Saturday, 27 April 2024, 06:14

Ormas Islam sepakar Al-Qiyadah Al Islamiyah “Sesat”. Namun pemikiran yang mendukungnya, jauh lebih “sesat”. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-212Adian Husaini

Akhir-akhir ini kita disibukkan oleh berita tentang kasus kelompok “Al-Qiyadah Islamiyah”. MUI, NU, Muhammadiyah, Dewan Da’wah? Islamiyah Indonesia, dan berbagai organisasi Islam lainnya, dengan tegas menyatakan bahwa ajaran kelompok al-Qiyahad Islamiyah adalah sesat dan menyesatkan. Kelompok ini mempunyai syahadat yang berbeda dengan umat Islam. Setelah bersemedi selama 40 hari di sebuah goa di Bogor, pemimpinnya mengaku sebagai nabi dan menerima wahyu dari Tuhan.

Melihat ajaran semacam itu, sebagai Muslim, dengan mudah kita bisa menilai bahwa kelompok itu sesat dan menyesatkan. Tidak perlu terlalu cerdas dan terlalu serius berpikir untuk membuat penilaian semacam itu. Sepanjang sejarah Islam, sudah banyak yang mengaku sebagai nabi, dan selama itu pula, umat Islam dengan mudah menyatakan bahwa mereka semua – yang mengaku sebagai nabi – adalah pendusta.

Dalam keputusannya, Majelis Tarjih Muhammadiyah sudah lama mengingatkan, bahwa orang yang mengimani adanya nabi lagi, sesudah Nabi Muhammad saw, maka kafirlah dia.

Rasulullah saw sudah bersabda: “Di antara umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian nabi.” (HR Ibn Mardawaihi,? dari Tsauban).

Juga sabda Rasulullah saw:? “Perumpamaanku dengan para nabi lainnya sebelumku adalah laksana seorang yang sedang mendirikan bangunan. Maka dibaguskan dan dibuat indah bangunan itu, kecuali satu batu bata (yang belum dipasang) pada salah satu penjurunya. Maka orang-orang mengelilinginya dan merasa heran serta bertanya:

“Mengapakah batu bata ini belum dipasang?” Rasulullah saw bersabda: “Aku inilah bata itu dan aku adalah penutup para nabi.” (HR Muslim dari Abu Hurairah). Dari dua hadits tersebut dan banyak hadits Rasulullah saw lainnya, sangatlah jelas dimana posisi Nabi

Muhammad saw. Beliau adalah penutup para nabi. Sesudah beliau tidak ada nabi lagi. Karena itu, dunia Islam, misalnya, secara tegas menolak penafsiran kelompok Ahmadiyah yang mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ketika menjelaskan QS as-Shaf ayat 7, buku Terjemah dan Tafsir Singkat al-Quran yang diterbitkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia tahun 1987 menyebutkan: “Jadi, nubuatan yang disebut dalam ayat ini ditujukan kepada Rasulullah s.a.w., tetapi sebagai kesimpulan dapat pula dikenakan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Pendiri Jemaat Ahmadiyah, sebab beliau telah dipanggil dengan nama Ahmad dalam wahyu (Brahin Ahmadiyah), dan oleh karena dalam diri beliau terwujud kedatangan kedua atau diutusnya yang kedua kali Rasulullah s.a.w.

Ayat ketiga Surah Jumu’ah tegas mengisyaratkan kepada kedatangan kedua Rasulullah s.a.w. telah pula dinyatakan dengan tegas dalam Injil Barnabas, yang dianggap oleh kaum gerejani tidak sah, tetapi pada pihak lain mereka menganggapnya otentik (dapat dipercaya) seotentik setiap dari keempat Injil.” (hal. 1914).

Seperti pernah kita bahas, Ahmadiyah mewajibkan umat Islam untuk mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Karena itulah, dunia Islam tidak berbeda pendapat dalam masalah ini, bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Demikian juga dengan kelompok al-Qiyadah Islamiyah. Kesesatannya sangat jelas dan gamblang. Tidak perlu banyak diskusi tentang masalah ini.

Di tengah situasi seperti ini, sejumlah televise menampilkan sosok-sosok liberal untuk menjadi pembela kelompok Qiyadah Islamiyah. Beberapa kali saya mendapat telepon dan SMS agar menonton tayangan debat antara orang liberal dengan tokoh-tokoh Islam.

