Friday, 19 April 2024, 15:11

Saddam Husain boleh jatuh, tapi operasi militer pasukan koalisi di Irak belumlah berhenti. Serangkaian aksi kekerasan pasukan koalisi terus dilakukan. Rakyat Irak pun melawan.

Seperti sudah diduga kalau serangan pasukan koalisi ke Irak ternyata berdiri di atas kepalsuan. Di hadapan para wakil rakyat negeri mereka, Presiden AS George Bush Jr. dan Perdana Menteri Tony Blair tidak bisa membuktikan tudingan mereka bahwa rezim Irak layak diserang. Pasukan koalisi melakukan serangan brutal terhadap si alit Irak berbekal data-data palsu.

Richard Myers, komandan AS mengatakan bahwa pencarian yang dilakukan pasukannya hingga detik ini tidak menghasilkan apapun. Bahkan para pakar dan intelejen menduga kemungkinan pencarian ini bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Disebutkan pula bahwa pimpinan pusat pasukan AS di awal peperangan telah mempersiapkan dokumen yang disebut-sebut valid, tentang 19 titik yang diduga digunakan Saddam untuk menyimpan senjata berbahaya itu. Tapi setelah 17 titik diperiksa, tak ada senjata apapun yang ditemukan di lokasi tersebut.

Selain itu, ada juga dokumen intelejen AS yang mencakup 68 lokasi tempat penyembunyian senjata pemusnah massal. Namun hingga kini, setelah diperiksa 45 lokasi, tak ada satupun lokasi yang ditemukan di sana senjata pemusnah massal.

Bukan hanya Myers yang kebingungan dengan pencarian lokasi senjata pemusnah massal Irak, Hans Bliks akhirnya angkat tangan dan menyatakan pihaknya tidak berhasil menemukan jejak apapun soal adanya senjata pemusnah massal di wilayah Irak. Bliks sebagai ketua Tim Pemeriksa Senjata PBB yang ditugaskan di Irak menguraikan laporannya di depan DK PBB, bahwa tim pemeriksa senjata sama sekali tidak memperoleh bukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Ia hanya mengatakan pihaknya meninggalkan banyak pertanyaan tentang program kimia dan biologi Irak yang hingga kini belum ditemukan jawabannya.

Ia menjelaskan bahwa dirinya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk meneliti sejumlah informasi penting yang diajukan oleh mantan pemerintah Irak. Termasuk daftar nama-nama para pakar dan ilmuwan Irak yang menangani penghancuran laboratorium antraks paska perang teluk tahun 1991. Tim Inspeksi Senjata PBB itu mengaku tidak diizinkan untuk melakukan wawancara dengan mereka.

Bliks juga menerangkan rincian upaya yang telah dilakukan timnya untuk mencari senjata ilegal di Irak. Ia menjelaskan selama penelitian di Irak tidak ada jejak yang menunjukkan adanya senjata pemusnah massal, bahkan tidak ada petunjuk adanya bahan-bahan penting untuk senjata tersebut. Ia mengakui memang pihaknya telah menemukan sejumlah kecil kepala senjata kimia yang kosong, dan tampaknya itu sudah digunakan sebelum tahun 1990. Kepala senjata kimia itu kini sudah dihancurkan. Ia juga menjelaskan penemuan 70 rudal Al Shamoud yang mampu ditembakkan dengan radius 150 km.

