Saturday, 20 April 2024, 03:26

Joko, begitu ia biasa dipanggil. Soal penampilan, doi kayaknya super pede. Gimana nggak, Penampilan Joko bak hasil kloning dari Elvis Presley. Tahu kan Elvis? Itu lho, idola remaja di jaman bapak en ibu kita remaja. Kalo udah bergaya, Joko sibuk mempersiapkan segalanya. Udah nggak malu-malu lagi tampil mirip Elvis Presley. Bahkan bukan cuma penampilan luarnya, gaya hidup penyanyi Rock �n Roll yang berjaya di masa mudanya itu dicontek abis sama Joko. Ibaratnya, Elvis Presley nyaris kembali “hidup�.

Yang berbuat begitu ternyata bukan cuma Joko. Sejak tahun 70-an sampai sekarang, dunia musik; baik grup band maupun penyanyinya seperti nggak bisa lepas dari nama besar generasi sebelumnya. Ambil contoh, God Bless, grup band yang punya vokalis kribo Ahmad Albar ini malah jadi plagiator grup band asal Inggris, Deep Purple. Coba aja dengerin lagu-lagunya yang mirip banget dengan Deep Purple. Kontan aja, bagi remaja tahun 70-an sangat hapal dengan lagu-lagu God Bless yang nyaris sama dengan grup band pimpinan Ritchie Blackmore ini.

Malah Rolland Band, kelompok musik asal kota Gudeg, merasa bangga bisa nyontek gaya Judas Priest. Ikang Fawzi juga nggak ada bedanya dengan penampilan Rod Stewart. Atau GIGI yang katanya ingin tampil seperti Mr. Big. Dan bagi yang ingin bernostalgia dengan lagu-lagu The Beatles, masih ada grup band “kembarannya� Abadi Soesman Band. Nah, ini semua adalah contoh, betapa budaya nyontek udah ada sejak dulu.

Mau beken dan sukses dengan cepat dan mudah? Sebagian orang menyarankan untuk memanfaatkan popularitas generasi sebelum-nya. Baik nama, maupun gaya penam-pilannya. Ya, menconteklah.

Buktinya, belakangan kita juga sering denger nama-nama penyanyi yang secara tidak langsung memanfaatkan nama besar penyanyi beken generasi sebelumnya. Di negeri ini pernah mencatat nama penyanyi Poppy Mercuri. Nama Mercuri di belakangnya mengingatkan sebagian orang kepada Freddy Mercuri, vokalisnya grup band asal Inggris, Queen. Malah negeri ini pernah juga “melahirkan� pelawak dan pemain lenong beken di tahun 80-an yang nama belakangnya mirip nama vokalisnya The Beatles. Ya, siapa lagi kalo bukan Otong Lenon. Malah, yang terbaru muncul “kembarannya� Nike Ardilla. Namanya pun nggak jauh beda, doi adalah Dike Ardilla. Ternyata masih banyak orang yang senang tampil di bawah bayang-bayang kebesaran nama orang lain. Mungkin tujuan “mulianya� berharap orang akan mudah mengenalinya karena ada kemiripan dengan nama besar yang pernah berjaya. Dan itu berarti kesuksesan bagi dirinya. Ya, siapa tahu?

Emang nggak semua begitu, kok. Masih ada juga yang nggak mau ngikutin nama besar generasi sebelumnya. Sebut saja mendiang Gilang Rambu Anarki, doi sama sekali nggak mau memanfaatkan nama besar ayahnya, Iwan Fals. Meski sama-sama menyukai dan terjun ke dunia musik, Gilang ogah disangkut-pautkan dengan ayahnya. Nggak heran bila kemudian ia dan teman-temannya bikin grup musik berirama punk. Namun cita-citanya untuk beken nggak kesampaian, sebab ajal keburu menjemputnya setelah over-dosis narkoba.

Sekali lagi, cara cepat untuk meraih sukses emang dengan memanfaatkan “jasa� orang lain. Namun ingat, dengan begitu, selamanya kita akan dijajah oleh nama besar orang lain. Orang lain malah nggak akan mengenal kita. Tapi justru akan mengenal orang yang kita contek. Ya, bisa karena lagu-lagunya, atau karena namanya, atau karena gaya hidunya yang kita adopsi. Selain itu, ibarat narkoba, kita akan menjadi tergantung dengannya.

Samsul begitu kelabakan saat ujian nggak duduk di samping si “jenius�. Sebab, biasanya, Samsul sering nyontek jawaban temannya itu. Nah, merasa enak, doi jadi kecanduan untuk nyontek. Tapi celakanya, pas orang yang biasa ngasih contekan nggak ada di sampingnya, baru deh terasa akibatnya. Dengan kata lain, kita jadi benar-benar tergantung kepada orang tersebut. Itu sama artinya hidup kita disetir alias dikendalikan.

