Friday, 29 March 2024, 18:22

Kebaikan bisa datang dari mana saja. Dari seorang alim, atau mungkin orang yang terdekat dengan kita. Itulah yang aku rasakan dari kakakku tercinta.

Aku adalah anak ke-2 dari dua bersaudara di keluargaku. Dan aku hanya mempunyai satu orang kakak laki-laki yang amat sangat aku dan keluargaku sayangi. Usia kami berselang 2 tahun. Karena perbedaan usia yang tidak begitu jauh, hubungan di antara kami menjadi amat dekat.

Boleh di bilang kami keluarga yang amat harmonis. Kedua orang tua kami menyayangi kami berdua tanpa pernah membeda-bedakan. Semua sama. Begitupun hubunganku dengannya, amat sangat baik. Walau terkadang acapkali terjadi perselisihan, itu merupakan sesuatu yang wajar antara kakak dan adik. Kami sejak kecil selalu bermain bersama, dimarahi ortu bersama, senang bersama, susah bersama, semuanya selalu bersama. Dengannya, aku tidak pernah merasa ragu untuk curhat. Malah terkadang ia pun curhat kepadaku.

Di sekolah kakakku termasuk salah seorang yang berprestasi, terutama dalam pelajaran bahasa Inggris. Aku sering kali meminta bantuannya dalam menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan bahasa Inggris. Dan ia pun tak segan-segan untuk membantuku.

Tertarik pada Islam

Kakakku merupakan pelopor di keluargaku yang tertarik pada kegiatan keislaman dan dakwah. Awalnya sih ia ikutan ngaji hanya iseng demi mengisi waktu luang, tapi ternyata malah ketagihan & jadi aktivis lagi. Waktu itu kawan-kawannya yang mengajak untuk aktif di DKM sekolah. Lama kelamaan kegiatan ngaji jadi aktivitas rutin dan serius. Malah ia menyempatkan diri menjadi santri kalong – tidak menginap – di satu madrasah diniyah di kotaku.

Jiwa dan semangat dakwah kakakku muncul. Ia mulai membawa misi Islam ke tengah-tengah keluarga. Ia mengenalkan kalau agama Islam bukan sekadar ibadah tapi juga pandangan hidup yang sempurna. Dengan berani kakakku juga memberikan gambaran politik kaum muslimin saat ini. Walau selalu mendapat tentangan dari keluarga namun kakak pantang menyerah. Aku sendiri waktu itu salah satu orang yang paling keras menentangnya. Namun, dengan berbagai cara dia terus mengajakku untuk ikut menghadiri pengajian.

Seiring jalannya sang waktu akhirnya aku mulai tertarik pada Islam dan berazzam untuk menjadi hamilud da’wah yang istiqomah sampai akhir hayatku (insya Allah) seperti kakakku.

Memasuki masa kuliah, kiprah dakwah kakak di kampus semakin gencar. Dia tidak pernah mempedulikan apapun halangan dakwah walaupun ada sebagian teman yang menolak langkah perjuangannya. Walau seperti itu dia tetap konsisten dalam berdakwah dan dia sangat pintar bergaul hingga membuat sebagian teman yang lain menjadi simpatik terhadapnya. Hal ini diakui oleh salah seorang teman dekatnya, bahwa kakakku paling mudah mempengaruhi orang lain.

Ujian Itu Datang

Disaat sedang gencar berdakwah Allah Swt. memberikan ujian berupa sakit yang cukup aneh dan langka yaitu kanker di dadanya. Menurut dokter penyakitnya itu hanya biasa ditemukan pada wanita. Pada awalnya dia tidak merasakan apa-apa, hanya pegal-pegal yang biasa dia rasakan. Maklum, selain aktivis dakwah dia juga aktif dalam bela diri. Lama-kelamaan sekitar enam bulanan, sakit yang dianggap biasa itu mulai terasa. Akhirnya bapak mengajaknya ke dokter untuk di periksa. Ternyata dia harus di rontgen untuk mengetahui jenis penyakit yang diderita kakak. Setelah satu minggu menunggu hasil rontgen, tak diduga ternyata? dokter di Bogor tidak tahu dan disarankan untuk membawanya ke rumah sakit pusat POLRI RS SOEKANTO di Jakarta. Ternyata penyakit itu adalah kanker dan dokter menyarankan agar segera dioperasi.

