Friday, 19 April 2024, 10:14

Menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, semua orang pada sibuk. Sebagian jamaah mesjid sibuk bikin acara itikaf di masjid untuk berburu lailatul qadar. Kegiatannya full ibadah. Mulai dari tadarus al-Quran, shalat sunnat, dan nggak ketinggalan mengkaji tsaqofah Islam hingga diskusi seputar permasalahan ummat. Terus, waktu senggang diisi dengan obrolan ringan antar jamaah masjid yang bikin cair komunikasi di antara mereka.

Sebagian yang lain juga nggak kalah sibuknya �itikaf’ di pusat perbelanjaan untuk berburu pakaian lebaran dan potongan harga yang menggiurkan. Semenjak mall buka sampe mau tutup lagi, para pengunjung nggak ada abisnya nyantronin setiap toko. Dari mulai toko baju, sepatu, tas, aksesoris, ponsel, sampe kue-kue lebaran. Meski kaki pada pegel, yang penting dapet barang keren dengan harga miring. Yes!

Nggak ketinggalan, kesibukan juga terlihat di kantor travel, pool dan terminal bis, hingga stasiun kereta api. Mereka yang mau mudik ke kampung halaman berlomba-lomba dapet tiket yang murah dan sampe di tujuan sebelum lebaran. Saking ketatnya persaingan, nggak sedikit yang kudu bertransaksi dengan calo-calo tiket oportunis. Nggak apa apa deh mahal dikit, yang penting bisa pulang kampung untuk bersilaturahmi. Bisa ketemu ortu, sodara, kerabat jauh dan dekat, teman lama, guru-guru kita waktu sekolah di kampung dulu, dan semua tetangga kanan-kiri yang ikut menginspirasi kehidupan kita waktu kecil. Asyik deh!

Tradisi mudik yang bikin asyik
Tradisi mudik alias kembali ke udik nggak pernah kelewat dalam menyambut hari lebaran di negeri kita. Lihat saja, tiket transportasi sudah banyak dipesan jauh-jauh hari sebelum idul fitri. Menjelang hari raya, masyarakat berbondong-bondong memadati terminal bus atau stasiun kereta api. Nggak cuma backpack yang nangkring di punggungnya, tangan mereka juga sibuk dengan barang bawaannya yang bejibun. Kalo diliat-liat, jadi mirip massa pengungsi korban perang. Hehehe…

Nggak usah heran apalagi sampe tanya alasannya kenapa mereka bela-belain pada mudik padahal nanti juga balik lagi ke kota. Sebab entar mereka bakal tanya balik: “Coba aja pikir Mas. Untuk apa kita makan kalo entar juga laper lagi.� Tuh kan, itu berarti urusan mudik disejajarkan dengan urusan perut. Sama-sama penting dan mempertaruhkan hidup dan mati. Nah lho? Konek gak sih?! Hihihi… (sori bukannya nuduh!)

Bener sobat, budaya pulang kampung tahunan ini udah mendarah daging di tengah kita. Nggak cuma para perantau atau mahasiswa luar kota, penduduk asli kota pun nggak sedikit yang kebawa arus ikut-ikutan mudik. Rasanya, nggak afdhol melewatkan perayaan lebaran kalo nggak hang out ke udik. Peduli amat punya kampung atau nggak, yang penting bisa ngerasain suasana asri dan menikmati udara segar khas pedesaan. Hidup mudik! (buat yang nggak mudik jangan ngiri ye!)

Silaturahmi, menjadi kata kunci untuk menggambarkan antusiasme masyarakat yang mudik. Yup, bersilaturahmi saat idul fitri punya kekuatan yang memaksa setiap orang untuk merogoh koceknya lebih dalam; menanggalkan sikap egoisnya; atau modal nekat pulang mudik meski duit pas-pasan. Mereka rela berjubel-jubel di gerbong kereta api atau berdesak-desakan di galangan kapal demi menjumpai sanak famili dan memupus kerinduan yang meradang. Hmm….serunya.

