Friday, 4 October 2024, 22:00

  gaulislam edisi 237/tahun ke-5 (16 Jumadits Tsaniy 1433 H/ 7 Mei 2012)


Amati dirimu di cermin! Apa yang kamu dapati tentang dirimu? Kamu punya wajah. Cantik? Syukurlah. Ganteng? Alhamdulillah. Jerawatan? Jangan marah. Tapi nggak mau jerawatan? Ya, ampelaslah wajahmu itu jika kamu nggak pede dengan dirimu. Mungkin karena kamu merasa lebih pede jika punya wajah selicin porselin yang sering diiklankan di tivi. Tetapi ingat, itu bisa saja palsu. Bukan dirimu. Kamu mungkin saja bisa bersandiwara di depan kawan-kawanmu bahwa dengan wajah yang mulus kamu akan dikagumi temanmu. Tetapi ingat, itu kan bukan dirimu yang asli. Kamu mengemas wajahmu agar kelihatan manis dan cantik atau ganteng di hadapan orang lain.

Begitu pun ketika kamu tampil dengan karakter yang bukan dirimu. Meski kamu berusaha meyakinkan setiap orang bahwa kamu dicitrakan (digambarkan) sebagai orang yang pinter, tetapi faktanya kamu—maaf, bloon—ya suatu saat akan ketahuan juga. Meski kamu setengah hidup menjejali pikiran orang lain bahwa kamu dicitrakan sebagai orang yang dermawan, tetapi faktanya kamu justru pelit, suatu saat orang akan tahu jati dirimu yang asli. Itu artinya, kamu hidup di bawah bayang-bayang bukan dirimu. Tetapi kamu pura-pura bahwa itu dirimu. Duh, hidup kayak gitu capek, Bro en Sis. Bener lho!

Hidup kayak gitu capek? Bener banget! Lihat deh bapak-ibu yang lagi berebut suara di berbagai pilkada di tanah air. Mereka berusaha mati-matian meyakinkan masyarakat agar memilih mereka. Caranya? Membuat pencitraan. Sederhananya, membuat gambaran tentang diri mereka. Ada yang tiba-tiba dicitrakan dekat dengan wong cilik dengan harapan masyarakat melihat dan memiliki imej bahwa orang tersebut pantas untuk memimpin daerahnya. Padahal dalam kehidupan sehari-harinya, kenyataannya dia justru dekat dengan wong licik dan doyan korupsi. Ini jelas penipuan.

Bro en Sis pembaca setia gaulislam, banyak orang memanfaatkan pencitraan dirinya agar terlihat dan terekam dalam benak setiap orang tentang imej baik dirinya. Sebenarnya pada tahap awal bisa saja benar dan bernilai positif, jika memang faktanya dia seperti yang dicitrakan itu. Misalnya, ada orang yang memang baik, suka berbuat baik, menunjukkan semangat tinggi dalam kerja, sering membantu orang lain dan beragam kebaikan lainnya. Kemudian ia berusaha menunjukkan jatidirinya dengan konsisten melakukan semua itu. Maka, secara tidak langsung ia sedang melakukan pencitraan terhadap dirinya. Itu artinya, yang dia lakukan adalah mengemas, menguatkan, dan memperbaiki citra dirinya yang memang sudah melekat erat dalam karakter kepribadiannya. Tetapi jika pencitraan yang dilakukannya berbeda dengan jati dirinya yang sesungguhnya, maka itu namanya memalsukan dirinya, menipu bahkan mengkhianati banyak orang. Bahaya bener, Bro en Sis!

 

Mencetak ‘ingatan kolektif’

Maurice Halbwachs, sosiolog Perancis pencetus teori ingatan kolektif menyebutkan bahwa “ingatan kolektif” bukanlah metafora tetapi realitas sosial, ditransmisikan dan dilestarikan melalui upaya sadar dan institusi kelompok. Kelompok-kelompok sosial mengkontruksi imaji mereka tentang dunia melalui versi tertentu masa lalu yang mereka setujui, versi-versi yang dikonstruksi melalui komunikasi, dan bukan pengingatan individu, melainkan individu sebagai anggota kelompok. Halbwachs membedakan antara ingat otobiografis (autobiographical memory) yang merupakan pengalaman personal, ingat historis (historical memory) masa lalu yang ‘mati’ dan hanya bisa diketahui melalui catatan sejarah, dan ingatan kolektif—masa lalu yang ‘hidup’ dan aktif memberi informasi identitas kita.

