Friday, 19 April 2024, 22:41

Adios Brasil! Inggris Menangis! Argentina Terkapar! Mimpi Ukraina tak berlanjut! Mereka dikalahkan lawan-lawannya pada duel seru di lapangan hijau di babak perempat final dalam ajang sepak bola sejagat bernama World Cup 2006 di Jerman.

Magico Quartet Brasil: Ronaldinho, Kaka, Ronaldo dan Adriano bertekuk lutut di hadapan pasukan “Ayam Jantan� yang dimotori dua gelandang hebat Perancis, yang kebetulan keduanya muslim: Zinedine Yazid Zidane dan Frank Ribery. Bahkan, Ribery yang dijuluki “si mobil balap� dengan sebutan Ferraribery oleh suporter klub Galatasaray Turki tempatnya bermain, mengatakan bahwa, “Islam memberi saya kekuatan di atas lapangan,� ujar pemuda kelahiran 7 April 1983 yang menikahi gadis muslimah al-Jazair ini. Brasil pun pergi meninggalkan Jerman dengan cemoohan dan cacian dari para penggemarnya yang kecewa.

Inggris lebih parah, dua kali ketemu Portugal dua kali gagal. Pertama di Euro 2004 dan kini di World Cup 2006. �Kutukan’ adu penalti itu membuat Inggris tak pernah menang lawan Portugal di dua ajang hajatan sepak bola bergengsi itu. Inggris menangis. Sementara pendukung fanatiknya melampiaskan kekecewaan atas kekalahan timnya dengan aksi brutal. Polisi menahan sedikitnya 180 hooligan di Gelsenkirchen, Jerman sesaat setelah tim kesayangannya dijegal Portugal. Mereka juga ngamuk di Kepulauan Jersey, London, yang dihuni lebih dari 5.000 warga keturunan Portugal. Yeee.. kalah kok ngamuk!

Roberto Ayala dan Esteban Cambiasso mungkin akan menjadi �kambing hitam’ kekalahan Argentina gara-gara tendangan penaltinya dalam tos-tosan (adu tendangan penalti) digagalkan kiper Jerman, Jens Lehmann. Argentina terkapar digilas pasukan Der Panzer. Jerman pesta, Argentina berduka. Kalo Jose Pekerman, pelatih tim “Tango� Argentina cukup mengerti lagu dangdut di sini, kayaknya langsung deh bilang ke Juergen Klinsmann, pelatih “Tim Panser� Jerman sambil nyanyi lagu: “Pestamu Dukaku�. Eit, tapi Juergen Klinsmann pun mungkin akan balas nyanyiin lagu: Don’t Cry for Me Argentina…

Ukraina sebagai tim underdog alias nggak diunggulkan nggak terlalu dicela para pendukungnya meski dicukur Italia 3-0 lewat gol Gianluca Zambrotta dan dua gol hasil sumbangan Luca Toni. Para �mutan’ Chernobyl ini pulang dengan tenang sambil menikmati mimpi yang nyaris jadi kenyataan. Sayang, mimpinya direnggut pasukan elang Azzurri yang ganas. Sementara Italia akan bertarung saling bunuh dengan Jerman.

Sesaat setelah kemenangan itu, media Italia pun langsung sesumbar. “Jerman, kami akan mengalahkan kamu!� tulis Harian Italia, Corriere dello Sport. Ini merupakan balasan atas artikel yang ditulis berita mingguan Der Spiegel, yang menyebut pemain Italia “Parasit� dan “Anak Mami�. Corriere menulis lebih lanjut, “Mereka berkata kami akan mengeluarkan uang untuk menang. Azzurri akan menutup mulut mereka, mengalahkan mereka, di rumah mereka sendiri. Kami akan melakukan apa pun untuk mewujudkannya. Tunggu saja!�

Dan… ternyata di lapangan hijau pasukan Azzurri Italia berhasil menghentikan Der Panzer Jerman secara dramatis di babak semi final Piala Dunia 2006 dengan skor 2-0. Jerman pun berurai air mata. Italia suka-cita.

Membangkitkan nasionalisme
Prestasi Ueber Alles yang mengkilap di Piala Dunia ini–meski cuma sampe di semi final–telah berhasil membangkitkan kembali semangat patriotisme dan nasionalisme banyak rakyat Jerman yang selama ini nggak pede dengan kejermanannnya. Mereka malu dengan sejarah kelam Nazi pimpinan Adolf Hitler yang rasis.

Tapi kini, setelah Jerman cukup perkasa di ajang sepak bola sejagat itu, mulai merambat rasa percaya diri rakyat Jerman. Bundesflagge alias bendera hitam-merah-emas yang selama ini jarang disentuh, kini marak dikibarkan di pelosok kawasan Bavaria itu.

