Wednesday, 9 October 2024, 00:34

gaulislam edisi 293/tahun ke-6 (24 Rajab 1434 H/ 3 Juni 2013)

 

Histeria massa Indonesia setelah berbulan-bulan lamanya, akhirnya berakhir juga. Apakah itu? Yupz, tak lain dan tak bukan adalah fenomena gadis mungil bersuara unik di ajang pencarian bakat X Factor Indonesia, Fatin Shidqia Lubis. Selain suara uniknya, fenomena Fatin yang lumayan membikin heboh Indonesia adalah penampilannya dengan kerudung sebagai ciri khas kemuslimahan dirinya. Banyak yang mengelu-elukan dan mendukung sebagai ikon muslimah modern; tampil di glamournya panggung musik tapi tetap menutup aurat.

Heboh makin terasa ketika dua besar diduduki oleh Fatin yang muslimah dan Novita Dewi yang non muslim. Banyak yang menganggap ini adalah selayaknya pertarungan ideologi, menang kalahnya satu keyakinan tertentu. Sehingga ketika akhirnya Fatin yang keluar sebagai juara 1 banyak yang lega karena menganggap bahwa Islam akhirnya bisa menang mengalahkan non muslim. Benarkah ini antara menang kalah muslim dan non muslim? Kira-kira adakah sudut pandang lain yang melatar-belakangi fenomena ini? Yuk kita bahas tuntas dalam edisi kali ini.

Di balik ajang cari bakat

Seorang muslim itu seyogyanya mampu berpikir kritis tentang segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Begitu juga dengan adanya banyak ajang pencarian bakat yang ujung-ujungnya berkutat dalam glamournya dunia selebritis. Dunia yang umumnya serba bebas dan tak lagi mengindahkan aturan agama. Sehingga munculnya sosok Fatin dengan kerudungnya menjadi sebuah euforia yang membuat publik Indonesia bahkan dunia terhenyak. Kok bisa?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, dengar saja komentar Anggun yang mengabarkan bahwa ada wartawan Perancis yang heran bahwa dalam ajang sekelas X Factor ada peserta yang memakai kerudung tapi modis. Belum pernah seumur-umur di Barat ada muslimah berkerudung yang ‘nekat’ ikut ajang serupa. Secara umum, pernyataan ini membuat Fatin dan para pendukungnya melambung. Tuh kan, wartawan Perancis saja sampai memuji.

Eits, jangan senang dulu. Ingat sobat, kita harus kritis. Coba kita cermati bahwa tidak adanya muslimah berkerudung di ajang X Factor negara lain, bisa mempunyai beberapa kemungkinan. Pertama, bisa jadi tidak ada muslimah berkerudung yang bersuara bagus di sana. Kedua, ada yang bersuara bagus tapi mereka mempunyai pemahaman Islam yang lebih menyeluruh, insya Allah. Okay, kita bahas satu demi satu ya.

Kemungkinan pertama tentang tidak adanya muslimah berkerudung yang bersuara bagus di negara selain Indonesia. Saya ingat membaca buku Berjalan di Atas Cahaya karya Hanum Salsabila Rais (bukan promo). Di salah satu babnya dikisahkan oleh Hanum bahwa di salah satu kota kecil di Austria, ada seorang muslimah rapper yang suaranya unik dan bagus. Tampangnya nggak kalah dengan bintang film Barat yang suka malang-melintang di layar kaca. Bedanya, dia ini menutup aurat dengan manis dan lagu rap-nya berisi tentang ajakan kepada generasi muda untuk lebih mencintai Islam. Hmm…kira-kira Fatin ke depan, tema lagunya ada nggak ya ajakan untuk mencintai Islam dan memperjuangkannya?

Opsi kedua tentang adanya kemungkinan muslimah bersuara bagus tapi memunyai pemahaman Islam yang lebih menyeluruh. Ingat, muslim di negara Barat bukan mayoritas. Boro-boro mereka mau ikut kontes menyanyi, memperjuangkan haknya untuk berpakaian muslimah saja setengah mati. Kalo kamu rajin baca berita, muslimah di Barat sana mengalami banyak intimidasi hanya karena mereka ingin mempertahankan jati dirinya dengan berpakaian muslimah. Jadi, nggak kepikiran sama sekali untuk kontes-kontes yang intinya cuma ‘having fun’. Level mereka sudah pada hidup dan mati. Lebih jauh lagi, mereka sudah paham bahwa inti dari menjadi muslimah itu bukan untuk terlena pada gemerlap duniawi macam panggung X Factor, tapi lebih ke hati-hati membawa diri sebagai duta Islam itu sendiri.

Mereka ini sangat sadar bahwa dengan mengikuti X Factor atau ajang sejenis, itu artinya mereka akan terjun bebas ke dunia yang campur baur antara lak-laki dan perempuan nyaris tanpa batas. Berpelukan dan cipika-cipiki (cium pipi kanan-kiri) itu adalah hal biasa. Kalau tak percaya, coba amati apa yang dilakukan oleh Ahmad Dani atau peserta cowok lainnya terhadap Fatin. Sekuat tenaga Fatin berusaha menjaga jarak, tetap jarak itu terlalu sempit sehingga mau tak mau pola hidup yang seperti itu menjadi bagian diri.

