Saturday, 14 December 2024, 01:55

Nama-nama Raihan, Saujana, Hijjaz, atau Brothers makin familier di telinga kita. Lagu-lagu nasyidnya itu lho yang bikin kita kesengsem. Lembut, syahdu, dan kalem. Bisa menghanyutkan kita dalam mengingat Allah atau bermuhasabah (tapi bukan sebagai pengantar tidur lho). Kaset dan CD-nya juga gampang diperoleh di toko-toko kaset. Apalagi di bulan suci ini. Dijamin bejibun. Abis laku keras sih. Malah ada juga kompilasi MP3-nya yang bajakan dan dijual eceran di kaki lima. Itu juga kalo nggak keburu digerebek ama aparat. Hehehe…

Nggak cuma didengerin, nasyid mulai banyak dilantunkan oleh remaja muslim. Buat mereka yang lagi kasmaran kontan hapal Teman Sejati-nya Brothers. Ehm, buat yang lagi berkobar semangat Islamnya langsung melalap semua lagu dalam album Kembali-nya Izzatul Islam. Mereka yang merasa ideologis juga ikutan berhip-hop nyanyiin tembang-tembang Soldiers of Allah. Atau yang lagi belajar bahasa arab berpartisipasi dengan Hadad Alwi dan Sulis dalam Cinta Rasul.?  Bang Toyyiiib….Bang Toyyiiib. Eh maaf, salah muter kaset. Harusnya: Ya Thoyyibaah….ya thoyyibaah…. (Hihihi)

Biasanya anak-anak rohis atau primus alias pria mushola keranjingan bikin group nasyid. Selain untuk menggiatkan syiar Islam, bisa juga sebagai media penyaluran bakat bermusik. Booming grup-grup nasyid baru pun tak terbendung. Apalagi sekarang banyak digelar festival nasyid. Semuanya pada pengen unjuk gigi. Mentang-mentang pake pepsodent (ini iklan ya?). Syukur-syukur bisa masuk dapur rekaman. Kan lumayan. Daripada masuk dapur restoran. Entar disuruh cuci piring lagi. Hehehe….

Dan kini nasyid makin dianggap spesial dan jadi komoditi bisnis. Buktinya sampai dibikin festival dan konser segala. Ditayangin di layar kaca lagi. Kayak Festival Nasyid Indonesia (FNI) dan Nasyid Tausyiah dan Qiraah (NTQ) yang lagi jadi pembicaraan hangat.

FNI yang dilaunching 23 Juni 2004 silam kini memasuki babak final dengan 10 group yang berhasil lolos audisi. Para finalis ini akan menjalani masa karantina dengan sistem pesantren. Di sini mereka bakal dapetin pembekalan dari segi musikal, performance, siraman rohani, dan pengembangan diri. Indosiar menyiarkan kegiatan mereka setiap hari selama Ramadhan dari tanggal 15 Oktober hingga 12 November 2004. Setiap minggunya akan ada dua grup yang akan tereliminasi, hingga tersisa empat grup yang akan bertemu di grand final 12 November mendatang.

Sekadar tahu aja, modal untuk menggelar FNI itu cukup gede lho, ongkos produksinya dari mulai penginapan peserta festival (di Raffles Hill, yang pernah dipake peserta AFI 1-3), hingga ditayangkan di layar kaca, kata Manajer Nondrama Indosiar, Jufipriyanto, sekitar Rp 1 Miliar. (Koran Tempo, 17 Oktober 2004)

Sementara TV7 nggak mau kalah dengan menghadirkan NTQ dari tanggal 7 Oktober hingga 4 November 2004. Festival yang satu ini agak laen. Selain menuntut kemampuan munsyid (penyanyi nasyid) untuk menunjukkan harmonisasi olah vokal (nasyid), salah seorang munsyid dalam grup masing-masing juga dituntut untuk dapat menunjukkan kemampuannya melantunkan ayat suci al-Quran (qiraah) dengan benar serta menginterpretasikannya dengan baik (tausyiah). Biar para finalis nggak cuma bisa nyanyi, tapi juga nyelipin tausyiah atau qira’ah dalam aksi panggungnya. Jangan-jangan ini kaderisasi ABRI alias Anak Buah Rhoma Irama. Hehehe…

Seni Islam di negeri kita
Seni Islam yang berwujud tembang-tembang religius emang bukan barang baru di negeri kita. Jaman bonyok (bokap-nyokap) kita, masyarakat kenal seni Islam terbatas pada musik qasidah atau irama gambus. Dengan iringan alat musik kepret (tabuh/pukul) semacam rebana atau ketimpring (kecrekan), jenis musik ini dianugerahi julukan �band kepret’. Meski begitu, lagu Perdamaian, Indung-indung, atau Jilbab-jilbab Putih masih populer di kalangan guru-guru Agama Islam setingkat SD. Bener lho!