Seorang kolumnis ternama bernama Franz Josef Wagner, 63 tahun, mengakui hal tersebut. Dia menulis di harian Berliner Zeitung setelah menyaksikan kegairahan masyarakat Jerman mengibarkan bendera Schwarz-Rot-Gold (Hitam-Merah-Emas) untuk mendukung tim nasional mereka di Piala Dunia. Bendera nasional ditemui di segala sudut kota dan desa, di kaca spion mobil, di atas atap rumah, juga di dekat kanal-kanal air yang tersebar di hampir semua daerah.

Para suporter Jerman juga mulai rajin dan bangga menyanyikan kalimat pertama dari lagu kebangsaan Jerman, Das Deutschlandlied: Deutschland, Deutschland ueber alles…! (Jerman, Jerman di atas semua…!) dengan semangat patriotik di setiap pertandingan tim kesayangannya tersebut.

Bahkan Kanselir Jerman, Angela Merkel—yang tumbuh dalam tradisi Jerman Timur—menyebut hal ini sebagai nasionalisme dan patriotisme Jerman yang baru. Tak ada hubungannya dengan Ueber Alles dalam doktrin Hitler, yang hanya mengakui keunggulan ras Arya mereka.

Ketika empat negara yang masuk semifinal semuanya dari benua Eropa, maka ada saja orang yang kemudian menghubungkan bahwa Eropa lebih baik ketimbang tim dari benua Amerika, Asia, dan Afrika. Apalagi Asia, hampir semua wakilnya gugur di babak awal: Iran, Korea Selatan, dan Arab Saudi. Hanya Australia (yang mulai 2005 lalu resmi disetujui FIFA untuk masuk AFC, federasi sepak bola kawasan Asia) yang berhasil menembus babak kedua, sebelumnya akhirnya dihempaskan Italia lewat kemenangan kontroversialnya.

Afrika? Negeri ini hanya menyisakan pasukan “Bintang Hitam� Ghana di babak kedua sebelum akhirnya harus mengakui keperkasaan Brasil. Ghana angkat koper dari Jerman setelah digunduli Brasil 3 gol tanpa balas. Empat negara Afrika sudah KO di babak pertama: Tunisia, Togo, Angola, dan Pantai Gading.

Sobat, dengan kondisi seperti ini, meski diakui bahwa sepak bola tuh sekadar olahraga, bahkan diakui bisa mempersatukan beragam bangsa yang berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya—tapi ternyata pada parktiknya tetap saja kerepotan menahan laju nasionalisme yang digerakkan para pendukung tim kesayangan masing-masing. Itu sebabnya, meski FIFA sudah mengantisipasi dengan mengeluarkan semboyan “Let’s Kick Racism Out of Football!�, tapi tak kuat juga menahan gelombang nasionalisme (termasuk kesukuan, ras dan etnis) yang sangat boleh jadi akan membawa-bawa sikap rasis dari para pendukung tim sepak bola negara yang berlaga di ajang tersebut.
Yup, sepak bola yang seharusnya bisa dinikmati sebagai tontonan dan hiburan malah menjadi petaka dan bikin ribet. Awalnya saling ejek, tapi lama-lama malah jadi adu fisik.

Masih inget Tragedi Heysel di Belgia saat berlangsung final Liga Champions yang mempertemukan Juventus (klub asal Italia) dan Liverpool (klub jawara Inggris)? Yes, tragedi berdarah yang menewaskan 39 orang itu—kebanyakan pendudukung Juventus—dikenang sebagai sejarah buruk sepak bola. Sejak saat itu, Liverpool dihukum beberapa tahun untuk tidak bermain di ajang Eropa dan FIFA harus selalu mewaspadai para hooligan—boneknya Inggris—jika kesebelasan sepak bola Inggris atau klub-klub dari Inggris bertanding di negara lain. Bikin rese aja!

Lain hooligan, lain pula para suporter Real Madrid. Suporter klub asal Spanyol ini terkenal rasis. Sambil menemani klub kebanggaannya bermain di stadion Santiago Bernabeu, mereka bernyanyi dengan irama lagu kebangsaan Spanyol, tapi syair diplesetkan: “Fuera, Fuera, maricones, negros, basque, catalan� (pergi, pergi: waria, negro, basque, dan catalan!)

Memang, tanpa suporter, sepak bola kering bin garing. Karena merekalah yang akan rela menyemangati pemain tim sepak bola kesayangannya dari tribun penonton, berteriak histeris jika timnya unggul, mengibar-kibarkan bendera negara kesayangannya, sudi berpeluh keringat dan memoles tubuh dengan cat warna bendera negara masing-masing. Mereka juga yang telah membeli tiket jutaan rupiah dan meludeskan duitnya untuk membeli segala macam merchandise tim kesayangan mereka mulai dari kaos, slayer, bendera, ikat kepala dan sejenisnya. Tapi, ribet juga kalo bikin rese.

