Friday, 19 April 2024, 20:07

gaulislam edisi 551/tahun ke-11 (28 Sya’ban 1439 H/ 14 Mei 2018)

 

Kayaknya nggak bosen-bosen ya, kasus terorisme itu doyan banget muncul (atau dimunculkan?). Parahnya lagi, menjelang Ramadhan, pula. Aduuuh.. pusing seratus keliling lapangan sepakbola standar internasional, deh.

Dhuuaaarrr! Minggu pagi, 13 Mei 2018, bom meledak di 3 gereja di Surabaya. Berdasarkan laporan polisi dalam pemberitaan di media online, ledakan bom tersebut berasal dari pelaku bom bunuh diri. Duh, makin susah diusut kalo pelakunya mati (atau ‘dimatikan’?). Beneran, yang sudah-sudah juga begitu kok. Case-closed, tapi dampaknya bisa ditebak, di tingkat akar rumput alias di masyarakat bawah, yang mereka tahu pelakunya adalah yang beda agama dengan korban, dan yang paling sering berseteru, mereka akan mencap kaum muslimin sebagai pelakunya dan melecehkan Islam sebagai agama teror. Duh, ke situ lagi. Maka, itu yang saya khawatirkan sebenarnya sejak tahu ada bom meledak di gereja.

Padahal, belum reda juga kerusuhan sebelumnya, kamu pastinya pada hapal deh kejadian di tempat paling aman (katanya) untuk naro tahanan, tepatnya di Mako Brimob, Depok. Drama 36 jam kerusuhan antara napi dan petugas polisi mulai Selasa (8/5) malam hingga Kamis (10/5) pagi. Bayangin, di markas Densus 88, lho. Sayangnya, kronologi kejadian tersebut simpang-siur di awal-awal kejadian. Namun, kini mulai banyak bermunculan fakta, walau masih perlu dikaji dan dianalisis. Duh, balada negeriku yang (selalu) dilanda kasus terorisme, untuk kesekian kalinya. Lagi, dan lagi? Sampai kapan? Udah capek nih!

Sobat gaulislam, kita perlu prihatin dengan adanya korban jiwa dalam setiap aksi terorisme. Memang sih, itu bagian dari risiko yang harus ditanggung, baik pelaku teroris atau petugas penanggulangan terorisme, termasuk juga warga masyarakat yang tak bersalah. Dari kedua belah pihak ini, pastinya pada punya alasan masing-masing, termasuk tentu saja keberpihakan kepada kedua belah pihak. Ada saja sih.

Cuma persoalannya nih, dari dulu sampe sekarang, selain masalah terorisme itu sepertinya nggak selesai-selesai, juga dalam penanganan terorisme dan momen terjadinya kasus terorisme—kebetulan—kok ya pas banget dengan berbagai peristiwa yang lagi hangat atau jadi sorotan (misal maraknya deklarasi dengan taggar 2019 ganti presiden, dolar menerkam rupiah, promo film 212 The Power of Love,  dan lainnya). Jadinya, banyak asumsi dan ‘tebak-tebakan’ dari yang iseng sampai yang serius menanggapi berbagai kejadian terorisme.

 

Mengapa bisa (terus) terjadi?

Ya, ini pertanyaan sederhana tapi penting mendapatkan jawaban—dengan jawaban yang tidak sederhana. Sebenarnya ini pertanyaan yang bisa diajukan jauh sebelum kejadian ini. Khusus untuk kejadian ini sih, saya sendiri baru menduga-duga saja kenapa bisa terjadi. Banyak asumsi dari bola liar informasi dan opini yang berkembang di media sosial dan juga di media mainstream. Sumber yang selama ini tersebar lebih banyak dari satu pintu, yakni kepolisian. Memang sih, untuk kasus di Makob Brimob udah ada versi dari narapidana—yang katanya disebut ‘teroris’ itu, sehingga ada sedikit keberimbangan dalam pemberitaan.

Bagaimana bom di Surabaya? Ya, seperti yang udah bisa ditebak, tuduhan itu langsung kepada kelompok Islam. Kok bisa sih? Buktinya mana? Tapi kalo teror di masjid dan melukai bahkan membunuh ustaz beberapa waktu lalu, pelakunya kok disebut orang gila. Makin aneh aja nih dalam menjejalkan kebodohan kepada masyarakat.

