Friday, 29 March 2024, 06:09

gaulislam edisi 300/tahun ke-6 (13 Ramadhan 1434 H/ 22 Juli 2013)

 

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, di edisi pekan ke-300 ini, sebenarnya nggak tega juga nulis judul seperti ini. Tetapi ya mau gimana lagi, faktanya setiap Ramadhan tiba acara televisi seperti berlomba menebar tawa, bukan menebar takwa. Pemirsa pun pada akhirnya lebih sering tertawa daripada bertakwa. Tengok sajalah acara televisi menjelang buka puasa dan menjelang sahur, lebih banyak yang meningkatkan ketawaan atau yang berupaya meningkatkan ketakwaan? Silakan bisa kamu nilai sendiri deh.

Pekan ini, saat buletin kesayangan kamu ini terbit (22 Juli 2013) sudah memasuki hari ke-13 Ramadhan. Hampir setengah perjalanan yang kita tempuh dalam menjalankan ibadah shaum ini. Silakan bertanya pada diri kamu masing-masing, adakah hal yang istimewa yang telah diraih? Semoga saja memang ada meski di tengah budaya dan kondisi yang nggak ngedukung untuk bisa menjadi ideal dalam melaksanakan syariat Islam, khususnya dalam beribadah shaum ini. Yup, sebab seharusnya Ramadhan adalah momen untuk belajar, saat yang tepat untuk mendapat banyak ilmu, wawasan dan menempa diri agar kian menjadi pribadi yang bertakwa, tetapi apadaya lingkungan kurang mendukung. Salah satunya justru datang dari media televisi yang sering dijadikan tempat melepas penat oleh sebagian besar masyarakat dalam mencari hiburan. Lha, alih-alih hiburan itu berisi hal yang bermanfaat, ternyata tak sedikit yang malah mengajak maksiat. Waspadalah!

Melihat kenyataan saat ini, saya kadang suka tergoda untuk nostalgia. Gimana pun juga, zaman sekarang memang berbeda dengan zaman ketika saya kecil (SD dan SMP) di tahun 1980-an (halah, kalo ngomongin tahun serasa udah jadi kakek-kakek sekarang, hahahaha). Di tahun itu, saya dan kawan-kawan tak terlalu banyak bersentuhan dengan televisi sehingga kecil pengaruhnya. Selain karena hanya satu-satunya stasiun televisi yang ada, yakni TVRI, jam tayangnya pun baru mulai menyapa pemirsa sekitar jam 4 sore. Itu pun beroperasi hingga tengah malam saja. Selesai. Itu pun kami pilih-pilih jadwalnya karena harus menghemat aki agar bisa bertahan lama (maklum, di desa saya, listrik baru ada di tahun 1984, hehehe).

Nah, bagaimana dengan acara televisi di bulan Ramadhan saat itu? Yup, paling banter hanya acara menjelang buka puasa saja. Acara sahur? Tidak ada. Isinya pun tentu saja tak seperti sekarang yang banyak hiburannya. Saat itu, selain televisi, sarana media yang ada yakni stasiun radio. Isi acaranya juga tak seberagam sekarang. Media cetak? Waduh, di kampung saya udah tergolong mewah kalo ada orang berlangganan koran. Saya biasanya dapetin koran kalo kebetulan ayah saya beli setelah pulang kerja sebagai sopir bis angkutan umum, antar kota antar provinsi. Ya, generasi saya dan kawan-kawan saat masih kecil masih sedikit tertolong dari gempuran budaya yang rusak dan tak islami. Namun bukan berarti steril banget ya. Sebab, ada aja sih yang udah nakal saat itu dan terkategori bahaya. Maka, ngeri juga kalo saat saya masih kecil perang pemikiran dan perang budaya sudah sedahsyat sekarang yang ditebar melalui media massa (televisi, radio, media cetak, dan internet).

 

Menebar canda, menuai petaka

Tertawa dan bercanda boleh-boleh saja, asal jangan berlebihan. Inget lho, kalo sering menjadikan canda sebagai upaya memancing tawa, maka jangan heran kalo pada akhirnya kita mencoba berbohong demi memancing orang untuk tertawa.