Dan kalo mau jujur, lebih baik hasil usaha sendiri meski nilainya kecil, ketimbang nilai gede tapi hasil nyontek. Jujur saja, jauh dari lubuk hati nurani kita yang paling dalam tersimpan ketidak-puasan. Dengan kata lain, merasakan kesuksesannya pun nggak mood. Tapi kalo orisinil hasil karya sendiri, meskipun nilainya gede, bangganya minta ampun. Nha, lho? Jelas dong, itu sih ideal bin sempurna, namanya!

Pokoknya, jangan merasa bangga dulu kalo jadi orang lain. Kita kudu menjadi diri sendiri. Apapun risikonya. Seperti kisah Aladdin dan Putri Jasmine, maksud hati Aladdin ingin tampil bak pangeran yang gagah dan kaya raya untuk membahagiakan sang Putri, namun ternyata sang Putri nggak sudi walau cuma melihatnya. Sebab, sang Putri hanya megenal Aladdin si pemuda yang sederhana nan baik hati. Tuh kan. Nah, cerita ini untuk menggam-barkan bahwa sejujurnya, orang hanya mengenali “bentuk� asli kita. Bukan bentuk orang lain.

Dengan demikian, kita jangan mudah tergoda untuk tampil seperti orang lain, apalagi merasa kurang percaya diri dengan apa yang kita miliki. Jangan deh. Bener, jangan sampe kita kurang pede dengan keadaan kita. Itu kan hanya soal persepsi. Dan ingat kawan, semua orang juga punya kelebihan dan kekurangan. Termasuk dalam diri kita. Selama kekurangan kita bukan hal yang maksiat, sabar dan tenang aja. Toh itu bukan keburukan. Seperti kalo badan kamu gendut, ya nggak usah minder. Anggap saja itu kelebihan (maksudnya kelebihan berat badan! He..he..he..) eh, nggak ding!

Jadi teringat sebuah kisah menarik dalam buku Chicken Soup. Salah satu ceritanya memuat kisah orang yang badannya gede dan penampilannya kurang fotogenik alias buruk rupa. Orang tersebut merasa minder dengan keadaannya. Bahkan teman-temannya selalu menaruh curiga kepadanya ketimbang tulus mencintainya. Sehingga ia selalu menghindar dari tatapan mata teman-temannya. Suatu hari, sang guru menerangkan sebuah nukilan dari buku The Prince karya Machiavelli, bunyinya begini: “Since love and fear cannot exist together, if we must choose between them, it is for safer feared than lovedâ€??  (sejak dulu rasa cinta dan rasa takut tak bisa ada bersama-sama, jika kita harus memilih di antara keduanya, maka akan lebih selamat apabila kita merasa ditakuti daripada dicintaiâ€?. Sejak itu, ternyata orang ini sadar dan itu hanya sekadar persepsi saja. Makanya dalam prolog di kisah tersebut dicantumkan kutipan pepatah, “Jika engkau senantiasa menghadap ke matahari, maka selama itu pula engkau tak akan melihat bayanganmu sendiriâ€?. Bener kan? Coba aja sendiri!

Emang nggak semua ngikutin orang lain itu jelek. Masih ada yang bagus. Contohnya? Kamu bisa meneladani bagaimana semangatnya si “jenius� dalam belajar. Bagaimana semangatnya orang-orang yang berjuang dengan tak kenal lelah. Nah, yang begitu-begitunya yang bisa kamu contoh. Bukan gaya hidupnya yang amburadul.

Karya orisinil lebih berharga
Memang bagi sebagian orang mudah membuat karya orisinil alias karya sendiri yang bukan hasil nyontek. Nikmatnya terasa banget. Suer, kita puas sejadi-jadinya. Bahkan pede kita bisa bertambah naik tuh. Apapun yang kita lakukan, bila itu karya kita sendiri, orang lain juga akan menghargai kita dengan tinggi. Buktinya, bila kita bicara tentang teleskop, biasanya kita langsung menghubungkan dengan nama seorang ilmuwan ternama, Galileo Galilei yang dibakar hidup-hidup itu.

Bila bicara tentang telepon, kita suka nggak nyadar langsung menghubungkannya dengan Alexander Graham Bell sebagai penemu pertamanya. Kita udah nggak peduli lagi dengan berbagai modifikasi seperti sekarang. Malah kita nggak pernah tahu atau peduli siapa pemilik pabrik Nokia, Siemens, termasuk bos telkom, atau perusahaan yang memproduksi telepon lainnya. Jadi emang karya orisinil itu yang akan dihargai tinggi, lho. Dan orang akan selalu mengingatnya sebagai sebuah karya besar.

