Friday, 29 March 2024, 13:58

 gaulislam edisi 258/tahun ke-5 (15 Dzulqaidah 1433 H/ 1 Oktober 2012)

 

Bro en Sis rahimakumullah, sebenarnya kasus tawuran antar pelajar bukan hal baru. Udah terlalu sering terjadi—bahkan sejak puluhan tahun lalu. Sangat mungkin di berbagai kota ada pelajar yang mengamalkan tradisi kekerasan ini. Namun, kenapa sekarang rame dibahas hingga menjadi perbincangan di media nasional? Hmm.. itu karena terjadi di ibukota, Bro. Kasus terbaru adalah kejadian pekan kemarin dimana melibatkan dua sekolah di Jakarta, yakni SMA 6 dan SMA 70 yang memakan korban tewas 2 orang siswa. Hadeeuuhh.. sia-sia tuh!

Kalo melihat dari sudut pandang pelajar, tawuran bisa jadi adalah sebagai sarana mengekspresikan diri. Seolah mereka mau bilang: gue jagoan! *tapi apa iya disebut jagoan kalo bisanya main keroyokan? Lagian kalo dilihat di tivi pas nayangin aksi tawuran rata-rata mereka sebenarnya nggak punya ilmu bela diri. Cuma menggertak doang, itu pun kalo musuhnya takut. Lha kalo musuhnya berani? Bisa-bisa babak belur dirinya. Hehehe.. contohnya pelajar yang muterin gear yang dipasang ke ikat pinggang. Kok dari kejauhan udah begitu rupa, urusan bisa selesai ketika dia dilempar batu ama musuhnya atau dilembar tombak (kalo niat banget bawa senjata begituan).

Nah, jika pun jarak dekat udah muter-muterin gear tersebut, ternyata musuhnya juga melakukan hal yang sama. Ini jelas nggak punya strategi berkelahi. Sama-sama bloon. Padahal salah satuya kan bisa pake tongkat panjang, begitu pelajar yang muter-muterin gear mendekat tinggal dihadang tongkat aja entar juga gear-nya kelilit di tongkat. Udah gitu pentungin dah. *Uppss.. kok gue jadi ngajarin strateginya sih? Hehehe… sori bukan ngajarin tapi sekadar nyindir aja bahwa mereka yang tawuran sebenarnya penakut, pengecut dan nggak punya keahlian bertarung. Jleb!

Bro en Sis pembaca setia gaulislam, dalam tulisan di buletin ini saya ingin mengajak kamu semua berpikir bahwa tawuran tuh nggak ada gunanya kecuali untuk tujuan-tujuan semu. Kalo sekadar eksistensi diri, ngapain capek-capek tawuran. Kamu bisa buktiin bahwa kamu pelajar berprestasi di bidang akademik, atau prestasi yang bermanfaat lainnya bagi kamu dan orang-orang di sekitarmu. Lha kalo tawuran? Jangankan orang di sekitar tempat tawuran yang terganggu, kamu dan teman yang kamu ajak tawuran pun berpotensi terluka dan babak belur. Iya nggak sih? Jadi apa yang kalian cari? Catet ya, jangan sampe kejadian ini terus berulang dan bikin repot semua orang.

Lingkaran kekerasan

Kita secara tidak sadar–kadang malah penuh dengan kesadaran, udah terbiasa menyaksikan kekerasan. Misalnya aja demonstrasi yang nggak tertib lalu berakhir ricuh. Ketika ditayangkan di televisi ya banyak orang jadi tahu. Sangat mungkin terbersit keinginan untuk menjajal kekerasan meski di arena berbeda. Selain itu, seringkali televisi menayangkan secara bernafsu untuk penindakan terhadap pelaku yang disebut-sebut sebagai terorisme. Celakanya, ketika ditayangkan secara live baku tembak antara Densus 88 dengan terduga teroris melahirkan selain rasa ingin tahu juga menumbuhkan dendam dari mereka yang tertindas. Kekerasan yang emang sengaja terus dipelihara dan bahkan diciptakan plus tentunya tanpa disadari malah diajarkan.