Sobat gaulislam, inilah fakta di depan kita. Banyak orang menghujat dan menolak fakta bahwa ada konspirasi besar untuk menjauhkan generasi muda Islam dari pemahaman Islam itu sendiri. Baiklah, kita tidak memakai sudut pandang itu di sini. Tapi ingat, kekritisan dan beningnya nurani jangan sampai membutakan diri bahwa ada ‘something happened’ pada kontes-kontes sejenis. Kekaguman kita pada sosok Fatin yang imut, lugu, pemalu dan bersuara unik jangan sampai menumpulkan kepekaan bahwa sesungguhnya ini adalah awal dari ‘sesuatu’.

Awal dari berbondong-bondongnya muslimah berkerudung ikut kontes sejenis. Awal dari ajakan secara halus untuk terjun bebas pada dunia hedon (serba boleh) itu. Awal untuk mengalihkan fungsi busana muslimah sebagai jati diri dan bukti ketaatan pada Ilahi menjadi trend berbusana sesaat. Akan muncul jenis kerudung yang modelnya bahkan sangat jauh dari fungsi awal diturunkannya ayat tersebut (QS an-Nuur ayat 31). Tentang jilbab? Amat sangat jauh sekali (silakan baca QS al-Ahzab ayat 59).

Benar apa kata Rasulullah saw.: Dari Abu Sa’id al-Khudri ra. berkata, Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Kamu akan mengikuti jejak langkah umat-umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga jikalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu akan mengikuti mereka.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah! Apakah Yahudi dan Nashrani yang kau maksudkan?” Nabi saw. menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka”. (HR Bukhari-Muslim)

Idola, fitrah manusia

Mengidolakan sesuatu atau seseorang itu adalah fitrah manusia. Selalu ada sisi dalam diri kita untuk memuja atau mengagumi sesuatu atau seseorang di luar diri. Poin inilah yang dibidik oleh Simon Cowell (yang membesut X Factor) dan orang-orang yang setipe dengannya untuk mengorbitkan idola-idola baru dan mereguk keuntungan materi darinya. Muncullah berhala-berhala baru dalam dunia entertainment yang dielu-elukan hingga histeris dan pingsan. Semua perilaku, gaya berpakaian dan pola hidupnya ditiru. Remaja yang cenderung rentan, menjadi objek sasaran  utama.

Muslimah menjadi satu di antara jutaan remaja yang menjadi incaran tersebut. Fatin hanyalah salah satu dari jutaan muslimah yang memimpikan ketenaran tersebut. Dunia entertainmen ada untuk menciptakan idola-idola baru bagi remaja. Hingar-bingar gemerlap lampu panggung dan teriakan histeris para fans, menjadi candu. Berbondong-bondong remaja ingin seperti Fatin, muslimah dengan kerudungnya. Bagi yang tak bisa seperti dirinya, cukup dengan mengirim sms dukungan demi Fatin supaya menang. Mereka menganggap bahwa ‘pertarungan’ Fatin dan Novita adalah pertarungan ideologi, Islam dan Kristen. Benarkah?

Sekarang Fatin menang, so what? Tak ada yang berubah dalam kehidupan umat Islam. Yang ada adalah Fatin menjadi terkenal dan terikat kontrak milyaran rupiah. Penyelenggara pun bernafas lega dan puas karena pundi-pundi mereka gendut dari aliran sms yang jumlahnya sangat jauh lebih fantastis daripada hadiah uang, mobil dan kontrak rekaman yang diterima oleh para pemenang. Remaja Indonesia pun mempunyai idola baru, Fatin pun berhasil mengejar impiannya menjadi penyanyi dan terkenal.

Muslimah berkerudung yang dulu identik dengan ketaatan seorang hamba pada Rabbnya sekarang menjadi penghuni baru panggung hiburan. Baju berbalut busana takwa tapi pergaulan siapa bisa menduga? Di balik hingar bingar usainya ajang X Factor, sungguh terbersit khawatir dan sayang pada sosok Fatin yang lugu. Akan setegar apa dia bertahan di dunia hiburan yang serba bebas itu? Saat ini saja dia terjamah dengan mudah untuk dipeluk dan dicium oleh lawan jenis.

Ketenaran telah dia raih. Besar harapan dia akan kembali ke sekolah dan menjadi anak SMA yang lugu dan cerdas untuk kembali menyadari hakikat dirinya sebagai muslimah. Bila itu terjadi, hal tersebut akan menjadi gebrakan besar dalam dunia entertainment bahwa seorang muslimah telah ‘kembali’. Ingatlah, bahwa apapun langkah yang diambil Fatin menjadi contoh bagi jutaan remaja muslimah di penjuru negeri. Takutlah kita pada apa saja yang akan menjadi penghantar bagi beratnya langkah menuju surga ataukah ringannya langkah menuju tempat sebaliknya.

