Friday, 26 April 2024, 02:51

Cinta yang bersemi dalam hatiku memang membuatku bahagia, tapi kebahagiaan semu. Selebihnya aku menderita karena cinta. Namun entah kenapa aku terus hanyut dalam nuansa biru itu. Sampai akhirnya aku menemukan kebenaran.

Aku merupakan anak bungsu, dibesarkan dalam keluarga yang sedang-sedang saja. Tapi aku masih sempat bersyukur karena kehidupan keluargaku berjalan harmonis. Bapakku seorang imam masjid di kampung tempat aku tinggal. Kakakku seorang pengajar madrasah di sini. Boleh dibilang keluargaku merupakan keluarga yang taat terhadap agama. Itulah mungkin kenapa dalam pergaulan, aku tidak “terlalu” terbawa arus. Cuma seperti kebanyakan keluarga yang mendidik anaknya dengan pendidikan agama “alakadarnya” yang hanya mengandalkan pendidikan agama untuk anaknya dari sekolah dan separo lagi dengan ngambil sana, ngambil sini. Maka aku pun bernasib seperti jutaan anak-anak muslim lainnya. Menjadi muslim yang tidak kaffaah. Yang hanya tahu sholat, zakat, puasa dan haji adalah kewajiban satu-satunya yang harus dijalankan oleh seorang muslim. Tidak terkecuali yang namanya urusan pacaran, yang seharusnya dijauhi dan dicampakan aku termasuk yang mengerjakannya.

Petualangan cintaku bermula ketika SMP. Aku bertemu seorang akhwat satu kampung di sebuah telepon umum. Dia memintaku untuk menelepon seorang temannya yang cowok. Istilahnya dulu itu “minjam suara”. Dari situlah benih-benih cinta yang terlarang mulai disemaikan oleh iblis. Dan gayung pun bersambut. Dia mengajak berkenalan. Dari perkenalan itu, ditambah gharizah na’u-ku yang menuntut pemenuhan dan memang pergaulan nggak bener itu sedang jadi trade mark di kalangan teman-teman yang sekuler, aku pun memulai aktivitas pacaran.

Maka hari demi hari yang aku lalui tidak pernah luput dari aktivitas yang satu ini dengan berbagai “atributnya”. Mulai dari urusan menjemput sang kekasih, ngobrol, berkhalwat, makan bareng, main band, sampai apel jadi bagian kesibukan aku sehari-hari. Malah kadang kegiatan utama terabaikan, seperti sekolah salah satunya. Aku begitu menikmatinya. Kadang dalam pacaran, aku sempat menyerempet hal-hal yang tidak sepatutnya aku lakukan.

Enggak salah memang ‘orang salah’ bilang jatuh cinta itu berjuta rasanya. Itu yang aku rasakan pada awalnya. Siang tidak terasa panas lagi rasanya karena ada dia yang meneduhkan. Malam tidak menjadi gelap karena ada purnama? yang menerangi di sisi sampai aku merasa takut untuk kehilangan dia. Hanya dialah hidupku. Ibaratnya kita akan selalu bersama, matipun bersama.

Semua begitu indahnya. Mataku terbutakan oleh kepalsuannya. Walaupun kadang pertengkaran menyertai,? mulai dari masalah yang sepele, sampai kelas berat (malah sempat mau putus) itu semua dapat diselesaikan dengan sendirinya. Temen-temen sekuler biasanya memberi semangat kalo lagi ada masalah. Mereka mengatakan bahwa hal itu biasa dalam dunia percintaan, sebagai bumbu katanya. Biar lebih ‘garing’.

Sampai? suatu hari Allah menegur atas kesombonganku. Hal yang kutakutkan terjadi. Gadis yang kucintai sakit. Kabar itu aku terima dari teman-teman. Aku tidak menjenguknya karena aku takut pada orang tuanya. Memang selama ini pacaran yang aku lakukan back street. Mengingat orang tuanya masih belum setuju anaknya pacaran dengan alasan masih kecil. Selama? pacar sakit, aku jadi sering gelisah, tiap hari hanya memikirkan dia. Melamun. Sekolah pun terbengkalai, malas. Dari rumah berangkat, padahal tiap hari cuma nongkrong di jalan, tempat kami biasa bertemu. Mengharap dia sembuh dan datang. Atau menunggu kabar dari teman tentangnya.