Saya sebenarnya sudah agak malas mendengar argumentasi kaum liberal dalam soal seperti ini, karena tidak ada yang baru. Bisa dengan mudah ditebak, mereka akan berbicara tentang relativisme tafsir dan posisi negara yang harus netral terhadap agama.

Orang-orang liberal itu tak bosan-bosannya mengulang-ulang lagu ‘relativisme tafsir’.

Mereka selalu menyatakan, tafsir mana yang mau diikuti. Kata mereka, semua orang berhak memiliki pendapat dan tafsir sendiri. Kalau suatu ajaran atau kelompok dinyatakan sesat, maka mereka akan menyatakan, itu sesat menurut siapa? Kelompok Qiyadah Islamiyah memang sesat menurut MUI, tetapi tidak sesat menurut lainnya, kata mereka. Bahkan ada yang menyatakan, yang sesat adalah MUI bukan Qiyadah Islamiyah.

Kita sudah berulangkali membahas dan mengkritik paham relativisme tafsir kaum liberal ini. Tapi, kita sudah paham, bahwa selama ini mereka tidak mau mendengar argumentasi pihak lain. Mereka juga merasa benar dengan pendapatnya sendiri. Sejauh ini, hampir tidak ada gunanya berargumen dengan mereka. Sebab, mereka memang tidak mau mendengar kebenaran dan tidak tidak mengakui adanya satu kebenaran untuk semua manusia.

Jadi, bagaimana bisa sampai kepada kebenaran, jika adanya kebenaran itu sendiri sudah mereka tolak? Pada akhirnya, mereka menjadikan diri mereka sebagai tuhan yang dengan semaunya menafsirkan ayat-ayat Allah sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Saat menonton sebuah debat di TV yang menampilkan seorang pentolan kaum liberal dan ketua Komisi Fatwa MUI pusat, saya berpikir, apakah orang yang mengaku liberal ini tidak takut lagi untuk berhadapan dengan Allah SWT di akhirat nanti? Ataukah dia masih percaya bahwa nanti dirinya akan dibangkitkan dan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya? Setelah perdebatan itu, saya menerima telepon dan sejumlah SMS yang menyayangkan penampilan tokoh MUI yang terlalu lunak dalam menghadapi orang liberal tersebut.

Dari sinilah kita paham, bahwa liberalisasi Islam memang sudah menjadi tantangan yang sangat serius bagi umat Islam. Sebab, mereka bukan hanya salah, tetapi juga aktif membela yang salah. Karena itu, tidak salah, jika ada yang berujar, bahwa kaum liberal memang spesialis dalam membela yang salah-salah.

Ketika umat Islam menyatakan bahwa Ahmadiyah, agama Salamullah, Qiyadah Islamiyah, pornografi, dan sebagainya adalah paham sesat dan tindakan salah, maka kaum liberal berdiri pada garis depan untuk membela mereka. Begitu juga ketika umat Islam menolak shalat dalam dua bahasa, maka kaum liberal pun membelanya.

Seperti kita ketahui, paham relativisme tafsir adalah pemikiran yang absurd dan konyol. Dengan pemikiran ini, mereka telah menghilangkan otoritas dalam penafsiran. Padahal, ini jelas tidak mungkin. Dalam kehidupan ini, selalu ada otoritas dan standar dalam penilaian sesuatu.? Standar itu tentu didasarkan pada penilaian yang umum dan normal. Pada umumnya, manusia akan menilai bahwa Presiden SBY lebih tampan dibandingkan Thukul Arwana. Pada umumnya manusia akan menilai bahwa Inneke Koesherawati lebih cantik jika dibandingkan dengan pelawak Omas atau Rini Bonbon.

Karena manusia adalah makhluk yang satu, maka manusia bisa mempunyai standar yang satu. Kita bisa melihat, biasanya yang terpilih sebagai Miss Universe adalah wanita yang memang cantik menurut ukuran rata-rata manusia normal. Pada umumnya, kaum laki-laki memang lebih kuat secara fisik ketimbang kaum wanita, sehingga dibuat kategorisasi olah raga antara laki-laki dan wanita.

