Thursday, 25 April 2024, 08:07

Mira, gadis itu biasa dipanggil. Manis, dan memang kembang kampus. Makin manis dan anggun saat gadis ini memilih mengenakan jilbab. Mira bisa mengenakan jilbab merupakan surprise tersendiri, lho. Sebab, selain keputusan “kontroversialnya� yang bikin geger seisi kampus, doi juga kena semprot keluarganya. Berat nian memang perjuangannya. Di kampus geger, di keluarga juga penghuninya bagai pada kebakaran jenggot. Di kampus, anak-anak cowok jadi nggak bisa lagi liat makhluk manis bernama Mira yang biasanya tampil bak peragawati. Di rumah, keluarganya sempat kaget dan terbengong-bengong. Termasuk kakaknya yang super cerewet dan sok ngatur.

Wuih, itu Mita, kakaknya Mira, pake uring-uringan segala. Mulutnya nggak berhenti menggerutu kalo kebetulan Mira ada di rumah. Seluruh isi keranjang sampah, eh omongan keluar dari mulut kakaknya itu. Dibilangin sok alimlah, disebut sok idealislah, fanatiklah, kunolah, dan seabreg sebutan berbau sinis lainnya.

Mira? Ah, easy going aja tuh. Pikirnya, anggap aja gerutuan kakaknya itu kayak radio butut. Percuma dilayani juga, nggak bakalan ada abisnya. Dilayani malah bikin kesel aja, karena seringnya tulalit alias kagak nyambung. Keputusan Mira memakai busana muslimah adalah karena alasan syariat, sementara Mita masih betah berdandan ala kadarnya dengan alasan modern. Nggak nyambung kan kalo dilayani juga? Apalagi kalo kemudian nggak menerima kebenaran, pengennya malah nyari pembenaran. Walah, bahaya itu!

Akhirnya, Mita tetap aja konsisten berpenampilan kuno—meski menurutnya modern. Liat aja, walaupun pakaiannya mahal-mahal, tapi nggak ada yang bisa menunjukkan bahwa itu disebut “pakaian�. Saat pesta misalnya, Mita biasa bergaun leher V rendah alias breast-less. Di kesempatan lain, Mita mengenakan gaun yang bolong di sekujur punggungnya alias backless. Waktu ngeceng di mal aja, Mita dan kawan-kawannya nggak malu dan ragu untuk mengenakan gaun yang bagian atasnya; muka-belakangnya mlompong alias topless. Bisa-bisa nanti malah kayak gaya dandannya Madonna yang acapkali nir-busana. Nah, yang terakhir ini namanya mules alias masuk angin.

Aduh, ini memang masalah, Non. Suer, yang bergaya dandan begitu bukan cuma Mita, yang kakaknya Mira itu, tapi siapa tahu di antara teman-teman puteri yang lain banyak yang melakukannya. Buktinya kalo ada pesta, yang muncul adalah dandanan yang persis di jaman pithecanthropus, atau yang kayak di film Mr. Flinstone. Ya, zaman purba!

Ini salah satu contoh lho, betapa perjuangan untuk meraih kemuliaan emang suka berat, apalagi di tengah masyarakat yang memuja kebebasan. Sebelum Mira, malah ada banyak pendahulunya yang merasakan “pengasingan� segala. Kalo kamu buka file-file berita koran—kira-kira sepuluh tahun yang lalu, insya Allah akan menemukan tentang kasus pelarangan siswi berjilbab di sekolah-sekolah umum. Ya, itu terjadi kira-kira akhir tahun 1980-an. Wah, mungkin di antara kamu ada yang masih SD ya? Nah, saat itu, kakak-kakakmu harus berjuang mati-matian supaya tetap memakai busana muslimah ini ke sekolah. Meski pihak sekolah juga nggak kalah ngototnya dalam melarang. Ujungnya, karena pihak sekolah menggunakan logika kekuasaan, malah banyak siswi berkerudung yang harus kehilangan kesempatan belajar di sekolahnya.

