Friday, 19 April 2024, 13:59

logo-gi-3

edisi 078/tahun ke-2 (24 Rabiul Akhir 1430 H/20 April 2009)

Waduh….belum apa-apa judulnya udah syerem banget neh. Ibu Kartini kan udah lama meninggal, kok bisa dia menggugat? Pasti seru neh! Nah, mumpung bulan April rasanya kurang afdhol kalo kita nggak ikut membicarakan beliau yang setiap tahun selalu ada peringatan hari kelahiran putri keraton Jawa ini.

Kartini sudah terlanjur jadi jargon emansipasi perempuan Indonesia. Di setiap waktu dan bidang, semua mengelu-elukan beliau sebagai peletak tonggak persamaan hak perempuan dengan laki-laki. Semua profesi yang berkaitan dengan perempuan sebagai pelaku aktif di dalamnya, tidak pernah ketinggalan selalu menyelipkan nama Kartini dengan penuh kekaguman dan terima kasih yang mendalam. Benarkah Kartini sehebat itu?

Jangan-jangan pemujaan ini menyimpan makna tertentu di baliknya. Apa iya sih cuma Kartini saja yang memperjuangkan hak perempuan terutama dalam hal memperoleh pendidikan? Ikuti terus yuk biar jelas…

Perempuan hebat lainnya

Pernah nggak kamu mendengar nama Dewi Sartika dan Cut Nyak Dien? Hmm….kayaknya nggak asing ya meskipun namanya tak setenar Kartini. Kalo nama-nama yang ini: Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah, Malahayati dan Rohana Kudus? Hehehe….siap-siap aja kamu pada mengerutkan kening karena merasa tak kenal sama sekali dengan mereka.

Para sejarawan membuktikan bahwa nama-nama yang tersebut itu hidup sezaman dengan Kartini. Namun kenapa Kartini yang dijadikan satu nama utama ya? Padahal nama-nama perempuan hebat tersebut telah melakukan sesuatu yang lebih dahsyat daripada Kartini di saat itu. Di saat Kartini masih dikungkung oleh? budaya Jawa saat itu yang melarang perempuan bersekolah tinggi dan harus menunduk-nunduk di hadapan laki-laki meski itu adiknya sendiri, perempuan-perempuan tersebut di atas sudah melakukan lebih.

Dewi Sartika berkiprah di sekolah yang didirikannya bernama Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Bahkan Rohana Kudus (1884-1972) mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916). Lebih dahsyatnya lagi, Rohana Kudus juga aktif sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Dan yang lebih membanggakan, perempuan hebat ini juga mendirikan koran-koran surat kabar yang didirikannya sendiri semisal Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan). Subhanallah!

Rohana Kudus bukan jurnalis perempuan biasa. Ia mempunyai visi dan misi keislaman yang jelas dan tegas bahwa perempuan harus tetap menjadi perempuan dan bukan pesaing laki-laki. Perubahan yang ia perjuangkan adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan sebaik-baiknya terutama dalam masalah akhlak, budi pekerti dan ibadah. Dan semua itu bisa dicapai hanya dengan ilmu pengetahuan saja.

Kamu akan semakin bengong bila mendengar kiprah Tengku Fakinah, yang selain ikut berperang, beliau juga adalah seorang ulama-wanita. Yang namanya ulama, levelnya bukan lagi sekadar bisa baca tulis namun beliau sudah menjadi rujukan umat karena kecerdasan dan kesalehannya. Jauh sebelum Kartini lahir, ada nama Malahayati, Panglima Angkatan Laut wanita pertama di kepulauan Nusantara. Awalnya, Malahayati membentuk barisan prajuritnya terdiri dari para janda untuk melawan Belanda yang berusaha menjajah kerajaan Aceh. Karirnya pun semakin cemerlang sehingga pada tahun 1599, beliau membawahi ratusan armada perang dan berhasil membunuh Cornelis de Houtman yang terkenal bengis itu dengan tangannya sendiri. Nama ini kemudian diabadikan menjadi nama Universitas, rumah sakit dan pelabuhan serta kapal perang. Fantastis!

Dari mana perempuan hebat itu?

Yupz, pernah nggak sih kamu bertanya-tanya, kok sepertinya nama perempuan hebat Indonesia didominasi oleh nama-nama yang bukan berasal dari Jawa? Satu-satunya nama Jawa adalah Kartini dan dia sangat terkenal seantero Indonesia karena hari lahirnya selalu diperingati secara nasional tiap 21 April.