Sobat gaulislam, kalo kamu perhatikan di acara-acara televisi, nyaris selalu ada candaan yang berlebihan. Maka, pelawak biasanya selalu mencari cara agar penonton tertawa. Nggak sedikit yang akhirnya materi candaan mereka sebenarnya mengandung kebohongan dan bahkan penghinaan. Masih ingat kan kasus Olga Syahputera yang ngeledekin orang yang ngucapin “assalaamu’alaikum” diidentikan dengan mau minta-minta (mengemis). Ini jelas sebuah pelecehan. Pantas kalo aksinya menuai protes. Ini sekadar contoh saja karena faktanya sudah tersebar banyak di media massa. Belum lagi yang lainnya, termasuk dalam obrolan kita sehari-hari. Hanya demi memancing tawa teman-teman kita, eh kita malah berbohong dalam canda kita. Bahaya, kawan. Nggak boleh dilakukan.

Bercanda dan tertawa secara berlebihan bisa mematikan hati kita lho, selain juga bisa membuat kita jauh dari kesan serius dalam menjalani kehidupan ini. Bisa dipahami. Gimana pun juga kalo berlebihan bisa merugikan. Makan secara berlebihan dampaknya juga nggak baik. Tidur berlebihan, juga nggak asik. Main secara berlebihan, bisa membuat malas mengerjakan kegiatan lain. Itu sebabnya, bercanda yang selalu dinomor satukan sebagai bagian dari hiburan, bahkan dikemas dalam acara televisi untuk mengeruk uang serta memancing tawa penontonnya, adalah bagian dari upaya menjauhkan kita dari ajaran Islam. Waspadalah, sobat karena bukan tak mungkin canda tersebut berbuah petaka.

 

Boleh bercanda, tapi ada syaratnya

Menurut Ustad Bachtiar Nasir–beliau tulis di websitenya (bachtiarnasir.net), “Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah dan kecenderungan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt. Bukan agama yang melayang di alam khayal dan utopia yang tidak mungkin ada, tetapi Islam mengikuti tabiat manusia di alam nyata dan realitasnya sebagai manusia. Islam tidak memperlakukan manusia seperti malaikat, makhluk Allah yang hanya melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Tetapi, Islam memperlakukan manusia sebagai makhluk yang juga makan dan minum, sedih dan bahagia, serta menangis dan tertawa.”

Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, Islam tidak mewajibkan kepada setiap Muslim agar setiap ucapannya adalah zikir, diamnya adalah berpikir, pendengarannya al-Quran, atau waktu luangnya selalu di masjid. Islam membolehkan manusia untuk mengikuti insting dan kecenderungan mereka sebagaimana diciptakan Allah Swt. Dan, Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bisa merasa gembira, tertawa, dan bermain, termasuk di sini bercanda dan membuat lelucon untuk menghibur dan membuat orang gembira.”

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Para sahabat berkata kepada Rasulullah saw., ‘Ya Rasulullah, engkau juga bercanda dengan kami.’ Maka Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya aku tidak mengatakan kecuali yang benar.’” (HR Tirmizi)

Rasulullah saw. juga kadang bercanda lho dengan keluarga dan para sahabatnya. Tetapi tentu saja nggak berlebihan dan nggak berbohong. Misalnya, beliau saw. pernah memanggil Anas ra. dengan sebutan “wahai pemilik dua telinga”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah bercanda tetapi berkata dengan benar.

Diriwayatkan dari Anas ra., bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku.” Maka Nabi saw. berkata: “Kami akan membawamu di atas anak onta.” Laki-laki itu berkata: “Apa yang bisa aku lakukan dengan anak onta?” Maka beliau saw. berkata: “Bukankah onta yang melahirkan anak onta?” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Bro en Sis rahimakumullah, ‘penggila’ gaulislam, hehehe… semua onta yang ada ya sebenarnya anak onta juga. Jadi, Rasulullah selalu berkata benar, dan cara bercanda beliau juga mengasah kemampuan kita berpikir.

