Friday, 29 March 2024, 12:35

Sore itu, kaki Tuan Sufi sudah membawanya jauh masuk ke pinggiran Kota Bebek. Kebetulan sekali menurut Tuan Sufi. Sudah lama Tuan Sufi tidak pernah bertamu ke rumah Nenek Bebek. Apalagi Tuan Sufi juga kangen sama Agus Angsa yang hobinya tidur itu. Baru selangkah Tuan Sufi masuk pekarangan Nenek Bebek, matanya tertarik untuk melihat beberapa ayam-ayam yang keliatannya sedang asik ngerumpi. Sambil mengendap-endap Tuan Sufi memasang di telingnya alat ciptaan Lang Ling Lung yang memang dibuat untuk memahami percakapan binatang.

“Petokkkk… Kokkokokokok….. petok…,” sahut seorang ayam ras kate berpetok-petok. Artinya (ket: kalau dipasang alat dari Lang Ling Lung) “Kawan-kawan ada berita bagus. Kota Bebek ngadain festival tahunan ayam terbahenol bin eplok cendol!”

“Waduh kesempatan baik nih. Siapa tahu saja aku yang dapat”, timpal Ayam Nenek Bebek yang memang montok-montok. Perlu diketahui, semua binatang piaraan Nenek Bebek selalu dirawat dengan baik. Untuk masalah makanan saja, Nenek Bebek tidak pernah merasa ragu-ragu untuk menyehatkan hewan peliharannya. Bahkan kalau sedang terdesak Nenek Bebek kadang suka memaksa Paman Gober Bebek buat membelikan makanan binatang dari swalayan teryahud di Kota Bebek. Padahal tahu sendiri, Gober Bebek itu kan terkenal karena pelitnya. Tapi dihadapan Nenek Bebek, Paman Gober tidak ada apa-apanya.

“Tapi gimana dong dengan nasibku yang hidup di jalanan?”, tanya seorang Ayam Dekil yang iri melihat ayam Nenek Bebek yang selalu dimanjakan.

“Agh… itu sih gampang. Yang terpenting sekarang sih bagaimana kita bisa jadi terbahenol bin eplok cendol dan memenangkan piala dari Walikota Kota Bebek. Pokoknya apapun caranya yang penting menang. Mau makan cacing kremi, mau fitness sama Rai Banteng, mau minum susu si Susi Sapi tiap hari, itu terserah kamu.” anjur si Ayam Kate.

“Duh enak banget yah kayaknya jadi ayam terbahenol bin eplok cendol. Kita bisa diajak jalan-jalan ke Kota Angsa. Tiduran di kasur no. 5 hotel bintang lima kelas presiden bukan lagi di jerami. Belum lagi para ayam jago yang bakal terkapar-kapar melihat kemolekan tubuh kita. Belum lagi…”, khayal Ayam Nenek Bebek yang sudah optimis bakal memenangkan festival nanti.

“Aku sih sudah jadi piarannya Nenek Bebek juga sudah untung. Habis selama ini hidupku terkatung-katung di jalanan”

“Kalau aku sih, jelas pengen juara. Masa sih ayam Nenek Bebek tidak juara?”

“Yah kalian mah tidak bermutu banget sih impiannya! Mending mah jadi manusia dong. Kalau sudah jadi manusia, kita ikut lagi festival seperti ini. Biar nanti bisa makin bahenol kayak Robin Standarabis (red: penyanyi terkenal di Kota Bebek).”

Tak diduga-duga, ternyata selama tadi percakapan itu pun diperhatikan oleh seekor entog (itik) Nenek Bebek. Perlahan dia mendatangi kerumunan ayam yang sedang keganjenan itu. Lalu berkata, “Bagaimana pun juga kalian itu ayam. Kalau sudah tidak ada gunanya dan sudah uzur, ujung-ujungnya paling jadi isi sayur sop kalau pun tidak paling jadi ayam goreng.”

Perkataan entog itu membuat para ayam terhenyak. Belum juga sempat menghirup nafas, entog Nenek Bebek sudah menimpal lagi,” Jadi pemenang festival terbahenol bin eplok cendol memang asik. Suatu saat mungkin kalian diajak mampir ke warungnya Mas Solo atau kedainya Pak Kolonel. Atau malah ke franchise-nya Mang Donal. Memang sih terlihat serba mewah, serba lux dan serba distandarkan pada ISO. Tapi itu semua justru untuk menipu kalian. Tinggal masalah waktu saja siapa yang dapat giliran pertama jadi “Panas” (Paket Nasi) plus softdrink atau malah jadi paket “Combo”. Dan jangan dikira kalau nanti jadi manusia pun tidak begitu. Di dunia manusia yang aku lihat di TV-nya Nenek Bebek justru lebih ganas lagi. Seberapapun hebatnya mereka (manusia), tidak mempunyai arti apa-apa bagi para manusia yang otaknya uang dan perutnya buncit sebesar karung goni. Bagi manusia seperti ini yang penting bagaimana caranya agar uang mereka bertambah dan perutnya kenyang. Caranya dengan menjadikan manusia-manusia tadi sebagai alat pencapai tujuan. Maka jadilah manusia-manusia hebat tadi sebagi manusia yang tidak merdeka. Manusia yang terdoktrin mimpi-mimpi semu padahal sebenarnya mereka tidak lebih baik daripada barang industri. Ujung-ujungnya sama saja seperti kalian! Kalau sudah tidak ada manfaatnya tinggal buang saja. Terus cari lagi yang masih segar dan mau dibodoh-bodohin.”

“Gimana masih mau ikut Festival terbahenol bin eplok cendol dan jadi manusia?” tanya Entog dengan bertubi-tubi. Para ayam cuma melongo terdiam kebingungan antara sadar dan tidak.? Mau bicara tapi tidak tahu apa yang mesti dibicarakan. Soalnya si Entog pun pergi begitu saja dengan tenangnya.

Di tengah kebingungan para ayam, Tuan Sufi kemudian perlahan pergi menjauhi mereka. Dan mulai memikirkan apa yang diucapkan Entog tadi. Mhmm….. ternyata ayam atau manusia kalau sudah menyangkut perut sama saja nasibnya. Kasian deh loh! [Linda]

[diambil dari Majalah PERMATA, edisi Mei 2004]

1 thought on “Akademia Fried Chicken

Comments are closed.