Dan wajar bila kemudian Cak Nun alias Emha Ainun Najib dalam puisi “Lautan Jilbabâ€?–yang amat panjang itu–menuliskan: “Jilbab adalah keberanian di tengah hari-hari sangat menakutkan, Jilbab adalah percikan cahaya di tengah-tengah kegelapan, Jilbab adalah kejujuran di tengah kelicikan, Jilbab adalah kelembutan di tengah kekasaran dan kebrutalan, Jilbab adalah kebersahajaan di tengah kemunafikan, Jilbab adalah perlindungan di tengah sergapan-sergapan.â€?

Alhamdulillah, di negeri ini belum terdengar lagi kasus yang menghebohkan itu. Kalo ada? Berarti pihak sekolahnya sekular banget. Bener, itu namanya orang yang nggak ngerti aturan Islam. Seperti halnya di Turki—bolehlah disebut negeri Islam paling sekuler, akhir tahun lalu malah melarang busana ini dikenakan oleh para muslimah. Perlu diketahui bahwa di Turki terdapat 25 ribu mahasiswi muslimah yang dilarang belajar karena menolak melepaskan jilbab. Angka itu pernah dilaporkan oleh sebuah organisasi HAM di Turki pada Oktober 2000 lalu. (eramuslim.com 24 April 2001)

Ya, saat ini, jilbab telah menghiasi sudut-sudut kota, kampus, sekolah, bahkan di pasar-pasar. Bener, dibanding sepuluh tahun lalu, jilbab kini sudah marak dikenakan. Maraknya jilbab ini juga secara tidak langsung berdampak baik bagi industri pakaian, lho. Pendek kata, busana muslimah ini udah jadi lahan bisnis baru. Coba aja lihat, perancang-perancang busana seperti Mbak Anne Rufaidah, Mbak Sitoresmi, Mbak Yenny Rachman, termasuk juga Ghea Sukasah ikut meramaikan “pasar� busana muslimah ini. Meski akhirnya kita prihatin juga, sebab mereka kemudian malah mengkaburkan konsep busana muslimah yang telah diatur oleh syariat Islam.

Itu disebabkan, karena para perancang hanya memahami jilbab sekadar mode busana umumnya. Jadi yang ditonjolkan adalah unsur trendi, aksi, dan gaya. Nggak heran pula bila kemudian urusan busana muslimah ini malah ada peragaannya segala. Kacau kan?

Lho emangnya nggak boleh ngadain peragaan busana muslimah? Ya, boleh sih, asal yang nonton para lelaki yang tunanetra sekaligus tunarungu. Kan nggak ada busana braille? Tapi walau bagaimanapun juga, prinsipnya nggak boleh, apalagi konsep busana muslimahnya udah tidak sesuai lagi dengan aturan Islam. Bahaya bin gaswat memang!

Simbol identitas
Ngomongin soal identitas, berarti kita kudu bicara konsep diri. Nah apa sih konsep diri? Menurut Anita Taylor, “konsep diri adalah semua yang Anda pikirkan dan Anda rasakan tentang diri Anda, seluruh kompleks kepercayaan dan sikap tentang Anda, yang Anda pegang teguh.� (Communicating; 1977)

Jangan heran bila kemudian orang berjalan dalam hidup ini sesuai dengan konsep dirinya. Meski adakalanya, konsep dirinya juga suka nggak jelas kemana arahnya. Jadi, dengan adanya konsep diri, biasanya orang akan berperilaku tertentu. Remaja yang merasa hidupnya “ditakdirkan� sebagai outsider atau the no-body’s child, cenderung introvert, menjauhi lingkungannya, cuek, apatis, semau gue. Pokoknya, dunia ini kejam dan aku adalah korbannya. Untuk mendukung konsep dirinya yang seperti itu, ia hobby mendengarkan syair-syair frustrasinya Kurt Cobain, KISS, Black Sabbath, Rolling Stone. Atau “Bunga Manis�-nya Bimbo, yang tergoda rayuan ibukota dan akhirnya bunuh diri (PERMATA, No. 15/Tahun II/Mei 1994)

Atau bagi teman remaja yang merasa “dituliskan� jalan hidupnya sebagai anak metal, kemana-mana menenteng gitar akustik (meskipun nggak paham cord). Musiknya jelas metal; dari mulai metal, speed metal, heavy metal, sampai trash metal. Rambutnya pun gondrong, celana jinsnya belel, jaketnya kumal—dipake terbalik lagi, badannya dipenuhi tato. Jelas, ia berperilaku sesuai dengan konsep dirinya, meskipun salah. Dan dalam pandangan Islam memang disebutkan bahwa perilaku seseorang itu sesuai dengan pemahamannya tentang kehidupan.