Ngomong-ngomong nih, sebenarnya bagaimana sih canda yang dibolehkan itu? Soalnya, gimana pun juga kan kita butuh suasana rileks, nggak tegang terus dalam hidup ini. Oke, kita bahas satu per satu ya (saya sarikan dari situs almanhaj.or.id):

Pertama, meluruskan tujuan. Maksudnya, bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa bosan, serta menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa memperoleh gairah baru dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Kedua, jangan melewati batas. Sebagian orang sering kebablasan dalam bercanda hingga melanggar norma-norma. Dia mempunyai maksud buruk dalam bercanda, sehingga bisa menjatuhkan wibawa dan martabatnya di hadapan manusia. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.

Ketiga, jangan bercanda dengan orang yang tidak suka bercanda. Adakalanya ada orang yang memang tidak suka bercanda, atau tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.

Keempat, jangan bercanda dalam perkara-perkara yang serius. Ada beberapa kondisi yang tidak sepatutnya bagi kita untuk bercanda. Misalnya dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim, ketika memberikan persaksian, dan lain sebagainya.

Kelima, hindari perkara-perkara yang dilarang Allah Swt. saat bercanda, misalnya menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda, seperti memakai topeng yang menakutkan pada wajahnya, berteriak dalam kegelapan, atau menyembunyikan barang milik temannya, atau yang sejenisnya. Intinya, tidak boleh menakuti-nakuti seorang muslim meskipun hanya untuk bercanda, terlebih lagi jika dengan sungguh-sungguh.

Selain itu, nggak boleh ada dusta saat bercanda. Banyak orang yang dengan sesuka hatinya bercanda, tak segan berdusta dengan alasan bercanda. Padahal berdusta dalam bercanda ini tidak dibolehkan.

Rasulullah saw. telah memberikan ancaman terhadap orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabdanya: “Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi)

Oya, yang termasuk nggak boleh lainnya adalah bila dalam candanya itu ia menyebut aib dan rahasia orang lain, atau mencela dan mengejek orang lain. Yup, nggak boleh juga dalam bercanda kita melecehkan sekelompok orang tertentu. Misalnya bercanda dengan melecehkan orang-orang tertentu, penduduk daerah tertentu, atau profesi tertentu, atau bahasa tertentu, atau menyebut aib mereka dengan maksud untuk bercanda dan membuat orang lain tertawa. Perbuatan ini sangat dilarang.

Selain itu, canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain jelas terlarang. Ya, kadang kala ini juga terjadi, terlebih bila canda itu sudah lepas kontrol. Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu ia mencela, memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan keji. Seperti ia mengatakan kepada temannya, ‘hai anak hantu,’ dan kata-kata sejenisnya untuk membuat orang tertawa. Hati-hati lho!

Keenam, hindari bercanda dengan aksi dan kata-kata yang buruk. Banyak orang yang tidak menyukai bercanda seperti ini. Akibatnya, seringkali berkembang menjadi pertengkaran. Sering kita dengar kasus perkelahian yang terjadi berawal dari canda. Adapun bercanda dengan kata-kata yang buruk tidak dibolehkan sama sekali. Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS al-Isrâ’ [17]: 53)

Ketujuh, tidak banyak tertawa. Banyak orang yang tertawa berlebih-lebihan Nabi saw. telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, beliau bersabda: “Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.”

Kedelapan, bercanda dengan orang-orang yang membutuhkannya. Seperti dengan kaum wanita dan anak-anak. Rasulullah saw. juga bercanda dengan istrinya, dengan cucunya dan juga anak kecil lainnya.

Kesembilan, jangan melecehkan syiar-syiar agama dalam bercanda. Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan simbol-simbol agama, ayat-ayat al-Qur‘an dan syiar-syiarnya. Waspadalah karena bisa membawa pelakunya kepada kemunafikan dan kekufuran. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” (QS at-Taubah [9]: 64-65)

Sebaliknya, mengangungkan syiar agama merupakan tanda ketakwaan hati. Allah Swt. berfirman: “Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS al-Hajj [22]: 32)

So, sungguh sedih jika saat ini justru Ramadhan penuh tawa di hampir semua acara televisi. Padahal, seharusnya kita mengagungkan Ramadhan dan menebar takwa. Meski demikian, kita tak boleh tinggal diam. Tetap muliakan Ramadhan dengan syiarkan Islam, dan ajak kaum muslimin untuk meningkatkan ketakwaan, bukan memperbanyak tawa. [solihin | Twitter @osolihin]