Thursday, 25 April 2024, 17:09

  gaulislam edisi 428/tahun ke-9 (23 Rabiul Awwal 1437 H/ 4 Januari 2016)

 

Jadi muslim itu, seharusnya bahagia. Banyak ustaz bilang bahwa menjadi muslim adalah anugerah terindah. Karunia besar yang diberikan Allah Ta’ala. Patut disyukuri. Namun, ada juga lho, muslim yang justru merasa risih dengan label muslimnya. Kok bisa? Usut punya usut, ternyata oknum muslim ini merasa terkekang. Sebab, dalam Islam, banyak batasan dan larangan, menurutnya. Ah, saya jadi teringat cerita seorang kawan yang kuliah di sebuah perguruan tinggi. Waktu itu, dia cerita ke saya bahwa ada teman sekampusnya yang malas bertanya seputar hukum, terutama menurut Islam. Kenapa malas bertanya? Sebab, menurut teman saya, temannya itu bilang, “Nanti kalo nanya sama kamu, terus jawaban kamu, nggak boleh. Jadinya kan kita nggak bisa melakukan hal itu lagi,” selorohnya enteng banget.

Lucu ya? Kalo yang ditanyakan hukum, ya harusnya nurut bin manut sama aturan. Bukan malah menghindar. Kalo memang nggak boleh, ya jangan ngakalin supaya jadi boleh. Hati-hati lho. Jangan sampe kita menjadi muslim yang nggak taat syariat, nggak taat sama ketentuan akidah Islam. Itu bisa bahaya, Bro en Sis!

Sobat gaulislam, selain memang harusnya bangga jadi muslim, tetapi juga kudu paham bahwa menjadi muslim banyak ujiannya. Nggak asik banget kan, kalo tiba-tiba ada yang komentar, “Ih, muslim kok gitu? Pacarannya pol!” Atau komentar lainnya, “Ah, muslim sih, tapi korupsinya juga getol!” Nah, malu banget kan? Seharusnya jadi muslim itu memberikan contoh yang benar dan baik, jangan malah bikin rese karena mencontohkan kelakuan yang bertentangan dengan Islam.

 

Full time muslim

Menjadi muslim itu harus ditunjukkan dalam seluruh aspek kehidupan. Selain tentunya sepanjang hayat masih dikandung badan. Fulltime muslim. Nggak boleh minta jatah waktu tertentu, misalnya jadi muslim pas siang aja, malam hari ya melepas identitas kemuslimannya. Itu nggak boleh terjadi. Bisa bahaya lho. Nggak asik banget kalo tiba-tiba ajal datang, eh pas kita lagi melepas status sebagai muslim. Padahal, Allah Ta’ala udah ngasih peringatan keras, bahwa nggak boleh sama sekali kita ketika mati dalam kondisi nggak beriman, bukan muslim. Harus tetap dalam keadaan beriman dan tentu saja tetap menjadi muslim sampai kita mati.

Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali ‘Imran [3]: 102)

Tuh, catet dah. Semoga kamu bisa memahaminya ya. Iya lah, udah gede bin bangkotan masa’ nggak paham. Hehehe.. sori, jangan dimasukkin ke hardisk, eh, hati. Anggap aja ini beneran, bukan guyonan. Bener. Sebabnya, seharusnya hal ini udah jadi pemahaman setiap muslim. Bahwa menjadi muslim itu harus terus sepanjang waktu, full time muslim. Selama hayat masih dikandung badan, selama nyawa belum lepas dari raga, kita kudu tetap mempertahankan keyakinan kita bersama Islam. Nggak boleh luntur gairah, nggak boleh padam semangat. Kuatkan diri agar kokoh akidah, bagus akhlaknya, luas pengetahuannya. Jadilah muslim sejati. Jangan mau jadi muslim abal-abal atau yang memilih part time muslim. Idih, emangnya kerja pake istilah paruh waktu segala? Kalo jadi muslim jangan setengah-setengah. Harus full. Masa’ kalo makan pengennya full, kalo maen gim pengennya waktu bebas full time, tetapi untuk menjadi muslim malah part time? Bikin rugi di kemudian hari itu sih. Ih, muslim kok gitu?