Sobat gaulislam, tradisi bullying di acara ospek atau MOS juga sebenarnya bagian dari level kekerasan. Wajar kalo anak baru itu bakalan dendam sama kakak kelasnya. Eh, tapi biasanya nggak pada berani kalo di sekolah, maka mereka melampiaskannya ke adik kelasnya lagi. Idih malu dong, masa’ yang menindas kakak kelasnya kok kalian malah melampiaskan ke adik kelas yang nggak tahu apa-apa atas dosa kakak kelas kepada kalian. Ah, aneh yang punya bapak ajaib alias aneh bin ajaib. Kalo itu terus dipelihara berarti kamu nggak mau memutus rantai kekerasan yang terjadi selama ini. Bahaya, Bro en Sis!

BTW, kalo kita lihat saat ini sebenarnya yang tawuran bukan cuma pelajar SMP dan SMA lho, yang mahasiswa juga sering, bahkan tawuran antar warga di daerah tertentu juga udah jadi pemandangan biasa–udah jadi tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bikin kelompok atau gang juga sebenarnya bisa berpotensi lahirnya kekerasan. Sebab, nggak sedikit dari mereka yang fanatik terhadap gang yang mereka ikuti. Maka, ketika ada gang lain yang bersaing atau menjadi kompetitornya sudah pasti di antara anggota gang (tentu juga pemimpinnya) bakalan gerah, gatel, dan panas pengen nimpukin gang lain. Maka, pemicu sekecil apapun bisa melahirkan kekerasan. Ini juga bahaya dan bagian dari lingkaran kekerasan yang tak pernah ada ujungnya.

 

Bukan lagi nakal, tapi kriminal

Bro en Sis rahimakumullah, tawuran hanya satu level dari lingkaran kekerasan yang selama ini hadir dalam kehidupan kita. Itu artinya, jika ngikutin fakta, kita harusnya nggak kaget lagi. Sebab, udah ‘diajarin’ dalam sebagian tayangan televisi, video game, film, dan media sejenisnya. Namun demikian, kita perlu nyadar Bro en Sis. Sayang banget kalo hidup kita cuma dipake buat nikmatin udara (yang seringnya nggak bersyukur tuh!), tidur, main, makan, buang air besar, buang air kecil, berantem. Dominannya itu. Sementara untuk belajar di sekolah dan mengkaji Islam daftar itu kamu urutkan di nomor enam belas kali ye. Hadeuuh.. gimana akan lahir generasi pembela dan pejuang Islam kalo gini caranya? Miris kalo akhirnya yang lahir adalah generasi pecinta kekerasan dan brutal. Naudzubillah min dzalik!

Hmm… ngomongin soal tawuran saya jadi teringat buku lawas yang pernah saya tulis (tahun 2002), yakni Jangan Jadi Bebek. Bener lho, tawuran pelajar yang terjadi hingga saat ini, ibarat sebuah film action berseri. Kejadiannya berulang-ulang. Selesai satu episode, berlanjut episode berikutnya. Kesal dan jengkel memang. Tapi itulah barang kali ‘benih-benih generasi preman’

Melihat korbannya, orang yang masih sehat akalnya pasti setuju kalau tawuran bukanlah deliquency (kenakalan), tapi tindak kriminal. Bagaimana tidak? Celurit, badik, gear, obeng, batu bahkan samurai telah jadi senjata pamungkas dalam menyelesaikan persoalan. Menggantikan kepalan tangan dalam berkelahi atau tendangan khas berantemnya pelajar jaman baheula. Ah, ganas banget!

Kemudian yang bisa menggiring kita kepada kesimpulan bahwa tawuran bukan lagi kenakalan, adalah unsur perencanaan dalam setiap kejadian. Para aktivis tawuran tidak lagi mengadakannya secara spontan, melainkan melalui perencanaan yang matang. Mencegat bus-bus lalu menganiaya korban beramai-ramai, atau menyerang sekolah lawan dengan serangan cepat.

Yang lebih memprihatinkan, banyak pelajar yang sengaja ngedrugs sebelum beraksi, dengan maksud menambah keberanian dan kekuatan saat tawuran. Akibatnya, arena tawuran menjadi kian ganas tak terkendali. Karena siapa yang masih punya pikiran sehat kalau akal sudah dicengkeram pengaruh obat.