Sobat, kayaknya nggak usah jauh-jauh, kerusuhan sepak bola di negeri kita juga sering terjadi. Final Liga Indonesia tahun 1998 mungkin masih ingat di benak para bonek atau masyarakat Jakarta. Waktu itu, ribuan bonek—suporternya Persebaya—nekat turun ke jalanan di ibu kota begitu tim Bajul Ijo berhasil menerkam Maung Bandung Persib Bandung. Parahnya, aksi yang mungkin seharusnya “syukuran� itu malah jadi anarkis.

Mereka menjarah toko dan puluhan mobil dibakar. Aparat keamanan pun kerepotan mengawal mereka sampe Stasiun Senen, Jakarta. Tapi, keberingasan para bonek yang cuma modal nekat datang ke Jakarta itu berlanjut di atas kereta yang membawa mereka ke Surabaya. Kawasan pinggir rel yang membentang sepanjang jalur Jakarta-Cirebon dihujani batu!

Singkirkan nasionalisme!
Sobat, nasionalisme merupakan ikatan antar manusia yang didasarkan pada ikatan kekeluargaan, klan, dan kesukuan. Nasionalisme ini muncul di tengah-tengah manusia tatkala pemikiran mendasar yang mereka emban adalah kehendak untuk dapat mendominasi. (Ahmed, A. dan Abid, K. The Roots of Nationalism in The Muslim World,?  hlm. 6.)

So, bagi mereka yang menghayati realitas, ikatan nasionalisme ini sebenarnya bukan membentuk persatuan antar manusia, tetapi justru melahirkan superioritas suatu bangsa atas bangsa lain. Coba deh tengok, dalam sepak bola aja udah ketahuan banget nunjukkin keunggulan bangsa atau etnis tertentu. Dibanding sebagai alat pemersatu, ternyata lebih banyak jadi alat pemecah belah.

Buktinya, para penganut ideologi ultra-kanan di Jerman sangat membenci kulit berwarna di Tim Panser. “Sebuah tim nasional haruslah sebuah tim nasional,� kata juru bicara Partai Nasional, Klaus Beier. “Asamoah mungkin seorang pemain yang bagus dan memegang paspor Jerman. Tapi dia tak akan pernah menjadi orang Jerman,� imbuhnya.

Sekadar tahu aja, di Tim Panser ada Gerald Asamoah dan David Odonkor yang keturunan Ghana dan berkulit gelap. Bahkan ada Lukas Podolski dan Miroslav Klose yang asli Polandia, negeri pembenci Hitler karena diinvasi oleh pemimpin Nazi tersebut. Lagian para pengagung ras di Jerman lupa, kalo salah satu wanita tercantik di negerinya, Heidi Klum, ternyata sang model ini menikah dengan penyanyi Inggris berkulit hitam, Seal. Tapi, itulah nasionalisme. Membingungkan, menyesatkan dan membuat perpecahan.

Eh, kebayang nggak sih kalo seandainya tim sepak bola Iran berhadapan dengan kesebelasan Indonesia di partai final Piala Dunia, akankah terjadi �perang’ antar sesama kaum muslimin? Jawabannya, tergantung sejauh mana nasionalisme menancap kuat dalam pikiran dan perasaan kaum muslimin. Kalo perang, berarti kita telah teracuni nasionalisme yang memang merusak itu. Ati-ati deh.

Sobat, Islam ngelarang banget kita bersikap ta’ashub. Bangga dan fanatik ama kelompok. Fanatisme kelompok seperti kesukuan dan nasionalisme terbukti memecah belah manusia, dan mempersempit pergaulan. Selain itu, fanatikme kelompok bikin kita ngerasa jadi beda dengan orang lain. Kita ngerasa jadi orang yang lebih �tinggi’ dibandingin mereka yang ada di luar kelompok kita. Wajar aja, agama kita nutup rapat buat fanatik kelompok ini. Sabda Nabi saw.: “Bukan golongan kami yang menyeru pada ashabiyyah, berperang karena ashabiyyah dan mati karena ashabiyyah.� (HR Abu Daud)

Oke deh, tendang jauh-jauh nasionalisme dari hidup kita. Karena kita hanya terikat dengan akidah Islam dan Allah Ta’ala hanya akan memuliakan kita karena ketakwaan kita kepadaNya. Hanya Islam yang akan bisa mempersatukan manusia. Allah Swt. pun nggak mengistimewakan dan memuliakan manusia berdasarkan bangsa dan etnisnya. Allah Swt. juga nggak memuliakan manusia dari warna kulitnya. Kick out nationalism! [solihin, berbagai sumber]

(Buletin STUDIA Edisi 301/Tahun ke-7/10 Juli 2006)