Dalam logika relativisme ala post-modernist, memang segalanya bisa menjadi relatif. Di rumah sakit jiwa, seorang yang sakit jiwa bisa menuduh dokternya yang gila, bukan dia yang gila. Standar siapa yang digunakan untuk menentukan seseorang itu sakit jiwa atau tidak? Tentulah yang dipakai standar dokter jiwa.?Bukan standar orang sakit jiwa.

Pada umumnya dan normalnya orang Islam akan mengatakan bahwa kelompok Qiyadah Islamiyah adalah salah, karena memang sudah keluar dari batas-batas ajaran pokok dalam Islam. Itu umumnya dan normalnya. Tentu kita tidak perlu terlalu mendengar ucapan miring dan ganjil yang menyatakan bahwa Qiyadah Islamiyah adalah juga benar. Pendapat seperti ini adalah pendapat aneh dan syadz. Sepanjang sejarah ada saja pendapat nyeleneh seperti itu.

Islam adalah agama wahyu yang memiliki batas-batas yang jelas. Ada rukun iman dan rukun Islam. Orang yang menolak kenabian Muhammad saw, pastilah sudah berdiri di luar Islam. Agama lain juga memiliki batas-batas atau definisi sendiri. Kaum Kristen yang tidak mengakui otoritas Gereja Katolik dalam penafsiran Bibel, maka dia sudah berdiri di luar agama Katolik, meskipun dia juga mengakui Yesus sebagai Tuhannya.

Karena itu, sangatlah aneh dan absurd dan keliru jika kaum liberal menyatakan, penafsiran apapun terhadap Al-Quran bisa dibenarkan.

Kita menyatakan, ada tafsir yang benar dan ada tafsir yang salah. Tidak semua tafsir bisa dibenarkan? Kalau mereka bertanya, benar menurut siapa? Tentu benar menurut ahli tafsir, orang yang mempunyai otoritas di bidang tafsir. Di sinilah, kita saat ini menghadapi persoalan. Sebab, kaum liberal juga berusaha keras merebut otoritas dalam penafsiran agama. Banyak diantara mereka yang merupakan profesor atau doctor dalam bidang studi Islam.

Dengan otoritas keagamaan yang mereka miliki, kemudian mereka melakukan penyesatan kepada manusia. Dalam hal ini, mereka masuk kategori ulama su’, ulama yang jahat. Ulama yang dengan ilmunya justru menyesatkan manusia. ?Di tengah heboh kasus Qiyadah Islamiyah, terbetik berita, Sabtu (27/10/2007), di sebuah vila di Anyer, dilangsungkan sebuah perkawinan antara seorang Muslimah berinisial DA dengan seorang pria Kristen berinisial BM. Menurut saksi mata, prosesi perkawinan itu diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Quran, dilanjutkan dengan Ijab qabul yang dilakukan oleh Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta. Acara berikutnya adalah votum dan salam oleh Pdt Samuel B. Hananto, pembacaan ayat-ayat Bibel, khutbah pendeta dan nyanyian jemaat.

Perkawinan semacam ini tentulah sangat ganjil, baik bagi Islam maupun bagi Kristen. Dalam Islam, perkawinan itu jelas tidak sah.? Kalau ditanya, tidak sah menurut siapa? Tentu menurut Al-Quran, hadits, dan pendapat ulama-ulama yang mu’tabarah, yang punya otoritas. Bukan menurut pendapat yang ganjil seperti Dr. Zainun Kamal tersebut. Meskipun dia doktor dan dosen di Faktultas Ushuluddin Universitas Islam, pendapat dan tindakannya tetap salah dan merusak.

Kita tahu, aktivitas Zainun Kamal dan kawan-kawannya dalam mengawinkan pasangan beda agama, sudah sangat keterlaluan. Mereka sudah secara terbuka dalam mengadakan berbagai aktivitas perkawinan beda agama.

Dan anehnya lagi, tidak ada tindakan apa-apa dari pimpinan kampusnya dan juga pemerintah. MUI juga diam saja. Padahal, perilaku dan tindakan Dr. Zainun Kamal dan kawan-kawannya? dalam merusak Islam tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan kelompok Qiyadah Islamiyah. Sebab, dia menyandang otoritas sebagai doktor dan dosen bidang agama Islam. Wallahu a’lam. [Depok, 2 November 2007/www.hidayatullah.com]Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com