Gedung Putih akhirnya mengakui tuduhan bahwa dokumen yang menyebutkan Irak mencoba membeli uranium dari Niger, sebuah negara di Afrika, didasarkan pada dokumen palsu. Terbongkarnya kepalsuan ini jelas menuai kecaman keras. Anggota senior Demokrat di Komisi Intelijen Senat, John D Rockefeller, mengatakan dia tidak heran Gedung Putih terpaksa mengakui tuduhan uranium itu palsu. “Seluruh dunia tahu itu merupakan penipuan,” katanya, sambil menambahkan komisinya harus memastikan bagaimana laporan itu bisa masuk ke dalam pidato kenegaraan.
Anggota Kongres, Dick Gephardt –yang berusaha menjadi calon Demokrat untuk pemilihan presiden 2004– juga meminta penyelidikan yang lebih luas. “Penyimpangan faktual Presiden Bush dalam pidato kenegaraannya tidak bisa hanya dianggap sebagai kegagalan intelijen,” katanya.
Selain Bush Jr., pemimpin lain yang menuai kecaman keras dari dalam negeri adalah PM Inggris Tony Blair dan PM Australia John Howard. Baik parlemen maupun rakyat Inggris dan Australia merasa tertipu dengan retorika politik para pemimpin mereka.

Pembantaian dan Rengekan

Selama perang Irak II berlangsung, tidak kurang 7000 rakyat Irak – kebanyakan sipil — menjadi korban. Adalah serangan membabi buta pasukan koalisi yang telah mengantarkan kematian massal warga Irak. Selama 13 peperangan misalkan, AS mengklaim telah memuntahkan 8.000 rudal dan bom. Sepanjang 72 jam pertama saja serangan ke Irak telah jatuh korban sebanyak 1000 jiwa.

Persis seperti perang Vietnam, serangan brutal pasukan koalisi juga banyak merenggut nyawa warga tak berdosa, tak terkecuali anak-anak. Salim, seorang bocah berusia 14 tahun misalkan ditembak dari jarak dekat oleh pasukan Inggris. Sementara itu dalam sebuah serangan Reporter Reuters pernah mencatat paling tidak sembilan anak kecil meninggal. Dari liputan televisi yang tidak diedit, dari Rumah Sakit Babylon, terlihat seonggok mayat kecil seorang bayi, yang dibalut selimut seperti boneka, siap untuk dimakamkan. Disamping bayi itu terbaring tubuh seorang anak lelaki yang diperkirakan berusia 10 tahun, yang juga telah meninggal.

Sementara itu sejumlah media justru menyebutkan korban pembantaian tentara AS jauh lebih besar lagi. Bukti-bukti yang menunjukkan besarnya jumlah warga sipil yang tewas setelah agresi pasukan Koalisi AS-Inggris terus didata. Total korban warga sipil yang tewas itu bisa mencapai angka 10000 orang. Sementara perbandingan antara korban warga sipil yang tewas dengan pasukan Koalisi yang tewas adalah 1 banding 66.

Jumlah korban sipil yang demikian banyak ini, menurut sejumlah sumber adalah akibat pasukan AS menggunakan bom curah secara membabi buta. Dr. Robin Brigety, salah seorang peneliti di Human Right Watch mengatakan, “Kami bersama rekan-rekan telah menemukan sejumlah bukti di Baghdad bahwa pasukan AS menggunakan bom curah atau bom cluster di sejumlah lokasi yang padat penduduk sipil secara massif.”

Meski perang Irak telah menjadi holocaust bagi kaum muslimin Irak, tapi hal serupa juga dialami pasukan koalisi. Para prajurit sekutu yang rata-rata berusia muda mengalami shock dan ketakutan luar biasa menghadapi perang gerilya kaum muslimin Irak. BBC melaporkan bahwa pasukan Amerika di Irak semakin gelisah, dan ingin sekali pulang.Seorang serdadu yang menghadang konvoi hari Rabu bahkan menangis, dan temannya mengorek-ngorek tanah dengan senapan mesinnya. “Kami membutuhkan perlindungan tambahan. Kami sudah mengalami cukup banyak. Kami telah tinggal di Irak cukup lama,” ujar seorang serdadu yang ikut dalam konvoi tersebut.

Saat diwawancarai jaringan televisi Amerika, ABC, seorang serdadu lain Amerika di Irak menyatakan kesedihannya. “Andai menteri pertahanan Donald Rumsfeld ada di sini, saya akan meminta dia mengundurkan diri,” ujar seorang anggota Divisi Infantri III, yang berpangkalan di kota Falluja, barat Baghad. “Saya tidak tahu mengapa kami masih di Irak,” tambah serdadu lain.