Usut punya usut, para perempuan menjadi hebat itu bukan tanpa sebab. Mereka tidak muncul secara sim salabim. Mereka muncul ternyata ada kaitannya dengan sejarah bangsa lainnya yang memang sengaja belum terkuak. Aceh pada faktanya pernah menjadi bagian dari Kekhilafahan Islam di nusantara. Khilafah Islam saat itu memang sudah sempoyongan menjelang kejatuhannya di saat jejak langkahnya mencapai Indonesia. Sudah sempoyongan saja memberi pengaruh positif dalam menciptakan perempuan-perempuan hebat nusantara, apalagi kalau dalam kondisi sehat yah? Subhanallah.

Sebagai sistem hidup, Islam memang mampu memberi efek dahsyat pada para pemeluknya. Tidak dulu, tidak sekarang, tidak di masa depan, bila Islam yang dipakai sebagai standar dan aturan hidup, maka bisa dipastikan kondisi perempuan akan termuliakan secara benar. Begitu sebaliknya, bila Islam ditinggalkan maka hanya kehinaan saja yang akan didapatkan.

Lihatlah Kartini yang tertatih-tatih memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya di tengah dominasi budaya Jawa yang sarat dan kental dengan aturan dari luar Islam. Hingga akhirnya Kartini mendapat pencerahan ketika al-Quran mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan beliau pun mencampakkan kekagumannya pada gaya hidup perempuan Barat.

Sejarah rancu?

Jalannya sejarah berkaitan erat dengan siapa yang menjadi penguasa di zaman sejarah tersebut dibuat. Sebagai contoh sederhana, di zaman Soeharto berkuasa, ia menciptakan sejarah tentang jasa-jasanya menyelamatkan bangsa dan negara dari kudeta. Namun di zaman reformasi, banyak pakar sejarah yang berusaha merevisi ulang semua dogma tersebut.

Contoh lain adalah nama Kemal Attaturk. Dalam sejarah dunia dia dianggap sebagai bapak pembaharu Turki modern yang namanya begitu harum sebagai peletak tonggak sekulerisme Turki. Namun bila kamu jeli melihat sejarah dalam sudut pandang yang lain, Attaturk adalah orang Yahudi yang menyamar jadi muslim untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dialah orang yang mengeksekusi Khilafah Islam dibubarkan pada 3 Maret 1924. Dia adalah pengkhianat sekaligus pecundang.

Kembali ke sejarah Ibu Kartini, kecurigaan sebagian kalangan bahwa ada nuansa Jawa minded dalam Indonesia kita, sungguh kental terasa. Kartini yang berkirim surat dengan sahabat-sahabatnya dari negeri Belanda jauh lebih terkenal daripada Dewi Sartika dari Sunda, Cut Nyak Dien sang panglima perang, Malahayati sebagai laksamana AL, apalagi Rohana Kudus sebagai jurnalis perempuan pertama Indonesia.

Orang mungkin percaya ada nuansa Jawa minded dan meminggirkan suku-suku lain dalam negeri tercinta ini. Tapi sesungguhnya, yang lebih kental terasa adalah nuansa meminggirkan dan mengecilkan peran Islam dalam membentuk sebuah peradaban. Ketika KH. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Muhammadiyah di tahun 1908, beberapa tahun lebih dulu daripada sekolah Taman Siswa, namun mengapa Ki Hajar Dewantoro yang jadi pahlawan pendidikan? Ketika Sarekat Islam sebagai organisasi nasional pertama yang berusaha bersatu dan bangkit melawan penjajah, namun mengapa Budi Utomo yang jelas-jelas anggotanya harus dari suku Jawa malah dianggap sebagai pelopor kebangkitan nasional?

Sudah saatnya bangsa ini meluruskan kembali sejarah nasionalnya. Bukan zamannya lagi meminggirkan peran Islam bahkan membungkam aktivisnya dengan dalih apa pun. Nama Malahayati, Tengku Fakinah, Rohana Kudus, Cutpo Fatimah, Nyak Raniah, Cutpo Hasbi dan banyak nama lain yang berawalan Cut telah menunjukkan kiprahnya tentang hak dan kewajiban berdasarkan Islam. Meskipun mereka bukan perempuan Jawa, so what?

Toh Kartini juga tidak pernah meminta dilahirkan sebagai perempuan Jawa yang terkungkung dan terbelakang. Yang ia inginkan hanyalah hak perempuan untuk dihormati secara layak dan mendapat pendidikan sebaik-baiknya. Jadi tidak perlu mendramatisir kehidupan Kartini apalagi menungganginya atas nama kebebasan perempuan yang kebablasan. Biarkan sejarah berbicara apa adanya dengan bukti-bukti otentik yang kuat, bukan diada-adakan untuk kepentingan pihak tertentu saja.

