Wednesday, 11 December 2024, 13:06

edisi 040/tahun I (25 Rajab 1429 H/28 Juli 2008)

Bro, kalo menurut Kamus Bahasa Indonesia sih, istilah diktator itu adalah kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan mutlak. Ciri-cirinya antikritik. Anti perubahan, wis pengen gayanya sendiri gitu lho. Nah, kenapa dalam judul tulisan ini diberi tanda petik: ?diktator’? Karena bukan arti sesungguhnya sebagai kepala pemerintahan. Tapi bisa pula meliputi kepemimpinan di sebuah sekolah, mungkin ada kepala sekolah yang diktator, ada ketua OSIS yang diktator, ada ketua Rohis yang juga diktator. Termasuk para senior di sekolah or di pengajian yang merasa besar kepala nggak mau dikalahkan sama yuniornya. Prinsipnya: aturan pertama adalah senior pasti benar. Aturan kedua: kalo senior ngelakuin kesalahan, lihat aturan pertama. Wacks! (beeeuh, itu sih namanya pengen menang sendiri, dong ya?)

Sobat muda muslim, istilahnya emang serem abis ya: Diktator! Jadi bisa ngebayangin deh kalo model gini berarti pemimpinnya galak bener. Kalo dalam pemerintahan bisa refresif alias brutal secara fisik: mengejar, memukul, meringkus, memenjarakan, bahkan membunuh orang-orang yang nggak setuju dengan pendapatnya. Bukan diajak dialog, tapi langsung dimusuhi. Lha, piye iki ya? Apa kamu suka punya senior macam gitu? Kerjaannya bukan melindungi yunior tapi malah memeras yunior agar mau tunduk pada mereka. Jadi ada jatah wajib setor duit atau harta sama senior dan melakukannya dengan ancaman bahkan kekerasan. Idih, ini senior atau preman?

Maka, nggak heran dong kalo sampe budaya “perbedaan kelas” ditunjukkin sama senior untuk menekan yunior. Senior malah fasih teriak memaki yunior ketimbang menemani mereka belajar dan mengenalkan apa itu arti penghormatan dan penghargaan. Umumnya para senior malah bersuka-cita dan bersemangat melayangkan pukulan ke tubuh dan wajah yunior ketimbang mendidik disiplin para yunior dengan cinta dan persahabatan. Ini memang aneh bin ajaib. Aneh tapi nyata. Kalo sekadar ngerjain yang sifatnya bikin kesel kayak di MOS masih banyak yang nggak ngerasa sebagai tindakan penghinaan. Tapi kalo udah kekerasan secara fisik, biasanya kelakuan itu dicap sebagai perbuatan yang sungguh terlalu abis! (ciee, pilihan katanya nekuk bener: “sungguh”, ditambah “terlalu”, eh masih juga dilengkapi “abis”!)

Oya, sebenarnya kelakuan para diktator itu bisa macam-macam lho levelnya. Ada yang ringan, biasa, dan keras. Contohnya, kalo yang ringan biasanya tipe senior ini atau orang yang berkuasa itu bisanya cuma nyuruh-nyuruh aja. Kalo levelnya sebagai diktator level biasa, bisa diukur dari gayanya yang antikritik dan mau menang sendiri serta memaksakan kehendak. Kalo diktator level yang keras bisa sampe menyingkirkan, menyiksa, menyakiti, dan bahkan membunuh lho. Idih, serem banget!

Senior antikritik, harus diingatkan

Kamu pernah ikut organisasi Rohis atau OSIS? Terus, pernah bekerjasama dengan senior yang jadi ketua organisasi tapi memiliki gaya seperti para diktator yang ditunjukkannya dengan antikritik? Kalo belum pernah, beruntunglah kamu. Tapi kalo sedang mengalaminya, juga beruntung. Lho, gimana maksudnya nih? Kok untung dua-duanya? Kayak promo sebuah operator seluler aja.

Iya, kalo belum pernah bekerjasama dengan senior yang jadi ketua OSIS model gitu, kamu emang beruntung. Sebabnya, sang senior yang jadi ketua OSIS tersebut pastilah enak diajak ngobrol, asik diajak sharing, nggak bete kalo diajak diskusi. Singkat kata, sang senior yang memegang jabatan penting itu orangnya terbuka. Bukan orang yang antikritik. Waktu MOS kemarin ada nggak senior yang antikritik? Udah tahu tuh senior ngelakuin salah tapi nggak nerima kalo dikritik yunior.