Finally…

Kita tak bisa berharap banyak bahwa Fatin akan ‘kembali’ untuk menjadi muslimah yang menjaga kehormatan dirinya agar tak mudah terjamah lawan jenis. Dunia yang telah diniati untuk diterjuninya telah mengharuskan semua penghuninya untuk menanggalkan rasa malu itu. Hanya seruan saja pada para remaja muslimah yang lain untuk berhati-hati dalam memilih idola.

Sobat gaulislam, Islam itu bukan dilihat dari pemeluknya. Fatin tidak selalu mencerminkan Islam itu sendiri. Akan jauh lebih bijak bila kita belajar Islam dari sumbernya sendiri. Bagaimana al-Quran dan as-Sunah telah memberi batasan tentang pergaulan dan makna prestasi bagi seorang muslim. Dunia ini memang melenakan kawan. Tak banyak yang bisa selamat dari pusaran dunia yang terlihat indah nan gemerlap ini. Tapi semoga saja, di antara yang tidak banyak itu kita menjadi salah satu di antaranya.

Prestasi sejati bukanlah di panggung hiburan. Selain itu, ada banyak lahan yang bisa kamu pilih. Tentu saja, pastikan pilihan prestasi itu menjadikan diri mulia, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Remaja muslim sejati adalah mereka yang kuat akidahnya dan taat syariat. [ria | riafariana@yahoo.com]

logo-gi-3.jpg?w=150&h=36&h=36 logo-gi-3.jpg?w=150&h=36&h=36

5 thoughts on “Fatin, Fenomena X Factor

  1. Subhanallah inilah artikel dan pandangan paling bijaksana yang saya baca dari penulis Indonesia tentang fenomena Fatin dan X faktor. Tidak ke kanan, tidak ke kiri. Tapi berdiri di tengah dengan tetap memegang teguh prinsip Islam, bahwa sebenarnya sudah sejak awal harus diketahui bahwa dunia entertainment itu harus dijauhi bila ingin berislam secara kaffah.

  2. ya memang seh katanya soal musik itu sendiri ada beda sikap, ada yg bersikap itu haram ato paling tidak dijauhi, tapi ada yg bersikap itu jelas tidak masalah bermusik dalam Islam. Cat Stephen yg kemudian kita kenal sebagai Yusuf Islam berhenti bermusik karena menganggap musik itu haram, ato bisa mendekati maksiat. Tapi kita juga harus sadar sejarah bahwa Islam bisa menyebar ke Tanah Nusantara ini berkat dahwah para Ulama yg kita kita kenal sebagai Para Wali mulai abad ke 13 – 14 secara luar biasa. Setelah selama 4 abad lebih siar Islam tidak tembus kedalam masyarakat yg 100% belum Islam. Fakta sejarah menunjukan bahwa dahwah para Wali itu secara genius dilaksanakan melalui jalur budaya. Kita kenal Sunan Bonang yg memanfaatkan insttrumen gamelan Jawa, Sunan Kali Jaga sang seniman agung yg menciptakan Wayang Kulit dan memasukan nilai2 Islam kedalam cerita Mahabarata dan Ramayana. Status Dewa dalam keyakinan Hindu di degradasi, dengan faham di atas Dewa masih ada Yang Maha Tunggal, Yang Maha Berwenang. Senjata yg paling ampuh itu adalah senjata Kalimasada yg jawanisasi dari Kalimah Shahadad. Dengan itu maka Islam bisa menyebar ke seluruh tanah Jawa secara massive tanpa pertumpahan darah. Kalo tidak karena beliau2 itu maka mungkin kita2 ini masih Hindu ato Budha.

    1) Yang menjadikan kita islam apa tidak adalah Alloh, bukan para wali, mereka hanya diketahui berdakwah dan tidak mereka saja yang berdakwah, cukup banyak didaerah lain diluar jawa yang melakukan dakwah islam juga. Kebetulan saja buku sejarah yg dibaca, adalah buku sejarah jawa, sehingga muncul nama2 wali songo, walaupun wAllahu alam keberadaan mereka bisa dipercaya atau tidak, karena memang tidak ada sistim pen-sanad-an didalam cerita jawa, yg ditemui adalah bumbu dan variasi2 dari cerita yang sama. Dan karena bumbu/variasi ini, banyak digunakan Dalang untuk membentuk ciri khas mereka, dr bumbu/variasi/style masing2.

    2)Jelas kondisi budaya masyarakat dulu dengan masyarakat sekarang beda banget, kurikulum sekolah saja berkembang dari tahun ke tahun, padahal level sekolahnya tetep aja sd-sma-universitas. Dari kondisi ini jelas masyarakat kita semakin pandai, skill, kemampuan dan kapasitasnya-pun berbeda, sehingga pendekatan dakwah mestinya juga menyesuaikan, namun tetap tidak melanggar aturan syariat yang telah ditentukan.

Comments are closed.