Nah, ngomong-ngomong soal jilbab, memang konsep dirinya juga kudu jelas. Sebab, busana, menurut Kefgen dan Touchie-Specht, mempunyai fungsi: diferensiasi, perilaku, dan emosi. Dengan busana, membedakan diri (dan kelompoknya) dari orang, kelompok, atau golongan lain. Dalam hal ini, kamu suka nemuin kan ada orang yang suka tampil beda dengan busana atau aksesoris lainnya. Sekelompok remaja puteri ada yang berani malu untuk memakai busana tang-top kalo keluar rumah. Sebagian yang lain merasa besar kepala bila keluar rumah dengan parfum yang membuat “klepek-klepek� yang menghirup.

Terus, busana juga bisa mengendalikan perilaku, lho. Kalo antum pakai baju koko dan berkopiah, maka antum biasanya rada risih kalo mata harus jelalatan kayak orang mau maling jemuran pas lagi jalan di mal. Begitupun dengan remaja puteri, saat kamu memakai kerudung, maka perilaku kamu nggak bakalan “se-okem� ketika kamu berjins-ria. Ini fakta umum. Apalagi bagi yang udah sempurna berjilbab, nggak bakalan berani berperilaku yang norak, okem, senewen, atau malah urakan dan maksiat.

Lalu, busana juga ternyata bisa berfungsi emosional. Coba aja, saat kamu nonton bola dengan bersegaram klub kebanggaan kamu, “nilai� soraknya lebih berharga. Kamu bisa lihat di televisi, bagaimana para penonton merasa terlibat secara emosi bila mengenakan kaos klub favoritnya. Pokoknya siap “gagah-gagahan�, bila perlu berjuang sampai titik darah yang penghabisan dalam 2 kali 15 menit perpanjangan baku hantam dengan kesebelasan dan pendukung lawan. Juga perhatiin deh, di jalan aja suka ada remaja yang memakai kostum milik klub favoritnya; sepakbola, basket, atau olah raga lainnya. Nah, itu menunjukkan bahwa mereka ingin memberikan emosinya dengan memakai busana itu.

Busana muslimah, jilbab, adalah juga simbol identitas. Simbol pembeda antara yang benar dan salah. Memakai busana muslimah sekaligus merupakan simbol mental baja pemakainya. Gimana nggak, dalam kondisi masyarakat yang rusak binti amburadul ini masih ada orang yang berani tampil dan bangga dengan jilbab. Sebab, di kota-kota besar dan di desa-desa wanita-wanita udah merasa betah berbusana modern yang anti-menutup aurat. Padahal, sebenarnya para wanita “karirâ€? modern itu sedang menutupi kelabilan pribadinya dengan menyandarkan busana?  dan dandanannya kepada arus mode. Makanya ia lebih percaya kepada Yves Saint Laurent, Girgio Armani, Versace, Lanvin, Calvin Klein, Ramli, Ghea Sukasah, Poppy Darsono, Itang Yunas, dan yang lainnya yang biasa merancang busana “ala kadarnya dan kuno ituâ€?.

Jadi jelas, di tengah kondisi masyarakat yang memuja kebebasan, di dalam arena kehidupan yang kusut bin suram ini pemakai busana muslimah adalah orang-orang yang bersemangat pantang menyerah. Ia tak gentar melawan kemunafikan, mereka tak takut melawan arus, berani tampil beda dalam kebenaran. Inilah jilbab. Inilah identitas muslimah. Inilah perjuangan mereka melawan hegemoni budaya tak beradab. Dan jilbab menggelorakan emosi: emosi membela Islam, umat, dan dakwahnya. Maka sungguh aneh apabila wanita berjilbab tidak marah kepada Israel, Amerika, dan sekutu-sekutunya yang doyan menghancurkan Islam. Sungguh hueran pula, bila ada wanita berjilbab yang tidak sedih saat membaca berita penderitaan saudara-saduaranya di Ambon. Juga sebaliknya, sungguh tragis ada jilbaber kok sempet-sempetnya histeris nonton Westlife manggung.

