Friday, 26 April 2024, 06:14

gaulislam edisi 486/tahun ke-10 (16 Jumadil Awal 1438 H/ 13 Februari 2017)

Setiap tanggal 14 Februari selalu jadi hajatan kasih sayang, khususnya bagi para remaja. Kasih sayang yang dimaknai dengan “cinta”, walau prakteknya lebih banyak “nista”. Ah, semua sudah tahu kok niat terselubung di pesta V Day, yakni soal bisnis dan birahi tak terkendali. Lagu lama yang diputer tiap tahun. Meski banyak di antara yang merayakannya mengklaim sebagai hari kasih sayang, namun nafsu busuk aromanya lebih tercium karena faktanya memang demikian.

Sobat gaulislam, meski sudah sering dibahas, dikritisi, dan diingatkan bahwa acara V Day itu nggak ada manfaatnya sama sekali dan sekadar pamer maksiat, namun gelarannya selalu ditunggu dan dirayakan oleh mereka yang masih gelap mata dan bisu tuli terhadap kebenaran Islam dan malah asyik masyuk dalam gelimang nafsu budaya jahiliyah itu.

Atas nama kebebasan, gelaran V Day selalu meriah meski sudah mulai banyak institusi berwenang yang sadar diri melarang perayaan yang sudah jadi tradisi sejak zaman Romawi Kuno itu. Hah? Lama amir! Nggak usah lebay gitu, Bro en Sis. Memang sudah lama. Pesta Valentine’s Day adalah metamorfosis dari tradisi Lupercalia yang dirayakan kaum pagan (penyembah berhala). Banyak versi seputar ini, silakan kamu baca sampai mabok huruf dan angka. Tetapi intinya, dari semua data yang didapat, tak satupun menyatakan bahwa V Day berasal dari Islam. Nggak ada. Semua berasal dari budaya selain Islam.

Itu artinya? Yup, karena bukan berasal dari Islam, maka terlarang bagi kaum muslimin untuk ikutan meyakini dan merayakannya. Bahaya banget! Kok bahaya? Iya, karena itu bisa menodai kemurnian akidah kita. Beneran! Sebab, kalo kita meyakini dan mempraktekkan budaya selain Islam, maka konsekuensinya adalah kita sudah mengikuti budaya tersebut dan menjadi bagian di dalamnya. Waduh!

Bagaimana dong mereka yang belum tahu? Ya, harus kita kasih tahu. Gimana caranya? Jelaskan kepada teman-teman kita bahwa merayakan V Day adalah dosa. Lengkapi dengan data dan fakta. Bisa berupa tulisan yang bisa kamu dapatkan di berbagai media Islam. Buletin kesayangan kamu ini pun sudah sering bahas soal larangan merayakan V Day. Silakan ubek-ubek arsipnya di website kami ya. Gratis buat kamu semua.

Oya, lalu apa hubungannya dengan pilkada? Pilkada? Iya. Edisi kali ini kan gaulislam judulnya panjang banget. Coba lihat lagi ke atas. Hehehe.. bener banget. Memang benar ada hubungannya kok. Pilkada serentak di beberapa provinsi pada tanggal 15 Februari 2017 itu juga mestinya menarik perhatian kaum muslimin, termasuk remajanya. Kok bisa? Bisa aja dong. Sebab, pilkada juga digelar dengan durasi waktu tertentu, yakni setiap lima tahun. Kalo V Day kan setiap tahun. Hubungannya adalah, sama-sama dirayakan oleh kaum muslimin meskipun keduanya bukan produk asli dari Islam. Lucu ya? Nggak lucu, tapi menyebalkan. Iya, karena bisa-biasanya merayakan dan melakukan sesuatu tanpa dasar dari Islam, udah gitu pada semangat banget, lagi. Heran, deh!

Sobat gaulislam, kamu nggak usah kaget dan bingung. Harus diakui bahwa kita hidup dalam sistem Kapitalisme, dengan akidahnya sekularisme, dan instrumen politiknya bernama demokrasi, yang asasnya kebebasan atas nama hak asasi manusia. Sekularisme yang memang memisahkan aturan agama dari kehidupan, adalah sebab utama rusaknya kehidupan umat manusia. Aturan agama dipinggirkan, aturan manusia (yang memang nggak stabil) justru dijadikan rujukan utama. Kalo udah begitu, maka tak mustahil bencana kehidupan bakalan datang susul menyusul bak gelombang samudera. Pemimpin yang galak terhadap rakyatnya menjadi ciri khas yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi. Kecurangan demi meraih kemenangan lalu duduk di singgasana kekuasaan dengan melakukan kesewenang-wenangan sudah menjadi tabiat para pemimpin di negeri yang menganut sistem jahiliyah ini.