Sayangnya, personel qasidah ini yang biasanya akhwat suka ikut joget bin goyang pinggul ngikutin irama gambus yang mepet-mepet dangdut. Malah seringkali mereka tampil ber-tabarruj (menampakkan kecantikan tubuhnya). Polesan lipstik di bibir dan sapuan make up di wajah yang terkesan menor. Jelas perpaduan ini jadi keliatan norak dengan balutan busana muslimah yang menjaga kehormatannya. Terus alunan musiknya juga terdengar monoton binti kaku. Otomatis lambat laun qasidah atau irama gambus ini kian terkubur di telan perkembangan musik pop. Wassalam deh!

Tahun 70-an, musik religius mulai mendapatkan tempat lagi di hati para penggemar musik. Adalah Bimbo Cs yang mengenalkan musik pop berlirik religius. Kelompok asal Bandung itu telah menggarap lagu seperti Tuhan, Rindu Rasul, sampai Anak Bertanya pada Bapaknya yang terbukti menjadi lagu sepanjang masa.

Suasana musik religius makin kondusif dengan hadirnya nasyid. Terutama setelah muncul kelompok vokal Raihan dari Malaysia yang turut mempopulerkan nasyid yang ngepop dan easy listening sekitar tahun 1996. Tak lama kemudian, grup nasyid asal Malaysia pun membanjiri Indonesia. Sebut saja Rabbani, Hijjaz, Brothers, In-Team, atau The Zikr dan masih banyak lagi.

Grup nasyid domestik yang mengemas lirik religius dengan pendekatan pop juga kian berkibar. Ada Senandung Nasyid dan Dakwah alias Snada, Suara Persaudaraan, Izzatul Islam, ar-Ruhul Jadid, atau Shoutul Harakah.?  Oya, Ruhul Jadid dan Izzatul Islam terkenal sebagai grup nasyid yang mengobarkan semangat juang. Aseli semangat banget tuh!

Sejak saat itu, popularitas nasyid kian booming. Bagi remaja muslim, nasyid udah jadi bagian dari keseharian mereka. Gimana nggak, dengan variasi jenis musik, nasyid kini mampu mewakili budaya remaja yang beragam. Semua aliran musik mampu diselami grup-grup nasyid baru. Dari yang nge-pop, mars yang menggugah semangat, melankolis, sampe yang rap bin hip-hop. Tinggal milih sesuai selera.?  Makanya nggak usah kaget kalo kita nemuin temen kita tengah komat-kamit kayak dukun baca mantra. Kali aja doi lagi nge-rap Staring Into Kafirs Eyes-nya Soldiers of Allah (SOA). Huhuy!

Jangan terlena alunan nada
Sobat muda muslim, bukan aib kalo kita jatuh cintrong ama nasyid-nasyid yang kian trend. Saking kesengsemnya, winamp di komputer penulis nggak mau berhenti muterin lagu-lagu dari Hawari, BMP, Bijak, Nada Murni, Saujana, atau The Fikr sambil bikin tulisan ini. Tapi kita juga nggak pengen nasyid bikin kita terlena. Idih, emangnya Ikke Nurjannah? Wacks!

Sobat muda muslim, tentu kita semua udah tahu kalo hukum bernyanyi itu mubah. Karena pada masa Rasul banyak shahabat yang hobi nyanyi atau sekadar bersenandung sepengetahuan beliau. Dan beliau mendiamkannya (taqrir). Seperti yang dikerjakan Salman al-Farisi saat menggali parit ketika akan menghadapi perang Khandaq. Bahkan Rasul sendiri mengangkat seorang shahabat ahli syair bernama Hasan bin Tsabit. Doi bertugas mengobarkan semangat kaum Muslimin di medan pertempuran dengan syair-syairnya yang heroik plus energik.

Dan sudah sepatutnya kemubahan itu tetap pada tempatnya alias nggak ngotak-ngatik aktivitas lain yang hukumnya wajib atau sunnah. Ada kekhawatiran pada ajang festival nasyid seperti yang digeber FNI atau NTQ. Kenapa?

Mengingat banyaknya porsi waktu, pikiran, tenaga, dan harta yang dialokasikan dalam pagelaran festival yang makan waktu cukup lama ini bisa bikin lalai dari kewajiban untuk berdakwah, mengkaji Islam secara intensif, atau mengoreksi kebijakan penguasa yang mendzhalimi rakyat. Panitia sibuk nyiapin perlengkapan, akomodasi, sampe monitoring perkembangan peserta saban hari. Pesertanya juga nggak kalah sibuk latihan biar penampilan mereka di atas panggung tidak mengecewakan.