Sampai penantianku berakhir dengan sebuah berita. Pacarku harus dibawa ke rumah sakit dengan keadaan koma. Dan.. dua hari berselang. Ia dipanggil oleh Penciptanya. Hatiku luruh hancur berkeping-keping, kesedihan yang teramat sangat melanda, shock, terguncang, kecewa, menyalahkan atas kuasa-Nya, itulah yang aku alami setelah menerima kabar terakhir kekasihku itu. Cinta begitu membutakanku hanya untuk sekedar mengambil i’tibar dari kematiannya, sekedar memahami semua enggak ada yang abadi, semua bertanggung jawab atas dirinya masing-masing. Ketika jasadnya disemayamkan aku begitu bodoh menjenguk alam sana, bahwa akupun akan mengalami hal serupa. Perbuatanku akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah pencipta semesta alam.

Dua tahun lamanya aku dilanda stress. Hari-hari kulalui dalam kesendirian, keterpurukan dan dengan angan-angan kosong. Kilas balik ketika aku masih bersamanya, lebih sering menemani. Sekolah menjadi korban, akupun drop out di tengah jalan.

Tapi keadaan itu tidak berlangsung lama. Sekali lagi, atas dukungan teman-teman yang mengatakan dunia tidak selebar daun kelor, akhirnya aku bangkit lagi. Rasa untuk menyukai lawan jenis muncul lagi. Didukung dengan wajah yang menurut kawan-kawanku tidak jelek bahkan baby face bukan hal yang sulit bagiku untuk mendapatkan pengganti. Karena itulah aku sering gonta-ganti pacar.

Sampai akhirnya Allah berkenan memberikan hidayah-Nya kepadaku, setelah bersinggungan dengan teman-teman pengajian. Waktu itu aku sedang apel di rumah kontrakan pacar baru di suatu malam. Kami hanya berdua dengannya. Rupanya ada teman-teman yang sudah ‘hijrah’ kurang suka dengan perbuatan yang kami lakukan. Karena sampai tengah malam aku masih berada di sana.

Akhirnya temanku memberi teguran. Dia begitu marah. Saking marahnya, dia melempar pintu rumah kontrakan pacarku. Akupun keluar. Dan menanyakan maksud perbuatannya. Dia mengatakan, bahwa perbuatan seperti itu tidak pantas dan haram aku lakukan sebagai seorang muslim. Islam ada aturannya bergaul dengan lawan jenis. Apalagi aku, sebagai anak seorang imam masjid, ustadz, hal itu akan berdampak buruk dalam pandangan masyarakat. Teman-temanku mengatakan alasan dia berbuat seperti itu, yaitu semata-mata karena amar ma’ruf nahyi munkar katanya. Dan lebih karena perasaan sayangnya kepadaku, saudaranya sesama muslim. Dengan perasaan kesal, akhirnya aku pulang. Tetapi sesampainya di rumah, aku coba untuk memikirkan kembali perkataannya.

Alhamdulliah. Selang beberapa minggu, Allah membukakan mata hambanya yang selama ini buta oleh cinta buta. Dituntunnya aku untuk memahami tentang Islam, diberikannya aku kabar tentang indahnya surga tempat balasan bagi orang-orang bertaqwa, Indahnya hidup dalam naungan Islam. Dan hanya Allah-lah yang patut menjadi kekasih sejati kita. Hanya bagi Allah-lah Cinta kita berikan yang utama. Kini.. bersama teman-teman seperjuangan dalam menegakan Islam, aku sedang menanti perjumpaan dengan kekasih hati…. Allah Illahi Rabbi……ya Allah Aku rindu…[Seperti yang diceritakan Ibnu An-Nabhandi pada Mursyid]

[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi Juli 2003]

2 thoughts on “Kuhanyut dalam Cinta

  1. alhamdulillah akhirnya akhi sadar,,saya pun dlu pernah trpuruk karna cinta..tapi skarang saya jg sdar akan ksalahan sya..smoga aja Allah mengirimkan pasangan yg baik wat saya..
    🙂

  2. dulu ana jg . . . tiap hari kerjaanx sms’an . . . tp kalo berkhalwat sih pernah tp cma sekali wkt dy nembak sy . . . stelah itu sy gak brani berkhalwat lg cz tkut ketauan orang . . .
    sy tau sbenerx kalo pacaran tuch dosa tp berhubung hawa nafsu udh menguasai yahh apa bs dikata . . akhirx sy malah menganggap bahwa pacarn tuch ga dosa kan sy cuma sms’an aj . . .
    sampai suatu ketika disekolah diadakan acara kajian Islam tiap hari jum’at dan dr acara itulah sy akhirx sadar gak ada yg namax PACARAN dlm ajaran Islam . . . PACARAN kyk gimana pun bentukx itu DOSA . . .

Comments are closed.