Pilkada tetap dan selalu digelar meski sudah banyak menelan kecewa. Gimana nggak, janji saat kampanye agar bisa terpilih sering tak direalisasikan ketika sudah menggenggam kekuasaan. Mereka lupa selupa-lupanya. Tentu saja, sebabnya adalah bahwa pilkada dalam sistem demokrasi memberi peluang kecurangan dalam proses meraih kemenangan. Berbekal jumlah suara yang harus didapat agar bisa menjadi pemenang adalah celah rawan yang bisa diakali dengan kecurangan. Maka, lihatlah ada daftar pemilih ganda, ada KTP palsu, ada upaya bujuk rayu berupa uang dan harta benda agar suara pemilih bisa digelontorkan ke paslon tertentu. Ah, sudahlah, terlalu banyak kebusukannya. Tetapi memang kita perlu menjelaskan kepada masyarakat agar mereka tidak menjadi sapi perah dalam setiap pilkada (termasuk pilpres dan sejenisnya). Sapi perah? Iya. Diambil suaranya sebagai bukti pilihan kepada paslon tertentu, lalu dilupakan keberadaannya. Habis manis, sepah dibuang (tebuu… kelesss…).

Mengapa tak jua berubah?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kehidupan kita seharusnya menjadi lebih baik dari hari ke hari. Alangkah ruginya jika hari ini sama dengan hari kemarin. Bahkan bisa dikategorikan celaka bila hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Sayang banget lho kalo sejauh ini usia kita hanya digunakan untuk menumpuk kesalahan dan dosa. Tak mau berubah menjadi baik (apalagi menjadi yang terbaik). Ayolah, kita yang sudah beramal shalih banyak saja wajib meningkatkan kualitas amalan kita, padahal belum tentu semua amalan kita itu diterima oleh Allah Ta’ala. Bagaimana yang nggak beramal shalih? Ih, nggak kebayang deh. Memang benar bahwa amal shalih kita bukan satu-satunya yang mengantarkan kita ke surga. Rahmat dan ampunan Allah Ta’ala perlu kita dapatkan juga. Tetapi bagaimana mungkin bisa mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala jika kita tak  beriman dan tak beramal shalih? Silakan kamu pikirkan, ya!

Mengapa banyak manusia tak mau berubah dari buruk menjadi baik? Mengapa sedikit sekali yang bersusah payah hijrah dari kehidupan jahiliyah kepada Islam? Mengapa apa pula manusia yang setengah hijrah alias cuma mau berubah kalo ada keinginan tertentu? Intinya, semua itu terjadi karena belum tahu hakikat dari perubahan yang harus dilakukan dan konsekuesinya.

Zona nyaman dalam kondisi tertentu bisa saja membuat seseorang malas untuk beranjak dari kondisi tersebut meski secara fakta hal itu adalah keburukan. Misalnya aja nih, ada banyak remaja yang pacaran tapi sulit dinasihatin supaya bubar pacarannya. Itu terjadi karena remaja tersebut udah betah karena dapetin PW alias Posisi Wenak dalam melakukan pacaran. Mengusiknya agar putus pacaran, bagi dia adalah mengganggu stabilitas kenyamaman dirinya. Contoh kasus ini bisa diaplikasikan untuk fakta kemaksiatan lainnya. Banyak orang enggan untuk melepas kebiasaan buruk dan maksiatnya. Mengapa? Karena iman tak ada lagi di hatinya. Beneran. Orang yang beriman nggak bakalan tunduk pada kemaksiatan. Sebaliknya, kaum mukminin adalah orang yang berdiri di garda depan dalam menumpas kemaksiatan.

Kita bisa berubah kalo kita mau. Sungguh. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’d [13]: 11)

Nah, maksud dari ayat ini, Allah Ta’ala tidak akan mengubah keadaan mereka, selama mereka tidak mengubah sebab-sebab kemunduran mereka. Melakukan kemaksiatan jelas kemunduran. Jauh dari kehidupan Islam, jelas kemunduran. Bukti nyata saat ini ketika umat tak lagi menjadikan Islam sebagai ideologi yang mengatur segala aspek kehidupannya, maka umat Islam akan terus terpuruk. Remajanya asyik masyuk mengumbar birahi busuk di pesta V Day, para orang tua dimabukkan dengan iming-iming kemenangan di pesta demokrasi bernama pilkada (termasuk pilpres). Meski kemenangan itu diraih melalui proses tipu-tipu dan kejahatan lainnya.