BTW, kamu paham maksud paragraf di atas? Nggak? Hehehehe saya juga ampir aja nggak ngerti. Maklum, ini pelajaran sosiologi jaman kuliah dulu, jadi kadang lupa-lupa inget. Tapi saya kasih contoh terapannya aja ya. Begini Bro. Contoh ingatan kolektif adalah ketika kamu dan kawan-kawanmu ngomongin soal Korea, maka yang teringat secara massal dan kolektif bahwa saat ngobrolin tentang Korea berarti identik dengan film drama dan boyband. Mengapa bisa begitu? Karena film drama dan boyband yang ‘diproduksi’ Korea Selatan tampil konsisten dalam memberikan pencitraan kepada masyarakat penggemarnya. Coba deh dites sekarang, kamu pasti hapal juga kan film My Sassy Girl yang menampilkan akting Jun Ji Hyun dan Cha Tae Hyun? Hehehe ini film jadul tahun 2001. Atau My Tutor Friend yang diproduksi tahun 2003 dan disutradarai Kim Kyung Hyung. Drama Korea yang terbaru juga bisa kamu kenal macam Take Care of Us Captain, Salaryman Chohanji, Bachelor’s Vegetable Store dan film lainnya. Termasuk boyband mereka yag terkenal macam SuJu (Super Junior). Nah, kalo sampe sekarang kamu inget tentang Korea berarti inget drama dan boyband, berarti ingatan kolektif kamu dan remaja lainnya tentang Korea sudah terbentuk.

Sama seperti para ABG (Angkatan Buyut Gue) yang kenal Pak Sukarno (presiden pertama RI) sebagai bapak revolusi. Saat saya blogwalking, ketemulah dengan blognya Anton DH Nugrahanto tentang politik pencitraan para pemimpin Indonesia dari masa ke masa. Khusus tentang ingatan kolektif, ia menuliskan sebagai berikut contoh seputar politik pencitraan Pak Sukarno:

Pada tahun 1920-an Sukarno sudah memilih peci hitam sebagai bagian dari pencitraan kerakyatan, ia menyatukan diri dalam gerakan besar Melayu, bukan gerakan besar Jawa karena ia melihat bahwa Jawa adalah subkultur dari akar Melayu. Makanya ia memilih peci. Pemilihan peci ini dilakukan di Bandung ketika ia melihat tukang sate yang telanjang kaki, telanjang dada hanya pakai kolor tapi mengenakan peci. Ia melihat banyak rakyat Djakarta (dulu Batavia) mengenakan peci, peci ini asalnya dari tarbuz yang banyak dikenakan orang Turki, saat itu sedang ramai gerakan muda Kemal Pasya yang mengenakan tarbuz sebagai lambang nasional rakyat Turki.

Tahun 1945 Sukarno memilih baju model safari dengan kantong-kantong ala perwira, ia reka-reka sendiri model baju ini, kelak rakyat mengenalnya model ‘Baju Sukarno’ penggunaan baju ini ia ukur dengan perkembangan suasana batin jaman yang sedang mengalami gejolak revolusi, dalam masyarakat yang kacau, rakyat banyak butuh pegangan, dan satu-satunya pegangan yang bisa dijadikan tuntunan adalah “Ingatan Kolektif” dengan dasar ingatan kolektif inilah Sukarno memerintahkan Sudiro untuk mencari wartawan foto yang tiap hari harus memoto gaya Sukarno, foto-foto ini kemudian dijadikan alat hegemoni untuk terus membangun ingatan kolektif rakyat “ingat Sukarno, ingat revolusi kemerdekaan”. (http://anton-djakarta.blogspot.com)

Bro en Sis ‘penggemar’ gaulislam, mungkin kamu sekarang juga sedang berusaha mencetak ‘ingatan kolektif’ bagi kawan-kawanmu, menegaskan bahwa dirimu adalah begini dan begitu sesuai dengan keinginanmu. Sama seperti para pemimpin dunia (termasuk pemimpin di negeri ini) atau pejabat lainnya, atau bisa juga para seleb yang juga melakukan pencitraan terhadap dirinya agar dikesankan oleh banyak orang sesuai dengan harapan dan tujuannya. Waduh, pantesan pencitraan kian gencar menjelang pilkada atau pemilu ya? Meski Pemilihan Presiden masih dua tahun lagi, tapi kampanye pencitraan sudah dimulai sejak sekarang atau bahkan hari-hari sebelumnya dengan tujuan untuk membentuk “ingatan kolektif”. Hmm… sebuah proyek besar tanpa makna jika pencitraan berubah jadi penipuan.