Sobat gaulislam, saya sedih juga lho kalo ada remaja muslim yang kelihatannya alim banget pas pengajian atau kegiatan rohis, tetapi ngedadak beringas bak macan keluar kandang pas ngelihat lawan jenis. Udah gitu, malah janjian ketemuan ama lawan jenis dengan alasan ta’arufan, meski isinya sih sama aja dengan pacaran. Idih, muslim kok gitu?

Lain waktu ada seorang pembaca buku-buku saya. Salah satu buku yang dibacanya adalah Jangan Nodai Cinta. Waktu itu nih memang teman sekantor walau beda divisi dan usia juga terpaut jauh. Dia mengaku baca buku tersebut saat dia SMA. Nggak nyangka katanya kalo ternyata penulisnya ada di kantor yang sama saat itu. Komentar dia terhadap buku saya sih, bagus. “Isinya bagus,” begitu nilainya. Eh, pas pulang kantor malah dia mau dibonceng sama teman cowoknya yang satu kantor. Udah saya bilang, “Nggak boleh Mbak. Itu kan bukan mahrom.” Eh, dia malah enteng menjawab, “Udah mau hujan nih!” Yee… muslimah kok gitu? Hadeeeuhh. Bro en Sis, yang model gini cukup banyak. Kasihan banget. Tetapi apa daya, saya pun cuma bisa ngasih tahu secara lisan dan tulisan, belum bisa mencegah dengan kuat. Itu pun kalo nemu langsung kasusnya. Kalo nggak ya nggak tahu juga.

Pengalaman yang hampir sama terulang juga. Waktu itu, saya mengisi acara buka bersama di sebuah masjid di suatu tempat di Jakarta. Panitianya meminta saya mengisi acara tersebut dengan membedah salah satu buku yang saya tulis bersama kawan saya. Ya, buku itu adalah Jangan Nodai Cinta. Setelah berbusa-busa menjelaskan tentang tata pergaulan antar lawan jenis dalam Islam. Mana yang dibolehkan, dan mana yang dilarang, eh malah memantul sempurna bagi beberapa remaja. Buktinya, usai acara, ada anak cowok (seingat saya itu panitia) yang malah nganterin temannya yang muslimah berboncengan di sepeda motor. Kontan saja saya reflek untuk mencegah anak itu. Eh, kata salah seorang panitia yang lain, “Kasihan Pak, rumahnya jauh. Nanti kemaleman,” komentarnya enteng. Waduh!

Saya jadi berpikir. Apakah saya yang salah menyampaikan secara lisan dan tulisan, atau memang anaknya bandel? Tak tahulah. Sampai sekarang saya sendiri selalu was-was. Khawatir apa yang saya sampaikan salah. Bisa bahaya banget, kan? Tetapi, ketika saya buka kembali isi buku itu dan saya ingat-ingat kembali perkataan saya, insya Allah nggak ada yang keliru. Meski demikian, saya tetap akan menyampaikan yang terbaik dalam mengingatkan sesama muslim. Khususnya teman-teman remaja yang menjadi sasaran dakwah saya selama ini. Bismillah!

Sobat gaulislam, contoh-contoh di atas yang udah saya paparkan, adalah beberapa fakta bahwa ada memang muslim yang part time. Sadar jadi muslim pas waktu-wakltu tertentu, misalnya saat shalat. Rajin sih shalatnya, tapi kacaunya, getol juga maksiatnya. Itu bukan full time muslim. Kasihan banget. Semoga segera sadar dan menyadari bahwa apa yang dilakukannya keliru besar. Agar tak ada lagi peluang bagi orang di luar Islam, atau sesama muslim sendiri untuk berkomentar, “Muslim kok gitu?”

 

Citra diri sebagai muslim

Gambaran diri sebagai muslim, umumnya identik dengan kebaikan. Saat berbusana menutup aurat, saat berbicara hati-hati, berperilaku santun, dan rendah hati. Itu gambaran yang mencoba dibangun. Maka, ketika ada yang janggal dari citra diri sebagai muslimah, misalnya, komentar miring dan pedas kerapkali tersemat, “Muslimah kok, gitu? Muslim kok gitu?” Hilang sudah gambaran asli yang melekat sebagai ciri khas seorang muslim atau muslimah.