Saudaraku, seharusnya, jadikan citra jilbab dalam perspesi sosial umum sebagai kebaikan; sopan, ramah, kalem, tahu agama, alim dan sebagainya. Jadi, seperti kata Kefgen dan Touchie-Specht, bahwa busana adalah “menyampaikan pesan�. Kamu menerima pesan di balik busana orang, kemudian merespon sesuai persepsi sosial kamu.

Pakaian takwa
Islam, sebagai agama yang sempurna memperhatikan pula tentang urusan pakaian. Yang indah itu yang bagaimana, yang sesuai syariat itu yang bagaimana. Semua dijelaskan oleh Islam. Bicara soal pakaian, Allah Swt, telah mengatur dalam firman-Nya:

?????§?¨???†???? ?????§?¯???…?? ?‚???¯?’ ?£???†?’?²???„?’?†???§ ?¹???„?????’?ƒ???…?’ ?„???¨???§?³?‹?§ ?????ˆ???§?±???? ?³???ˆ?’?¢?????ƒ???…?’ ?ˆ???±?????´?‹?§
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.â€? (QS al-A’r?¢f [7]: 26)

Yang khusus membahas tentang jilbab, bisa disimak firman Allah Swt:

?????§?£?????‘???‡???§ ?§?„?†?‘???¨?????‘?? ?‚???„?’ ?„???£???²?’?ˆ???§?¬???ƒ?? ?ˆ???¨???†???§?????ƒ?? ?ˆ???†???³???§???? ?§?„?’?…???¤?’?…???†?????†?? ?????¯?’?†?????†?? ?¹???„?????’?‡???†?‘?? ?…???†?’ ?¬???„???§?¨?????¨???‡???†?‘?? ?°???„???ƒ?? ?£???¯?’?†???‰ ?£???†?’ ?????¹?’?±?????’?†?? ?????„???§ ?????¤?’?°?????’?†?? ?ˆ???ƒ???§?†?? ?§?„?„?‘???‡?? ?????????ˆ?±?‹?§ ?±???­?????…?‹?§
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.â€? (QS al-Ahzab [33]: 59)

Dan biasanya, muslimah yang udah berjilbab akan mampu mengendalikan dirinya. Ya, sesuai dengan persepsi orang tentang jilbab: “tahu� agama dan tidak norak. Jadi, ketika berjilbab, seorang muslimah itu “dipaksa� untuk mengatur perilakunya: menundukan pandangan dan tidak jelalatan, mempertegas suaranya sehingga tidak disalah-artikan lawan jenisnya, mengatur langkahnya, mengatur parfumnya, dan menyeleksi teman gaulnya. Bahkan ia pun terdorong untuk lebih memahami Islam. Malah bukan tak mungkin akan menjadi labuhan pertanyaan teman-temannya. Bahkan orang yang berjilbab, kalo jalan di hadapan anak cowok, yang dilewati merasa segen dan nggak berani ngegodain. Tapi kalo remaja putri yang berdandan menor, wah, para lelaki langsung berkicau ngegodain, “Sorangan wae Neng!�

Memang, ada kasus wanita berjilbab tetap okem; ngegosip, urakan dsb. Kita harus teliti dulu, jangan-jangan doi cuma pake kerudung doang alias belum berjilbab. Sebab, yang namanya jilbab adalah pakaian luar (jubah) yang tebal, longgar, panjang sampai hampir menyentuh tanah, tentunya plus khim?¢r (kerudung)nya dong. Itu busana muslimah.

Tapi terlepas dari itu semua, kalau pun ada, itu kan hanya kasus. Juga, bukan berarti ia harus mencopot jilbabnya. Sebaliknya ia kudu memperbaiki perilakunya. Agar sesuai dengan pesan Allah Swt. dan persepsi orang tentang jilbab. Jadi, katakan dengan Jilbab!

(Buletin Studia – Edisi 062/Tahun 2)