 

Citra diri remaja muslim

Remaja muslim adalah remaja taat syariah, remaja pejuang dakwah, dan remaja yang siap menjadi pemimpin umat di masa depan. Citra diri seperti ini yang harus diperhatikan dan diupayakan. Bukan citra diri sebagai remaja hedonis, bukan citra diri sebagai remaja sekular, apalagi identik dengan remaja doyan maksiat. Naudzubillah, amit-amit tujuh turunan tujuh tanjakan (capek dong jalannya ya? Hahaha… **apa hubungannya?)

Namun jika melihat kenyataannya, kita wajib prihatin. Banyak remaja muslim yang minder dengan keislamannya. Mereka berusaha membentuk identitas lain di luar dirinya, bahkan di luar ajaran Islam sebagai Din-nya. So,  rasa-rasanya benar banget apa yang disampaikan Ibnu Khaldun tentang perilaku bangsa-bangsa yang kalah, “”Yang kalah cenderung mengekor yang menang dari segi pakaian, kendaraan, bentuk senjata yang dipakai, malah meniru dalam setiap cara hidup mereka, termasuk dalam masalah ini adalah mengikuti adat istiadat mereka, bidang seni; seperti seni lukis dan seni pahat (patung berhala), baik di dinding-dinding, pabrik-pabrik atau di rumah-rumah.”

Sobat muda muslim, kembali kita tengok judul buletin gaulislam di pekan ke-237 ini, “Buka Topengmu, Sobat!” Ya, dengan judul ini memang ingin mengajak (dan sekaligus menyentil) kamu untuk interospeksi, dan syukur-syukur bisa nyadar. Nggak usahlah dirimu disulap untuk menjadi orang lain. Dirimu tetaplah dirimu, apa adanya saja. Tak perlu bersandiwara di depan banyak orang dengan tujuan untuk mendapatkan simpati atau imej tertentu bahwa kamu begini dan begitu, sementara pada kenyataannya kamu tidaklah seperti yang kamu citrakan. Bahaya, sobat! Bisa blunder buat kamu sendiri. Sumpah!

So, tak perlu menggunakan topeng agar terlihat manis kalo niatnya buat mengelabui orang. Sebab, Kamu yang sejatinya jutek, judes bahkan sadis bisa ditutupi dengan topeng manis, ramah, dan bahkan baik hati. Mungkin saja sementara waktu orang bisa ‘tertipu’ dengan penampilan dirimu, tetapi suatu saat pasti kebongkar juga kan belangnya dirimu? Mungkin saja kamu bisa menipu banyak orang dengan penampilan dirimu di balik topeng, tetapi ingat tidak semua orang bisa ditipu. Siapa tahu malah ada yang berani membongkar keburukanmu yang kamu sembunyikan di balik topeng indahmu itu. Percayalah!

Maka yang hebat adalah menyulap dirimu jadi muslim sejati, baik penampilan maupun pikiran dan perasaanmu. Jadikan Islam sebagai jalan hidupmu. Maka, segala sifat jelekmu akan dikikis dengan Islam. Itulah sebaik-baik penampilan dengan niat untuk menunjukkan identitas islammu dengan cara yang benar dan baik untuk menggapai ridho Allah Swt. Amiin.  [solihin | Twitter: @osolihin | Blog: www.osolihin.net]

2 thoughts on “Buka Topengmu, Sobat!

  1. Jadi kalau misalnya kita ingin mengubah sifat kita yang buruk menjadi sifat yang baik dengan tujuan memperbaiki pola sikap, itu juga termasuk “topeng?”

    Saya rasa tidak demikian, perubahan sifat yang dibahas pada artikel diatas adalah perubahan sikap yang hanya ikut2an saja (cukup banyak dilakukan remaja di Indonesia), tanpa memikirkan apa sebenernya yang mereka ikuti.

    Sementara perubahan sifat dari yang semula buruk menjadi baik, tentu saja bukan termasuk “topeng” yang dimaksud pada artikel ini, karena kita yakin tidak ada manusia yang ingin dirinya buruk.

    Redaksi Gaulislam

Comments are closed.