Malah mayoritas para pemudik adu nyali menempuh jarak ratusan kilometer pake sepeda motor. Selain ongkosnya lebih murah karena nggak perlu beli tiket, lebih aman lantaran dikawal polisi, en perjalanannya juga nggak bikin boring. Bisa konvoi bareng-bareng dengan pemudik laen yang searah atau nambah kenalan saat istirahat di posko-posko yang digelar sponsor. Belon lagi pemandangan di kiri-kanan jalan raya yang alami, asri dan menyejukkan mata. Bagi yang biasa bergelut dengan hutan beton perkotaan, pergantian suasana alam pedesaan bikin relaks mata, hati, dan pikiran. Ih…jadi pengen mudik lagi.

Udah gitu, tradisi mudik juga banyak dapet dukungan dari berbagai pihak. Dari tempat kerja, dapet uang THR buat nambah-nambah ongkos mudik, ngasih angpaw, plus beli oleh-oleh. Terus libur lebaran yang lumayan panjang juga ngasih banyak waktu untuk bercengkerama dengan keluarga. Apalagi bagi yang berprofesi sebagai tukang mie rebus, jamu gendong, atau kuli bangunan dapet bantuan transportasi mudik gratis dari sponsornya masing-masing. Gimana nggak asyik tuh?

Mengikis sikap egois
Dalam kehidupan kapitalis sekuler di sekitar kita, sikap nafsi-nafsi alias cuma mikirin diri sendiri udah jadi hal umum. Gimana nggak, pola hidup masyarakat kapitalis memaksa tiap orang untuk balapan biar bisa hidup enak, mewah, dan glamour. Siapa yang cepat dan kuat, dia yang dapat memenuhi segala kebutuhannya dengan mudah dan nggak pake lama. Walhasil, sikap peduli, empati, atau simpati terhadap sesama cuma nongol di layar kaca. Dalam kehidupan nyata? Dah hampir punah tuh!

Tanpa sadar, adakalanya kita juga kebawa arus hidup nafsi-nafsi. Padatnya aktivitas kita di tempat kerja, sekolah, kuliah, atau dakwah mengurangi kepekaan kita terhadap lingkungan. Baik terhadap sodara apalagi tetangga. Jarak hati kita dengan mereka seolah terpisah sejauh Sabang sampe Merauke. Yup, sikap nafsi-nafsi bikin hati kita dibentengi dinding es yang super tebal. Kita merasa nggak perlu tahu banyak suka dan duka kehidupan mereka. Yang penting, kita nggak ganggu dan bikin repot mereka. Padahal mereka termasuk orang-orang yang dekat dengan kita. Ehm..ehm..jadi malu.

Untungnya ada lebaran. Bersilaturahmi saat idul fitri ngasih kita kekuatan untuk berani mengikis sikap egois. Mengunjungi sodara dan tetangga sambil bertukar cerita lambat laun mencairkan dinding es dalam hati kita. Kegiatan open house saat hari raya membuat jarak hati kita dengan orang-orang terdekat ibarat telunjuk dan jari tengah. Saling berdampingan dan lebih mengenal satu sama lain. Hasilnya, hati kita dibuat nyaman menikmati indahnya bersosialisasi.

Silaturahmi saat idul fitri juga ngasih kita dorongan kuat untuk meninggalkan sejenak rutinitas di tempat kerja, sekolah atau kuliah yang selama ini banyak menyita waktu, perhatian, dan tenaga kita. Padahal sebelumnya, meleng dikit aja tuh rutinitas bikin kita pusing tujuh keliling. Kita juga rela terjebak dalam kemacetan berjam-jam dalam setiap rute perjalanan yang ditempuh. Kalo nggak lantaran pengen bersilaturahmi, macet sepuluh menit aja bikin kita uring-uringan. Cuape deh!

Sobat, rugi banget kalo kita cuek bebek dengan kegiatan silaturahmi. Mengenali dan dikenali banyak orang bikin hidup kita nggak kosong. Punya tempat berbagi kebahagiaan, kesedihan, atau kesulitan. Coba bayangin kalo kita keukeuh egois, cuma mikirin diri sendiri, en nggak peka ama lingkungan. Dijamin bakal hidup merana dalam kesendirian di tengah keramaian. Iih….nggak deh!