Lagian kalo kita bercermin pada perilaku keseharian Rasulullah dan para sahabat, waktu mereka lebih banyak dialokasikan untuk beribadah, menyebarkan pemahaman Islam, berjihad, dan sesekali bercengkrama dengan keluarga. Ini berarti sedikit sekali waktu yang diberikan untuk mencari hiburan, termasuk bernyanyi-nyanyi. Catet tuh!

Selain itu, kehadiran FNI atau NTQ berbarengan dengan tren ajang pencarian bakat sekuler kayak AFI, Indonesian Idol, atau KDI. Seolah festival itu digelar sebagai ajang tandingan. Moga-moga nggak ya. Afwan, bukannya kita mau ngerecokin. Cuma was-was aja dengan format acara itu yang dikemas seperti AFI dkk yang kental dengan alam kapitalis bin komersil. Jangan sampe deh nasyider jadi kayak seleb pada umumnya: haus popularitas, pujian, jadi sumber penghasilan, serta bergaya glamour. Bahkan nggak mau manggung kalo bayarannya rendah. Walah!

Yang lebih parah, kalo niat ikhlas untuk berdakwah via jalur nasyid lambat laun bermetamorfosis menjadi riya’. Masa’ sih? Asli. Bayangin aja, pas di atas panggung. Benih-benih takabbur dan riya’ mulai mencari mangsa. Tepukan tangan yang gemuruh, pujian serta histeria pendengar bisa menenggelamkan akal sehat dan melambungkan perasaan kita. Rasullah saw. bersabda: “Siapa yang memperdengarkan amalnya kepada lain orang, maka Allah memalukannya di hari kiamat, dan barang siapa yang memperlihatkan amalnya kepada orang, Allah membalas riya’nya itu.� (HR Bukhari, Muslim)

Kalo sudah begini, apa mungkin jebolan FNI atau NTQ itu bisa seperti Hasan bin Tsabit? Mungkinkah akan muncul generasi Salman al-Farisi? Atau jangan-jangan malah berkeliaran versi islamnya Very atau Sutha AFI??  Walah, seleb islami kali yee (hehehe).

Budaya bukan yang utama
Sobat, kita bersyukur banget dengan antusias semua lapisan masyarakat terhadap seni Islam. Setidaknya mulai tumbuh kecintaan terhadap Islam. Sekaligus mampu meng-kick balik seni-seni jahiliah bin sekuler yang meraja lela. Tapi tentu kita nggak merasa cukup dengan kegembiraan ini. Tanpa bermaksud mengecilkan peran nasyid atau munsyid yang berdakwah di jalur seni suara, kita kudu nyadar kalo Islam isinya bukan cuma budaya. Bener. Budaya cuma bagian kecil aja.

Belum pas rasanya kalo kita jadikan tren nasyid sebagai parameter kebangkitan Islam. Sebab kebangkitan itu hanya akan diraih dengan adanya perubahan pemikiran dan perilaku umat ke arah yang lebih baik. Dan Rasulullah nggak ngasih contoh kalo perubahan itu bisa diraih dengan bersenandung. Tapi dengan pembinaan akidah, syariat, dan dakwah secara intensif. Pokoknya digeber iman, ilmu dan amalnya untuk perjuangan membela Islam.

Karena itu, boleh aja kita dengerin nasyid dikala jenuh binti bete atau bikin grup nasyid untuk sekadar penyaluran bakat. Anggap aja sebagai penyemangat dan penghibur perjuangan. Tapi inget, di luar sana umat yang tengah dijajah sistem sekuler sangat membutuhkan uluran tangan kita untuk bangkit.

Kalo pengen menghidupkan Islam, Islam itu ideologi, bukan budaya. Sehingga, jika ingin menghidupkan Islam, maka harus difokuskan perjuangannya kepada kampanye penerapan syariat Islam sebagai ideologi negara. Seni, musik, dan sejenisnya adalah bagian kecil saja dalam khasanah ideologi Islam. Kalo ideologi Islam udah diterapkan dalam bingkai negara, maka insya Allah nyanyian pasti akan bercitarasa Islam. Bahkan bukan cuma nyanyian, segala aspek kehidupan pasti akan berlandaskan ideologi Islam. Yakin itu.

Sobat muda muslim, yang dibutuhkan Islam saat ini adalah keseriusan dalam berdakwah menegakkan Khilafah. Jangan sampe nasyid menjadi senjata dari musuh-musuh Islam untuk melenakan kita. Karena kita menganggap bahwa dengan maraknya seni Islam, Islam akan bangkit. Nggak lha yauw! Kita harus berjuang, dan tanpa perlu menjadikan nasyid sebagai senjata utama! (nasyid mah pelengkap aja deh!). Akur dong? [hafidz]

(Buletin Studia – Edisi 218/Tahun ke-5/25 Oktober 2004)