Kasihan Kartini. Andai ia sudah mengenal Islam saat itu sebagai sebuah sistem kehidupan dan bukan hanya kitab suci yang tak diketahui maknanya, maka sudah tentu surat-surat semacam curhat dan keluhan Kartini itu tak akan muncul. Kartini akan menjadi setangguh Cut Nyak Dien, Malahayati, Tengku Fakinah dan juga Rohana Kudus. Laki-laki di sekelilingnya sudah barang tentu akan memberikan pendidikan layak padanya karena hal itu adalah kewajiban bagi perempuan juga.

Sistem yang ada (Islam) juga tak akan menistakan perempuan sehingga tak perlu lagi ada yang dituntut oleh Kartini. Sebaliknya, dia akan sibuk berkiprah di tengah masyarakat sebagaimana Dewi Sartika dan Rohana Kudus dengan sekolah putrinya. Bahkan bukan tak mungkin Kartini kecil yang suka naik pohon akan menjadi pejuang perempuan tangguh selayaknya Tengku Fakinah dan Cut Nyak Dien yang jadi panglima perang.

Sungguh pantas Kartini ‘menggugat’. Sangat layak Kartini geram. Karena sistem yang ada tidak berdasar pada Islam, selalu berarti meminggirkan dan menghinakan perempuan. Kartini yang semula menyanjung dan memuja perempuan Barat, akhirnya berubah haluan mengkritik mereka ketika sebagian isi al-Quran diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Kyai Sholeh Darat. Masih sepertiga isi al-Quran, Kartini dipanggil oleh Allah. Baru juga sepertiga, Kartini sudah sedemikian cemerlang berani mencela Barat, menentang praktik Kristenisasi, dan membela Islam di hadapan teman perempuannya dari Eropa. Apakah lagi bila Kartini sempat memahami keseluruhan isi al-Quran ya? Tak terbayangkan!

Finally…

Biarlah Kartini tenang di alam sana. Tidak perlu mendompleng namanya atau menunggangi perjuangannya demi perempuan Jawa yang saat itu derajatnya dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Satu poin penting yang kita telah tahu bahwa ada penyelewengan sejarah tentang kiprah perempuan Indonesia. Dan yang lebih parah lagi, penyembunyian wajah Islam sebenarnya sebagai sebuah sistem hidup. Padahal, Islam mampu menuntaskan semua permasalahan termasuk masalah perempuan.

Sudah saatnya kita bergerak menyadarkan masyarakat tentang hal ini. Ternyata hanya dengan Islam saja perempuan menjadi mulia tanpa harus menghiba dan menuntut pada laki-laki. Begitu juga laki-laki menjadi mulia dengan memuliakan perempuan sesuai dengan koridor Islam. Keduanya akan menjadi kekuatan yang bersinergi untuk membangun sebuah peradaban yang benar dan baik.

Sungguh, hanya pada kemuliaan ideologi Islam saja kita bersandar dan bercermin, bukan pada peradaban dan ideologi di luar Islam. Bila Kartini saja yang hidup di zaman baheula bisa berpikir maju dengan berani berkata bahwa masyarakat Eropa tidak patut disebut sebagai sebuah peradaban, apalagi kita yang hidup di zaman yang lebih canggih ini. Seharusnya kita makin mantap untuk memilih Islam saja sebagai ideologi dan aturan hidup serta mencampakkan selainnya ke tong sampah peradaban.

Last but not least, jangan diam aja ketika kamu paham hal ini. Ayo sebarkan ke teman-temanmu, keluargamu serta semua orang yang kamu kenal dan temui. Sudah saatnya kita berubah ke peradaban yang mulia, yaitu Islam. Setuju? Tentu dong! Let’s move! [ria: riafariana@yahoo.com]

6 thoughts on “Kartini ‘Menggugat’

  1. Assalamu’alaikum W4.

    Bi khoir,Ya Ukhti;-)

    Ini da Special Artikel 4 u;-)

    Met Baca Ya.Moga Manfaat.BarokaLlahu

    Ur True Couple in World & Heaven,Amien

    Wass w4

  2. Sifat orang kafir sama dg iblis 1.sombong(menolak kebenaran) 2.merendahkan orang lain 3.adu domba(mengadakan permusuhan) 4.memutuskan tali silaturrahim 5.memutar balikkan fakta. Memang banyak sekali sejarah yg dibolak balik dan ditunggangi demi kepentingan dan ambisi mereka

  3. Ass….
    Terimakasih ats informsinya, ternyata kt memang hrus jeli mempelajari sejarah bangsa, dan yang pasti sejarah yg pling benar hanya terdapat dlm Al-Quran dn Hadist
    Wallohu’alam….

  4. Subhanallah smg dgn adanya artikel ini wanita islam di luar sana semakin sadar…but Jgn sampai mereka malah berpikir u/ menyamakan kedudukannya dengan pria ( GENDER ) Nauzubillah..Smg Allah membuka hati wanita yang masih tertutup…Amin…

Comments are closed.