Nah, sebagai remaja bukan berarti kamu cuek bebek aja ngadepin pemberitaan dan opini yang bikin puyeng ini. Santai aja sambil ngopi-ngopi. Baca buku, baca internet, baca referensi lain, dan yang terpeting mengkaji Islam. Lho, kok? Iya. Sebab tema terorisme selama ini selalu diidentikan dengan Islam dan kaum muslimin. Sehingga informasi dan opini yang melekat di kepala sebagian besar manusia adalah bahwa Islam mengajarkan kekerasan dan kaum muslimin doyan berbuat keji dengan aksi membunuh manusia.

So, maka penting mengkaji Islam juga agar kita nggak kebawa opini musuh-musuh Islam dengan ikut-ikutan menyalahkan Islam dan kaum muslimin. Padahal, kita sendiri bagian dari Islam. Jadinya bahaya!

Coba kita runut ya, sejak tragedi 11 September 2001—yang sebenarnya masyarakat dunia sebagian besar tahu bahwa itu adalah rekayasa Amerika Serikat untuk mencari simpati dunia—terorisme selalu dihubungkan dengan tindakan dari Islam dan kaum muslimin. Selalu begitu. Padahal, Amerika Serikat saat menggasak Afghanistan dan Irak, dan sudah jelas-jelas melakukan tindakan brutal atas kaum muslimin di kedua negara itu, tapi dunia tidak pernah menyebut aksi tersebut sebagai bagian dari terorisme.

Aneh ya? Nggak juga, sih. Itu karena definisi terorisme dibuat sendiri oleh Amerika Serikat yang udah jelas-jelas pemerintahannya membenci Islam dan kaum muslimin.

Perlu dijelaskan terlebih dahulu istilah terorisme dan teroris yang dimaksud pemerintah Amerika. Terorisme menurut pemerintah Amerika, adalah sebuah ideologi yang melawan hegemoni Amerika, merongrong kepentingan Amerika. Mereka menunjuk bahwa Islam adalah kekuatan yang memungkinkan untuk melawan Kapitalisme setelah Sosialisme yang diemban Uni Soviet terkapar.

Di tahun 1990-an, Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, menuliskan bahwa peradaban Barat dengan pemimpinnya Amerika yang semakin menghegemoni dunia memunculkan perlawanan dari kubu Islam karena identifikasi westernisasi merupakan ancaman bagi agama Islam sebagai satu-satunya sumber identitas, makna, stabilitas, legitimitasi, kemajuan, kekuatan dan harapan.

Sebenarnya gagasan ini mirip dengan yang dikemukakan pada 1950-an oleh sejarawan Inggris bernama Arnold Toynbee dalam bukunya Civilization on Trial dan The World and The West. Toynbee menyebutkan prediksinya bahwa perang sejati di abad berikutnya bukanlah antara komunis dan kapitalis, tetapi antara Barat dan Muslim. Hal ini terjadi karena menurut Toynbee, Barat dengan pemimpinnya Amerika bertekad menguasai seluruh dunia, untuk menjadi kekuasaan terbesar dalam sejarah. Soviet yang menjadi penghalang (saat itu) tidak akan bertahan lama karena mereka tidak beragama, tidak beriman dan tidak mempunyai substansi di belakang ideologi mereka. Suatu saat kaum Muslim akan menggantikan posisi Soviet karena mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Soviet.

Entah, apakah pemerintah Amerika terpengaruh oleh Huntington dan Toynbee atau memang sudah punya niat untuk melawan Islam dan kaum muslimin, faktanya hingga saat ini, sejak peristiwa 11 September 2001, pemerintah Amerika getol memerangi terorisme, yang diidentikan dengan Islam dan kaum muslimin. Sampai sekarang, lho. Bahkan menggalang kekuatan dengan negara-negara yang menjadi kaki-tangan mereka di seluruh dunia, termasuk di negeri ini.

Mengapa terus terjadi? Hmm.. jawabannya (sesuai fakta yang berkembang saat ini), karena musuh-musuh Islam tak pernah menginginkan kebaikan bagi Islam dan kaum muslimin. Maka, segala cara mereka lakukan, termasuk menuduh Islam dan kaum muslimin dengan istilah terorisme ini. Begitulah.

 

Antara fakta dan konspirasi

Sobat gaulislam, kamu sengaja saya ajak mikir agak berat. Iya, fakta yang terjadi di lapangan tanpa rekayasa harus berhadapan dengan adanya dugaan konspirasi. Maksudnya, khusus untuk kasus kerusuhan di Mako Brimob pekan lalu, bisa jadi memang faktanya demikian. Kejadian yang berlangsung spontan tanpa rekayasa. Namun, ada juga dugaan itu terjadi karena adanya konspirasi pemegang kepentingan. Sekadar sandiwara aja, yang penting dapat tuh narasi bahwa terorisme masih ada dan terus mengancam.