Terus, kalo pun sekarang kamu ngalami bekerjasama dengan senior yang jadi ketua OSIS tapi punya gaya kepemimpinan diktator, kamu juga tetap dianggap beruntung karena jadi ada ladang amal untuk ngingetin sang senior. Jangan diem aja. Nggak perlu takut untuk ngingetin doi. Yup, sampaikan bahwa sikap antikritik tuh nggak benar en nggak baik. Sang senior itu boleh aja jadi ketua OSIS, tapi kan bukan berarti sebagai ketua berhak memaksakan kehendak dan antikritik. Menganggap bahwa dirinya lebih benar, lebih baik, sembari mengabaikan usulan dan masukan dari yunior, bahkan menolak masukan dan kritikan dari temannya sendiri. Memang kalo dipikir-pikir bete juga punya senior yang memimpin OSIS kayak gitu. Tapi, sebagai bentuk perhatian kita, boleh dong kita berani sedikit aja untuk ngingetin doi. Iya nggak sih? Siapa tahu kepedulian kita dengan cara ngingetin doi jadi ladang amal buat kita dalam melakukan amar ma’ruf en nahi munkar. Tul nggak sih?

Emang sih, nggak mudah buat ngingetin senior model gitu. Maklumlah, dia ngerasa lebih dalam soal umur, ngerasa juga lebih soal ilmu, bisa juga lebih soal jabatan. Ya, nggak masalah sih asal kelebihan itu bisa dirasakan manfaatnya oleh para yunior atau kelebihan itu tak menjadikan sang senior arogan atau merendahkan yunior. Jangan sampe deh kejadian ada senior yang tega-teganya menyiksa yunior hanya gara-gara beda pendapat dan sang senior ogah dapetin kritik dari yunior. Ke laut aja deh, senior model gitu mah. Udah kadaluarsa en nggak perlu dibudidayakan (idih, emangnya lele dumbo dibudidayakan?). Iya, udah nggak jaman deh ada senior yang antikritik dan maksain pendapatnya ke yunior, bahkan berani menyerang secara fisik kepada yunior hanya gara-gara si yunior doyan banget ngingetin doi. Wih, parah banget, euy!

Senior jangan belagu deh!

Boys and gals, semoga saja kamu kalo kebetulan sebagai senior nggak belagu di hadapan yunior ya. Nggak asik banget. Capek abis kalo terus ngikutin persepsi bahwa senior pasti lebih keren, senior pasti oke, senior harus jaga imej di hadapan yunior. Bila perlu pasang tampang galak dan sok berwibawa dan nggak mau disandingkan dengan yunior apalagi dibanding-bandingkan kemampuannya. Wah, kalo ada senior tipe gini bisa dicap belagu tuh. Nggak benar en tentunya nggak baik punya sikap belagu bin sombong, Bro. Sumpah!

Bener banget. Jangan mentang-mentang kita lebih senior di sekolah atau di pengurusan OSIS dan Rohis, lalu kita berhak untuk mendapatkan kehormatan dan tak bisa dianggap salah di hadapan yunior. Kalo kamu punya pikiran kayak gini, pasti deh nggak bakalan maju dan berkembang. Sebab, kamu selalu melupakan orang-orang di sekitar kamu. Kamu bisa ditunjuk jadi ketua OSIS atau Rohis karena ada orang yang mau dipimpin. Lha, kalo sekarang jadi belagu, gimana urusannya tuh? Iya nggak?

Jangan belagu, apalagi sombong, Bro. Jabatan itu ada habisnya kok. Kamu yang kuat aja bakalan keropos dimakan usia. Kamu yang kini gagah bisa bakalan lemah suatu saat nanti. Jangan menganggap orang lain yang nggak punya jabatan dan statusnya masih yunior lebih rendah daripada kamu. Meskipun faktanya demikian, tetap aja kamu nggak bisa en nggak boleh nunjukkin diri bahwa kamu tuh berada di atas mereka dan nggak bisa dikritik meskipun kamu melakukan kesalahan. Itu namanya sombong, Bro. Sombong itu artinya menolak kebenaran dan mengecilkan manusia. Duh, jangan sampe deh.