Berita kematian dua putra Saddam, Uday dan Qusay, justru menambah gencar serangan gelap pejuang muslim Irak pada pasukan koalisi. Hingga akhir bulan Juli lalu tercatat 153 prajurit AS tewas dalam sejumlah serangan.

Ketika perang masih berkecamuk diberitakan juga bahwa sekitar 2500 prajurit AS telah melakukan desersi – melarikan diri dari pertempuran -. Beberapa penduduk Iraq memberitahu agen berita Arab, bahwa sejumlah pasukan AS membeli al-Dashdasha (pakaian longgar Arab-Iraq) guna membantu mereka melarikan diri dan keluar dari Iraq. Kebanyakan dari mereka keluar dari wilayah Bagdad untuk kemudian memasuki wilayah Kuwait dan Turki.
Seorang penjual baju, Saeed al-Aidany, mengatakan, “Kami terkejut juga karena banyak pasukan AS membeli al-Dashdasha dan kami baru tahu mereka menggunakannya untuk lari ke negara Teluk lain.” Menurut Aidany, pasukan AS itu juga dilihat membeli pakaian Kurdis untuk masuk ke Turki dari utara Iraq.? Untuk bisa keluar dari Irak mereka harus membayar sebesar 450 USD untuk tiap orang kepada warga Irak. Seorang warga yang pernah ikut membantu para desertir itu kabur bercerita, “Perunding mereka memberitahu saya bahwa dua pasukan AS itu tidak mau dibunuh di Iraq tanpa sebab apapun.”
Tingginya tingkat kematian prajurit AS juga memberikan tekanan di dalam negeri terhadap pemerintahan Bush Jr. Kemarahan warga AS semakin meluap ketika pemerintah memutuskan untuk menundakepulangan pasukan Amerika, khususnya mereka yang berdinas di Divisi Infantri Ketiga yang membantu merebut Baghdad. Kepulangan mereka telah ditangguhkan empat kali. Jenderal Abizaid mengatakan, mereka akan pulang bulan September, namun menambahkan, kepulangan mereka masih bergantung pada kesiapan pasukan pengganti.

Khatimah

Apa yang menimpa kaum muslimin Irak semestinya bisa menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Tanpa solidaritas dunia Islam – ukhuwah Islamiyyah – selamanya penderitaan bagi umat umat Islam. Invasi pasukan imperialis kufur ke negeri ‘seribu satu malam’ tidak akan terjadi seandainya kaum muslimin masih memiliki ukhuwah Islamiyyah yang kokoh. Hanya saja, ikatan ukhuwah itu tidak akan terwujud secara nyata tanpa terwujudnya daulah khilafah. Yup, tanpa kepemimpinan yang satu bagaimana kaum muslimin bisa bersatu? Bukankah Irak menderita karena sikap para pemimpin dunia Islam yang mendua? Antara kepentingan politik pribadi dengan ukhuwah Islamiyyah. Padahal Nabi saw. Bersabda:

“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan, sebagian menguatkan bagian yang lainnya.”(HR. Bukhari).

Kabar menggembirakan yang datang dari ranah Irak adalah mulai bersatunya kaum muslimin di sana. Mereka – sunni dan syi’ah – bersepakat untuk mengusir pasukan asing dari tanah Irak. Semoga, ini adalah benih dari persatuan yang hakiki, yaitu terbangunnya khilafah Islamiyyah. Insya Allah, bila khilafah Islamiyyah terwujud, nantinya tidak sekedar mempersatukan umat, tapi juga menyingkirkan berbagai penghalang dan ancaman terhadap Islam dan kaum muslimin. Amin [januar, dari berbagai sumber].

[Pernah dimuat di rubrik “Wawasan”, Majalah PERMATA, edisi September 2003]