Sayangnya, banyak di antara teman remaja yang ternyata lebih betah mendapat sebutan “orang lain� ketimbang “dipanggil� sebagai dirinya sendiri. Budaya nyontek seakan sudah mendarah daging dalam kehidupan teman-teman remaja kita. Nggak heran bila budaya ini kayaknya sulit untuk dihilangkan. Mungkin masih mending bila yang diconteknya adalah kebaikan; teknologi, semangat berjuang, kegigihan dalam membela kebenaran. Bolehlah diikuti. Tentu bila kemudian yang jeleknya juga kita teladani, itu sama saja kita ikutan brengsek.

Mentang-mentang sekarang lagi ngetren melihara jenggot di kalangan seleb, Koko langsung ikutan memelihara bulu lembut yang tumbuh di dagunya. Dengan alasan, ini tren. Ini gaya baru anak modern. Dan siapa tahu, penampilannya itu bakal mengundang sukses tersendiri. Ya, paling nggak bisa ikutan lomba mirip personel Jamrud atawa Dewa 19, kayak di acara ASAL-nya SCTV. Coba, kalo kamu perhatiin, kayaknya bangga banget orang-orang yang katanya mirip selebriti itu.

Namun harus diakui, masih mending enak jadi diri sendiri, ketimbang jadi orang lain. Kalo pun kebetulan sukses ketika berlindung di balik orang lain, itu bukan sukses yang sebenarnya. Malah mungkin sebagai awal dari kehilangan sebuah kepercayaan diri. Bener, nggak bohong, lho. Soalnya “judulnya� nanti akan lain. Si Anu Sukses memenangkan perlombaan mirip bintang. Barangkali akan lebih tinggi posisinya bila, Si Anu telah menjadi teladan bagi kebanyakan remaja di kota ini dalam hal kepandaian dan semangatnya mencari ilmu. Wah, “judul� yang hebat tentu.

Itu buktinya bahwa menjadi diri sendiri lebih indah ketimbang menjadi orang lain. Berarti di sini yang kudu diperbaiki adalah rasa percaya diri kita. Bahwa kita yakin dengan segala kemampuan yang kita miliki.

Jadi pelopor, bukan pengekor
Percaya dengan kemampuan yang dimiliki sendiri adalah modal dasar untuk maju. Bahkan rintangan sebesar apapun biasanya kita bakal berani menghadapinya. Lain dengan yang nggak punya rasa percaya diri. Orang seperti ini akan tetap takut untuk maju dan bukan tak mungkin malah doyan menjadi pengekor ketimbang pelopor. Kerjaannya cuma nyontek melulu.

Keinginan untuk maju dan sukses adalah harga mati yang akan terus diperjuangkan oleh orang yang punya rasa percaya diri tinggi. Ia akan maju sesuai dengan tujuan hidupnya dan keajegan rasa percaya dirinya. Tak akan mudah tergoda dengan segala bentuk kebesaran nama orang lain. Bahkan mungkin hal itu akan segera disingkirkan dari benaknya. Sebab, hal itu telah dianggap meracuni tujuan hidupnya dan berupaya menggoyahkan kepercayaan dirinya yang sudah tumbuh.

Kita nggak usah silau dengan nama besar orang lain, sehingga kita tanpa sadar mencontek apa saja dari orang tersebut. Sekali lagi, sebatas mencontoh semangat atawa kegigihan berjuangnya, hal itu nggak menjadi soal. Tapi kalo udah semua yang ada padanya termasuk gaya hidupnya, itu yang berbahaya. Sadar tau nggak, kita bakal punya ketergantungan terhadapnya. Seperti halnya ketika kita merasa bangga menjadi pengikut budaya Amrik, karena kita menganggap bahwa negara ini punya nilai lebih untuk kita teladani. Itu artinya, kita udah kalah dan dijajah oleh mereka.

Ibnu Khaldun mengatakan: “Yang kalah cenderung mengekor yang menang dari segi pakaian, kendaraan, bentuk senjata yang dipakai, malah meniru dalam setiap cara hidup mereka, termasuk dalam masalah ini adalah mengikuti adat istiadat mereka, bidang seni; seperti seni lukis dan seni pahat (patung berhala), baik di dinding-dinding, pabrik-pabrik atau di rumah-rumah.�

Sabda Rasulullah saw.: “Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (gaya hidup dan adat istiadatnya), maka mereka termasuk golongan tersebut.� (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad dari Ibnu Umar).

Nah, lebih baik menjadi diri sendiri meski apa adanya kan, ketimbang sukses tapi di bawah bayang-bayang kebesaran nama orang lain. Apalagi bila yang kita contek adalah gaya hidupnya yang rusak. Bahaya!

(Buletin Studia – Edisi 058/Tahun 2)