Silaturahmi sebagai ladang pahala
Silaturahmi dalam Islam nggak cuma menjaga hubungan baik dengan orang-orang dekat. Tapi juga termasuk perbuatan wajib yang berlimpah pahala. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang percaya pada Allah dan hari kemudian hendaknya menghormati tamu. Dan siapa yang percaya pada Allah dan hari kemudian harus menghubungi sanak saudara (menjaga hubungan persaudaraan). Dan siapa yang percaya pada Allah dan hari kemudian harus berkata baik atau diam. “ (HR Bukhari dan Muslim)

Meskipun ada sodara atau tetangga kita yang jutek, bukan berarti menghalangi kita untuk bersilaturahmi. Tetep, kita kudu melatih hati dan kaki kita agar ringan mengunjungi mereka. Abu Hurairah r.a. berkata: Seorang bertanya: Ya Rasulullah, saya ada mempunyai famili, saya hubungi mereka dan mereka tetap memboikot padaku, dan saya baik pada mereka, mereka?  membalas busuk kepadaku, saya sabar terhadap mereka dan mereka tetap mengganggu padaku. Bersabda Nabi: kalau benar sebagaimana katamu itu, maka seolah-olah kau menelankan kepada mereka abu, dan selalu kau mendapat bantuan dari Allah selama kau tetap sedemikian. (HR Muslim)

Silaturahmi nggak hanya mendekatkan hati kita dengan saudara atau tetangga, tapi juga semakin mendekatkan kita dengan yang Mahakuasa atas rizki, ajal, jodoh, dan kehidupan kita. Anas ra. berkata: Bersabda Rasululah saw. “Siapa ingin dilapangkan rizqinya, dan ditunda umurnya (ajalnya) hendaknya menghubungi famili.� (HR Bukhari dan Muslim) Ditunda ajal ialah diberi berkat dalam umurnya, sehingga berkahnya sangat besar dan luas sekali.

Bahkan silaturahmi juga ngasih kita peluang untuk meraih kesuksesan di akhirat kelak. Seseorang bertanya: “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amal yang dapat memasukkan ke dalam sorga dan menjauhkan dari api neraka? Jawab Nabi: menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan denganNya sesuatu apapun, dan mendirikan sembahyang, dan mengeluarkan zakat, dan menghubungi famili kerabat.� (HR Bukhari dan Muslim)

So, kalo kita malas bersilaturahmi, inget deh sabda Rasulullah saw. berikut: “Tiada akan masuk sorga orang yang memutus hubungan famili� (HR Bukhari dan Muslim)

Jangan pas lebaran doang!
Sobat, idealnya silaturahmi nggak cuma jadi ajang tahunan. Ya, nggak harus nunggu hari raya untuk main ke tetangga atau sodara. Nggak juga kudu nunggu acara halal bi halal biar bisa basa-basi ama temen sekolah atau rekan kerja. Jangan sampe deh dinding es yang mulai cair di hati kita mengeras lagi pasca idul fitri lantaran kita kembali menjalani rutinitas sehari-hari.

Sering kita ngerasa kesempatan yang kita miliki untuk bersilaturahmi cuma saat idul fitri. Padahal seharusnya kesempatan untuk bersilaturahmi nggak selalu terikat dengan hari-hari besar Islam. Berabe kalo hanya bisa nunggu sikon mendukung untuk bersilaturahmi.

Sebagai seorang muslim, kita yang kudu menciptakan kesempatan untuk bersilaturahmi. Misalnya kalo kita perlu pertolongan atau hendak memberikan bantuan, bisa jadi alasan untuk bersilaturahmi kepada saudara. Nabi saw. bersabda: “Sedekah pada orang miskin itu sedekah satu kali dan kepada kaum keluarga berarti sedekah dua kali, mendapat pahala sedekah dan hubungan persaudaraan.� (HR at-Tirmidzy)

Jika kita mendapat undangan dari sahabat atau tetangga, usahakan untuk memenuhinya. Selain hak mereka, bisa juga sebagai ajang untuk mempererat persaudaraan. Nggak ada salahnya juga jika kita bertanya kabar mereka secara langsung atau via SMS. Dan jangan lupa untuk sekadar melempar senyuman termanis atau say hello jika berpapasan dengan mereka di jalan.

Nah sobat, ternyata alasan untuk bersilaturahmi nggak hanya saat idul fitri. Asalkan kita mau. Percaya deh, semakin sering kita bersilaturahmi, semakin lapang hati kita dan semakin indah hidup kita. Itu sebabnya, mari kita kikis sikap egois. Oke, mulai sekarang, kita bersilaturahmi pada semua deh. Yuk! [Hafidz341]

(Buletin STUDIA – Edisi 315/Tahun ke-7/13 November 2006)