Suatu hari Lukman al-Hakim menasihati anaknya: “Janganlah engkau palingkan wajahmu dari manusia dan jangan menjauhkan diri dari mereka. Janganlah engkau memandang manusia dengan remeh dan hina. Janganlah engkau bergaul dengan orang-orang yang hasad, dengki, dan sombong. Hiduplah engkau bersama manusia dan untuk manusia. Dengarlah dengan teliti jika manusia berbicara dan bergaul denganmu. Tunjukkanlah kepada mereka wajah manis, riang, dan gembira. Senantiasa kamu melemparkan senyum kepada mereka. Jika engkau selalu bersama mereka, mereka akan mencintaimu. Senyum selalu, dan berlemah lembutlah kepada mereka. Jika engkau merendah diri terhadap mereka, mereka akan memuliakan kamu. Ketahuilah wahai anakku, bahwa orang sombong itu tak ubahnya seperti seorang yang berdiri di puncak bukit. Apabila dia melihat ke bawah, semua manusia kelihatan kecil, sedangkan dia sendiri nampak kecil di mata semua manusia lainnya.” [Mutiara Nasihat Lukman al-Hakim, karya Dr. Fathullah al-Hafnawi]

Karena kita manusia, Bro!

Sobat muda muslim, sebagai manusia biasa tentunya kita membutuhkan masukan dan mungkin saja kritikan dari orang lain. Sebab, orang lain itu ibarat cermin. Jangan sampe kita yang berkelakuan jelek dan diingatkan oleh orang lain yang melihat diri kita, lalu kita malah memarahi orang tersebut. Padahal, yang jelas salah adalah kita. Kalo kita begitu rupa, artinya kita nggak mengakui kesalahan kita dan sekaligus kita menyangkal bahwa kita tuh manusia yang memang butuh bantuan dari manusia lainnya karena kelemahan dan keterbatasan kita sebagai manusia. Tul nggak sih?

Inilah kita saat ini. Meski kita sekarang tampak kuat, bisa berpikir dengan cepat, melahirkan berbagai karya adiluhung, semuanya itu tetap tak lepas dari peran Allah Swt. Jadi, kayaknya kita perlu nyadar deh bahwa kalo aja Allah mematikan kita, nggak ada seorang pun bisa mencegahnya. Teknologi paling canggih yang telah berhasil diciptakan oleh manusia, ternyata belum tercipta (dan nggak mungkin ada) teknologi untuk memperlambat datangnya ajal. Betul ndak? Inilah, karena memang kita adalah manusia. Bahkan Radja dengan manisnya berdendang, “Aku hanyalah manusia biasa, yang tak pernah lepas dari khilaf.”

Dalam hidup ini kita selalu membutuhkan orang lain di sekitar kita. Sekecil apapun kontribusi mereka, adalah sebuah anugerah yang sangat bernilai bagi hidup kita. Bayangkan jika di dunia ini kita hidup masing-masing tanpa mengenal aturan bermasyarakat. Masing-masing individunya cuek semua. Kayaknya seperti tinggal di kota mati deh (atau malah di hutan sendirian?). Mengerikan bukan?

Beruntung sebagai seorang muslim, kita diajarkan oleh Allah Swt. dan RasulNya untuk senantiasa saling mengingatkan dengan saudara yang lain. Firman Allah Swt.(yang artinya):

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar (berada) dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan? saling menasihati supaya mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-?Ashr [103]: 1-3)

Yuk ah, nggak ada ruginya senior bergandengan tangan dengan yunior. Jangan jaim demi mementingkan wibawa. Apalagi ngerasa sok benar sendiri dan meremehkan yunior. So, jangan sampe kamu jadi senior yang memiliki gaya seperti diktator. Nggak benar en nggak baik di mata manusia, apalagi di hadapan Allah Swt. Nggak asik banget gitu lho. Sumpah! [solihin: osolihin@gaulislam.com]

2 thoughts on “Jadi Senior Jangan ‘Diktator’

  1. Aslm
    Bro,artikel antum boleh jg.Sy ckup trsentuh,wlwpun ciri2 diktator insya Allah tidak meraja lelah di diri Sy,tp Sy ckp dpt pljrn ttg memahami sbuah kepemimpinan dari sbuah jabatan.thanks bro!Salam,Ketua ROHIS SMA 1 SIMEULUE-ACEH.Wassalam.

Comments are closed.