Ayolah Bro en Sis, tinggalkan budaya busuk jahiliyah bernama Valentine’s Day sebab memang bukan berasal dari Islam. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR Bukhari no. 7319)

Lalu bagaimana dengan pilkada? Aduh, gimana ya? Dalam demokrasi aturannya memang demikian. Kita kayaknya sulit ya melepaskan diri dari jeratan dan jebakan demokrasi? Aturan manusia yang menyandera kita agar tetap terlibat di dalamnya membuat kita pragmatis, lalu berpikir “daripada nggak”. Berpikir berikutnya, “daripada orang kafir yang berkuasa”. Kita dibuat runyam dengan urusan yang seharunya simpel. Padahal, justru karena sistem demokrasilah yang membuat kita lemah tak berdaya. Hanya demokrasi yang membolehkan setiap orang termasuk orang kafir untuk berkuasa. Tentu saja, sesuai aturan main yang dibuat demokrasi itu sendiri. Kalo kita ikutan mendukung demokrasi? Wah, pada seneng tuh. Sebab yang terjadi adalah: mereka puas, kita lemas.

Tahukah bahwa demokrasi adalah sistem jahiliyah? Harusnya tahu ya. Kan sejarahnya juga disebutkan bahwa sistem ini bukan berasal dari Islam, Sudah pasti sistem jahiliyah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maa’idah [5]: 50)

Sungguh, sistem demokrasi bisa diakali pembuat hukumnya sendiri, yakni manusia. Contoh nyata adalah Pilkada DKI. Si penista al-Quran yang sudah jadi terdakwa saja masih bebas berkeliaran dan tetap menjadi cagub. Di sinilah ironinya. Maka, agar kekuasaan tak digenggam oleh orang-orang jahat (apalagi udah kafir jahat pula), maka hempaskan sistem demokrasi dari kehidupan kita. Kita tak memerlukan kok. Apalagi sistem demokrasi tak pernah mau untuk mewadahi kekuatan yang akan membunuh demokrasi itu sendiri. Itu sebabnya, meski demokrasi menganut kebebasan berpendapat, tetapi bila yang berpendapat itu datangnya dari kaum muslimin yang menyuarakan kebenaran Islam pasti ditolak dan pelakunya diancam dengan tuduhan makar dan pemecah persatuan bangsa. #tepokjidat

Sobat gaulislam, lalu bagaimana dalam kondisi genting seperti sekarang ini? Kalo nggak milih paslon yang muslim (misalnya memilih golput), nanti paslon yang ada orang kafirnya malah menang. Terus gimana? Hmm.. mikir dulu. Gini, itu kan belum tentu ya. Justru kalo seluruh rakyat DKI nggak menggunakan hak pilihnya, apa proses pilkada tetap jalan dan menentukan pemenangnya? Tapi, ya sudahlah. Lagi nggak pengen debat.

Bagi kawan-kawan yang meyakini proses meraih kekuasaan melalui jalan demokrasi, silakan saja. Tapi tentu saja dengan segala konsekuensinya, saya sekadar mengutarakan pendapat, jika pun pada akhirnya berbeda semua ada risikonya dan tanggung jawabnya masing-masing di hadapan Allah Ta’ala. Namun, jangan salahkan muslim yang golput, lho. Seharusnya salahkan muslim yang memilih pemimpin kafir. Eh, jadi bingung, kan?

Sama, saya juga agak bingung kenapa banyak kaum muslimin yang jauh dari Islam hingga bodohnya nggak ketulungan. Nasib kita sebagai kaum muslimin begitu terpuruk. Valentine’s Day masih banyak dirayakan remaja muslim dan banyak pula yang muslim membela orang kafir dan mendukungnya jadi pemimpin. Belum lagi kemaksiatan lainnya yang merajalela dan dilakukan kaum muslimin. Hadeuuh…

Ah, saya jadi berpikir sendiri. Mungkin ini juga salah kita semua yang terbilang ngerti tapi tidak optimal mengedukasi mereka, tidak total berdakwah kepada mereka. Ya Allah, ampunilah kami. Kami baru sanggup menulis dan berkata-kata. Tetapi, kami tetap berharap semoga dari tulisan dan kata-kata ini juga menjadi bukti bahwa kami sempat berdakwah kepada mereka. [O. Solihin |Twitter @osolihin]