Pun teror bom di beberapa gereja di Surabaya sehari lalu (Ahad, 13 Mei 2018). Bola liar informasi ini terus berkembang. Islam dan kaum muslimin, lagi-lagi jadi target pencitraburukkan. Apalagi TKP-nya kok ya di gereja. Walau banyak kaum muslimin berkomentar di media sosial bahwa Islam tak mengajarkan terorisme, tapi pemilik kepentingan atas isu tersebut terus menggorengnya dengan bumbu sesuai selera mereka untuk disantap begitu saja oleh penonton atau pembaca yang nggak pake nalar dalam menyimak lalu muncul narasi: Islam agama teror. Bahaya!

Mana yang benar nih, fakta atau konspirasi? Ah, itu sih perlu kajian mendalam. Kapasitas saya dalam menulis sekadar nyambung-nyambungin informasi dan membaca fakta yang terjadi, lalu menyulamnya dengan pengetahuan Islam dan kondisi kekinian. Saya memiliki kesimpulan, setidaknya ada dua kemungkinan.

Apa saja? Pertama, memang faktanya demikian, kejadian yang spontan. Penyebabnya, untuk kasus di Mako Brimob, seperti beredar info bahwa para napi ‘teroris’ (sengaja pake tanda petik karena saya belum yakin kalo mereka teroris) itu mengamuk bukan tanpa sebab. Pasti ada hal prinsipil yang melatarbelakangi kerusuhan tersebut. Info yang beredar kan soal makanan. Apa sesederhana itu? Kalo saya nggak terlalu yakin. Pasti ada faktor utama yang menjadi penyebabnya, dan itu hal yang prinsipil bagi mereka. Kalo yang bom di beberapa gereja di Surabaya, saya belum membaca banyak berita karena keburu nulis tulisan ini (maklum dikejar deadline, hehehe…).

Oya, yang kedua, dilihat dari sudut pandang lain, dugaan itu mengarah kepada adanya konspirasi untuk tujuan tertentu. Tapi dengan target pencitraburukkan terhadap Islam dan kaum muslimin. Wah, tega bener ya? Bagi musuh-musuh Islam, hal itu harus dilakukan dan tidak terkategori tega. Beneran! Waduh!

Kok, bisa? Sejak kasus “Bom Bali” (12 Oktober 2002) dan setelahnya sampai sekarang ini, saya tidak terlalu percaya bahwa aksi-aksi terorisme di negeri ini memang murni kriminal. Dilihat dari ‘gayanya’, lebih cocok sebagai produk kepentingan pihak tertentu (khususnya penguasa) dengan sokongan pemberitaan bombastis. Mungkin saja sebagai pengalihan isu yang menekan pemerintah, sehingga setidaknya bisa melepas tekanan sedikit karena masyarakat fokus pada kasus–yang mereka sebut–terorisme. Apalagi saat ini memang banyak kasus yang berpotensi menekan pemerintah. Ya, itu semacam sandiwara pesanan saja. Jangan gagal fokus.

Hmm.. sekadar tambahan aja. Kalo ngomongin media massa yang bisa disetir untuk kepentingan tertentu jadi inget Noam Chomsky yang mengemukakan teori “Manufacturing Consent.”

Teori ini mengupas tentang bagaimana merekayasa kesadaran masyarakat melalui instrumen media. Media adalah senjata paling ampuh dalam membentuk kesadaran untuk mengikuti keinginan para politisi dan para pengambil kebijakan meskipun kadang tidak berkesesuaian dengan kesadaran masyarakat secara kodrati. Nah, karena pengaruh yang cukup besar dari kaum kapitalis dalam propaganda media, maka Manufacturing Consent bisa berubah menjadi Manufacturing Content, yakni bagaimana merekayasa isi media demi mewujudkan kepentingan para penguasa. Waspadalah!

 

Gerakan radikal, emang ada?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sebutan fundamentalis, Islam garis keras, radikal, teroris, dan sebutan lainnya yang nadanya sejenis, memang sengaja dihembuskan oleh musuh-musuh Islam untuk membuat ragu kaum muslimin. Ujungnya, mereka membenci Islam dan kaum muslimin yang dicap demikian. Padahal, yang dicap teroris itu justru banyak dari kalangan ulama, ustaz, dan aktivis Islam.