Citra diri itu penting. Walau hal ini bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, termasuk hal yang negatif. Seorang penjahat bisa mencitrakan diri jadi baik dengan cara berpura-pura dan menyusup menjadi anggota polisi. Atau sebaliknya, anggota polisi yang disusupkan ke kelompok kejahatan atau kriminal kayak di film The Departed. So, citra diri itu penting. Tetapi persoalannya, seberapa penting pencitraan diri jika faktanya kita tak mampu untuk membuktikannya sesuai kenyataan?

Sobat gaulislam, tunjukkan kalo kamu adalah seorang muslim. Lalu, kuatkan tekad ntuk membela Islam. Jangan lupa, kokohkan akidah dan baguskan akhlak. Agar apa yang kita lakukan mendapat ridho Allah Ta’ala. Selain itu, memastikan bahwa tak ada celah bagi siapa pun untuk bilang, “Muslim kok gitu?”. Ingat sobat, apa yang kita pikirkan, pendapat yang kita sampaikan, perbuatan yang kita lakukan, akan menunjukkan citra diri kita. Itu sebabnya, yang kita pikirkan, yang kita sampaikan, dan yang kita perbuat adalah cerminan dari apa yang kita pahami tentang kehidupan. Dengan kata lain, citra diri sebagai muslim akan terwakili dari apa yang kita pikirkan dan lakukan. So, jadilah muslim sejati yang pikiran, perasaan, dan perbuatannya sesuai dengan tuntunan Islam.

Ada beberapa tips nih agar citra diri sebagai muslim, atau lebih tepatnya disebut kepribadian yang islami bisa kita miliki, Bro en Sis.

Pertama, akidah yang lurus dan tak goyah. Ini penting. Sebab, akidah yang lurus lagi kokoh adalah bagian yang paling membedakan antara seorang muslim dengan seorang yang kufur. Aneh banget kalo ada yang ngaku muslim, tetapi akidahnya nggak meyakini Allah Ta’ala sebagai pencipta dan wajib disembah. Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam.” (QS al-An’aam [6]:162)

Kedua, takwa. Ya, ini sih sebenarnya udah pasti. Kalo udah beriman, harusnya bertakwa. Namun, karena ada aja yang ngaku-ngaku beriman, tetapi malah nggak bertakwa. Sederhana saja sih pengertian takwa itu. Laksanakan yang memang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan tinggalkan atau jauhi yang memang dilarang-Nya.

Ketiga, ibadahnya tidak saja benar, tetapi berlomba untuk dipebanyak dan diperbagus. Sebab, percuma ngaku sebagai muslim tapi jarang atau bahkan nggak pernah beribadah. Ih, muslim kok gitu?

Keempat, akhlak yang bagus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, amat agung akhlaknya. Nah, karena Rasulullah adalah orang yang paling layak dijadikan uswatun hasanah (teladan yang baik), maka dalam hal akhlak pun kita wajib mencontoh pribadi Rasulullah agar bisa bagus akhlaknya. Sebab, kalo akhlak kita jelek, nanti ada yang bilang, “muslim kok gitu?”

Kelima, memiliki pengetahuan yang luas. Bagaimana agar bisa memiliki pengetahuan yang luas? Tentu saja kamu dan kita semua kaum muslimin kudu belajar. Firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”(QS az-Zumar [39]:9)

Oke deh, sobat gaulislam. Semoga kita semua bisa menjadi muslim sejati. Bukan muslim abal-abal, yang salah satunya dicirikan dengan lain di hati lain di perbuatan dan ucapan. Tutup celah peluang sekecil apapun agar kita tak dilecehkan dengan kata-kata sindiran atau nada mempertanyakan, “muslim kok gitu?”. Jadi, ayo kita perbaiki kualitas diri kita seperti yang tadi udah dipaparkan ya. Semangat! [O. Solihin | Twitter @osolihin]