Sobat muda muslim, seperti yang sering kamu baca, lihat atau dengar aksi tawuran tidak pandang bulu. Terlibat atau tidak, asalkan dari sekolah yang sama maka harus dilibas. Maka acapkali tawuran menelan korban pelajar-pelajar yang ‘tak berdosa’. Sehingga berlakulah prinsip jaman wild wild west dulu, kill or be killed, membunuh atau dibunuh. Wasyah!

 

Solusi komplit

Bro en Sis, mengakhiri tulisan di buletin ini, saya kutipkan bagian akhir dari artikel seputar tawuran di buku saya Jangan Jadi Bebek (2002), semoga ada manfaatnya:

Yup, jelas tawuran itu harus diakhiri, diberi solusi. Jangan dibiarkan saja. Untuk menghentikan aksi tawuran jelas butuh penanganan yang lebih komplit. Tidak bisa sekadar menghentikan film-film action di tivi atau bioskop, suer butuh lebih dari itu. Sebut saja, remaja memerlukan institusi pendidikan yang memadai. Lengkap fasilitas juga kurikulum yang lebih ‘manusiawi’. Tidak menganggap pelajar sebagai komputer yang tinggal diisi program lalu bisa beroperasi sendiri. No, pelajar adalah manusia, perlu sentuhan agama dan kasih sayang.

Selain itu Bro en Sis, sekadar menindak pelaku tawuran juga tidak akan berhenti tanpa adanya tindakan tegas dari negara. Sudah terlihat jelas bahwa tawuran itu adalah tindak kejahatan, bukan lagi kenakalan. Apakah merusak sarana umum, melukai orang apalagi membunuhnya adalah suatu kenakalan? Rasa-rasanya semua orang sepakat kalau itu adalah suatu kejahatan. Lagipula secara fisik remaja sudah termasuk ke dalam kategori akil baligh, yang dalam pengertian syari’at sudah terkena ganjaran pahala dan dosa. Jadi, perlakukan saja para pelaku tawuran itu seperti para penjahat kambuhan lainnya.

Nah, kalau ada pelajar yang tega membacok kepala atau menggorok leher pelajar lain hingga tewas dalam tawuran, maka dalam pan­dangan Islam pelajar tersebut layak dikenakan qishas (hukuman setimpal, kalo membunuh ya dibunuh lagi).

Kejamkah ini? Sepintas iya, tapi dengan memberikan sanksi semisal qishas maka akan segera memadamkan api kemarahan dan dendam. Keluarga korban dan teman-temannya merasa lega, sementara orang lain tidak akan berani mengulangi perbuatan serupa. Sebab, hukum Islam itu bersifat jawazir dan jawabir. Jawazir artinya hukum Islam bersifat preventif, mencegah terjadinya peluang-peluang kemaksiatan dan kejahatan. Kemudian hukum Islam juga bersifat jawabir. Artinya, hukum Islam—kalau diterapkan di dunia—bakal menghapus azab Allah di akhirat kelak.

Jadi meski berat vonis hukuman yang dijatuh kan, Insya Allah pelaku tindak kejahatan akan terle­pas dari azab Allah di akhirat kelak, yang jauh lebih dahsyat. Adil kan?

Tapi seperti kata pepatah bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Daripada menangkapi para pelajar dan mengganjar mereka dengan vonis yang berat, seperti qishas, tentunya akan jauh lebih baik bila segera dilakukan perbaikan terhadap dunia pendidikan dan lingkungan sosial. Dengan apa? Apalagi kalau bukan dengan syariat Islam. Jadi, ayo pada ngaji! Jangan berpaling dari aktivitas rohis (kerohanian Islam) di sekolah ya!

Itu sebabnya, baik pihak sekolah, pemerintah dan masyarakat sekitar, juga tentunya keluarga harus mendukung remaja untuk belajar Islam. Jangan dihalangi untuk aktif di rohis. Ok? [solihin | Twitter: @osolihin]