTN favorit. Lah kalo seperti ini, terus buat apa sekolah lama-lama? Mending ikut bimbel aja langsung lulus. Iya nggak sih? *iya aja deh daripada bonyok (nggak nyambung hehehe..)

Kedua, pengelompokan pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia dipecah berdasarkan kelompok umur, semula hanya ada TK, SD, SMP, SMA dan S1 sd S3. 4 kelompok yang pertama adalah berdasar usia anak didik. Sementara untuk level strata 1 sampe 3 pengelompokkannya lebih kepada kemampuan dan spesialisasi. Namun pengkastaan ini kemudian berkembang, menjadi PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), playgroup, TK, SD, SMP, SMA, SMK, Diploma 1-3 dan Strata 1-3. Pengkastaan ini terus berkembang, termasuk di dalamnya mulai menyelipkan program RSBI yang bermasalah itu.

Nah, karena pengkastaan ini awalnya berdasar kelompok umur, alhasil menjadi tidak relevan bagi dunia kerja, karena di dalam dunia kerja umumnya yang dituntut adalah skill, bukan standar pendidikan berdasarkan kelompok umur. Di sinilah pangkal ketidak-cocokannya. Misal nih, skill yang dicari adalah untuk programer, ketika seorang anak usia 12 tahun mampu melakukannya, maka (seharusnya) dia bisa digaji sama dengan programmer lain yang usianya lebih tua, dalam dunia IT saat ini. Hal seperti ini sudah lumrah. Tapi kenyataannya gimana? Selalu syaratnya untuk diiterima kerja adalah udah lulus minimal SMA/SMK atau D3 atau S1. Iya kan? Nggak cocok jadinya.

Bro en Sis, suatu saat nanti, ketika semua sekolah adalah sekolah bertaraf internasional, maka tidak ada lagi perbedaan status, tidak ada lagi keistimewaan yang melekat, terus sekolah apa lagi yang akan kita cari? Dulu orang sangat bangga ketika bisa mengenyam pendidikan SD, karena memang waktu itu jumlah yang tidak bisa sekolah lebih banyak, seiring dengan waktu hal tersebut tidak lagi menjadi kebanggaan, sekarang kita hidup di era dimana pendidikan SD dan SMP udah standar, SMA/SMK banyak, sarjana banyak, S2 juga sudah mulai menumpuk, kalo suatu ketika nanti pendidikan S2 dan S3 sudah umum, terus sekolah apa lagi yang kita cari? Tapi Bro en Sis, bagi seorang muslim, belajarlah terus hingga maut menjemput. Amalkan selalu ilmu kita kapanpun dan di manapun. Semoga bermanfaat. [Abu Fikri – @gaulislam]

1 thought on “Alhamdulillah, RSBI Bubar!

  1. Assalamu’alaikum … Alhamdulillah … Ketika awal masuk SMA, saya punya pengalaman. Jadi suatu ketika, saya mendaftar di salah satu sekolah di kota saya yang berstatus RSBI. Orang tua saya sangat mendukung, karena yakin sekolah RSBI kualitasnya bagus. Ketika mengikuti test masuk, dan wawancara – orang tua saya diwawancarai soal gaji, ‘dari situ timbul kecurigaa besar dari orang tua saya’. Lalu, hari pengumuman lolos tidaknya calon peserta didik baru, akhirnya saya tidak tercantum di pengumuman seleksi. namun, 2 hari setelah pengumuman – ternyata ada telfon dari pihak sekolah RSBI, katanya saya diterima – namun pihak penelepon berkata. ‘bapak berani bayar berapa? minimal 2 juta’ – langsung ayah saya tutup itu telepon dan tidak percaya lagi pada sekolah yang berpredikat RSBI. Ini pengalaman saya.

    ‘alaikumussalam. Salah seorang aktifis GI juga memiliki pengalaman yang mirip, jadi kami bersyukur dengan dibubarkannya RSBI, semoga kedepan sekolah2 di Indonesia bisa lebih maju
    Redaksi gaulislam

Comments are closed.