Akhirnya kakak harus di operasi dan di opname selama 3 hari di sana. Kabar terakhir yang diterima bahwa kanker itu sudah mencapai tingkat (level) tiga. Ini merupakan tingkatan yang sudah sangat parah untuk penderita kanker. Lalu dokter menyarankan untuk menjalankan proses kemoterapi di RS GATOT SUBROTO Jakarta. Dengan tabah dan pasrah kakak menjalaninya sebanyak 35 kali. Tapi hasilnya, tak ada perubahan bahkan penyakit kakak semakin parah.

Setelah di ketahui tidak ada perubahan, kami sekeluarga mencoba pengobatan alternatif, ya…hasilnya sama saja. Akhirnya setelah berikhtiar ke berbagai tempat namun tak kunjung ada hasil, kami sekeluarga hanya bisa pasrah pada Allah Swt. atas kesembuhannya.

Hari-hari yang di lalui kakak amat memprihatinkan. Dari mulai dapat berjalan hingga akhirnya hanya mampu duduk dan akhirnya semua aktivitasnya hanya dilakukan sambil berbaring, termasuk (maaf) buang air pun di tempat tidur. Alas tidur kakak pun dilapisi daun pisang. Hal ini kami lakukan karena kondisi kakak yang tidur terus menerus membuat pakaian dan sprei tidurnya melekat pada punggung.Tubuhnya pun hanya menjadi tulang berbalut kulit. Kurus kering tidak menyisakan kegagahan kakakku yang dahulu.

Satu-satunya hal yang menggembirakan hatiku dan kedua orang tua adalah kakak masih tekun menjalankan ibadah, meski dalam kondisi berbaring. Bahkan ia terkadang menyempatkan diri menelepon ustadznya untuk berkonsultasi masalah agama. Suatu ketika ia bertanya pada beliau, “Ustadz apakah saya berdosa jika meninggal sementara Khilafah belum tegak?” Dengan perasaan haru dan sedih guru kami itu membesarkan hati kakak dan tetap menyuruhnya bersabar. Bahkan yang membuat aku semakin terharu adalah kakak ingin selalu pergi mengaji walau dalam keadaan seperti itu.

Alhamdulillah, kawan-kawannya yang datang menjenguk selalu memberi semangat dan mengajaknya untuk tetap bersabar sambil beribadah kepada Allah. Kakakku cukup terhibur dengan kedatangan kawan-kawan pengajiannya.

Minta Maaf

Setelah 6 bulan lamanya di tempat tidur dengan kondisi badan hanya tulang berbalut kulit, kakak akhirnya meninggalkan kami semua. Seperti ada firasat, satu minggu sebelum berpulang ke pangkuan-Nya kakak menelpon semua temannya dan minta maaf atas semua kesalahan yang dilakukannya. Akhirnya pada tanggal 28 Januari 2003 kakak meninggalkan kami untuk selamanya.

Kejadian ini sangat membuatku sedih. Karena sekarang aku hanya tinggal sendiri, dan terlalu banyak kenangan bersamanya. Kawan-kawan kakak pun mengaku sangat kehilangan kakakku. Di mata temannya ia adalah sosok yang enak di ajak bergaul, curhat dan segalanya. Bahkan kegiatan pengajian nyaris terhenti setelah kakakku pergi.

Kini aku terus berusaha menjaga amanat dari kakakku selama sakit, yakni agar aku terus mengaji dan menjaga orangtuaku.

Terakhir bagi teman-teman pembaca yang mengenalnya, kami sekeluarga memohon maaf apabila beliau semasa hidupnya berbuat salah. Dan apabila ada yang memiliki urusan utang piutang harap segera menghubungi pihak keluarga. Kami juga minta kepada seluruh pembaca untuk mendoakan agar kakak mendapatkan rahmat di sisi Allah Swt. Amin [seperti diceritakan Wahyu pada Iwan].

[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi September 2003]

1 thought on “Kakakku, Sahabatku

Comments are closed.