Nggak begitu heran sih, zaman dulu juga begitu. Sebagai muslim, memang seharusnya kita menunjukkan jati diri sebagai muslim. Kuat akidah, taat syariah. Keduanya terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Shalat rajin, ngaji rajin, ibadah lainnya juga getol dilakukan, kok malah disebut fanatik, garis keras, radikal, dan teroris? Aneh yang punya bapak ajaib alias aneh bin ajaib.

Eh, tapi kan ada yang mengatakan itu bagian dari perjuangan mereka untuk melawan musuh-musuh Islam? Mereka memilih jalan jihad sebagai perjuangan dan perlawanan. Hmm.. memang ada sih kaum muslimin yang mengambil jalan tersebut. Tetapi tentu ada alasannya.

Hanya saja, di jalur ini—untuk saat ini, lho ya—rawan banget disusupi pihak tertentu yang berusaha mencerai-beraikan barisan kaum muslimin. Menggiring mereka yang katanya radikal itu untuk berontak hingga terjadi perlawanan dengan menggunakan kekerasan, lalu kejadian tersebut dimanfaatkan untuk memojokkan Islam dan kaum muslimin secara menyeluruh. Lho, kalo gitu kesannya mereka dijebak, dong? Bisa jadi. Maka, dalam perjuangan juga memerlukan ilmu dan strategi. Nggak asal jalan aja.

Oya, kalo mau melihat secara global, perjuangan jihad yang dipilih kaum muslimin memang diperlukan. Khususnya di daerah konflik seperti Palestina, Afghanistan, Irak, dan Suriah. Kalo kaum muslimin di sana nggak melawan dengan jihad, ya dipertanyakan komitmennya terhadap Islam. Beneran! Sebab di sana memang mengharuskan demikian. Mereka pejuang, bukan teroris. Sebaliknya, yang justru layak disebut teroris adalah Amerika Serikat dan sekutunya, Rusia, Cina dan negara lainnya yang memusuhi Islam. Terbukti ketiga negara itu bermain api di Suriah saat ini. Waspada!

Lalu, bagaimana sekarang? Kita, kaum muslimin. Ya, kita punya tugas dan tanggung jawab melawan segala bentuk kezaliman. Seluruh kaum muslimin harus bersatu padu untuk mewujudkan kekuatan bersama dalam melawan hegemoni Amerika selama ini. Lebih keren lagi kalo kaum muslimin punya kepemimpinan umum dengan institusi bernama Daulah Khilafah Islamiyah. Kekuatan inilah yang telah berhasil mewujudkan tatanan dunia baru yang beradab. Ini sudah dibuktikan selama ratusan tahun kekhilafahan Islam dalam memimpin dunia.

Saat ini memang Khilafah Islamiyah nggak diterapkan, tetapi insya Allah akan hadir kembali sebagaimana Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam: “Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung khilafah menurut manhaj kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya Kemudian berlangsung para Mulkan ‘Aadhdhon (para penguasa yang menggigit) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya Kemudian berlangsung kepemimpinan Mulkan Jabbriyyan (para penguasa yang memaksakan kehendak) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya Kemudian akan berelangsung kembali khilafah menurut manhaj kenabian. Kemudian beliau berhenti.” (HR Ahmad, No: 17680)

Yuk, kita wujudkan kembali agar dunia jadi beradab. Kita mulai dengan kesadaran, giat belajar Islam, sebarkan pemahaman Islam dengan dakwah dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang juga kita mulai membenahi diri sendiri dan sekaligus orang lain. Insya Allah akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Tetap semangat! Ya, semoga nggak ada lagi aktivitas terorisme yang dituduhkan kepada kita, kaum muslimin.

Oya, satu hal lagi, penanganan negara terhadap kasus terorisme harus benar-benar profesional. Harus dibedakan antara terorisme sebagai kriminal murni dengan terorisme sesuai pesanan politik. Sekadar tahu aja, di twitter ada akun yang mengabarkan bahwa akan ada sabotase berupa musibah dan akan menjadi viral di media sosial. Eh, terbukti Ahad pagi tanggal 13 Mei 2018 bom meledak di beberapa gereja di Surabaya. Akun tersebut menulis Sabtu siang (12/5) di twitter.

Tak terlalu penting siapa dia, tapi yang jelas dia tahu akan ada kejadian. Berarti mendapat bocoran informasi. Informasi dari siapa? Intelijen? Kenapa jika akan ada aksi sabotase seolah dibiarkan? Bukankah informasi itu sudah valid? Wah, dugaan bahwa selama ini kasus terorisme itu rekayasa untuk kepentingan tertentu kian menguat. Wallahu a’lam.  [O. Solihin | IG @osolihin]