Thursday, 25 April 2024, 20:30

Seorang peneliti LSI dalam artikelnya menulis peta pemilih muslim dengan menggunakan banyak istilah rancu dan berbahaya. Seperti istilah “moderat”, “demokrasi”, “pluralisme”. Baca CAP Adian Husaini, MA ke-33

Harian Republika, edisi Sabtu (22 November 2003) menurunkan sebuah artikel tulisan Denny JA berjudul “Tumbuhnya Muslim Demokrat”. Artikel ini mengulas berita di Harian The Jakarta Post, 18 November 2003, berjudul “Muslim Voters Favor Pluralism”, yang memberitakan bahwa selama 50 tahun terakhir, telah terjadi perubahan yang signifikan dalam pemilih muslim Indonesia. Bahkan di kalangan pemilih muslim yang taat beribadah sekalipun, telah terjadi moderasi, pluralisasi, bahkan demokratisasi. Mereka semakin cenderung dan simpati kepada tokoh atau partai yang mengusung isu pluralisme.

Koran itu mengutip survei yang dilakukan oleh lembaga Survei Indonesia, yang dilaksanakan secara nasional, di 220 desa dan kota di semua provinsi kecuali Aceh. Wawancara dilakukan tatap muka pada akhir bulan Agustus 2003.

Sampel yang didapat secara kongruen menggambarkan populasi pemilih Indonesia nanti di tahun 2004. Dari sampel itu, bersandar pada ritual dan ketaatan beribadahnya, didapatkan pemilih non-muslim sekitar 10 persen, pemilih muslim yang sangat dan cukup religius sekitar 45 persen, dan muslim sekuler yang juga sekitar 45 persen.

Sejumlah kesimpulan penting survei tersebut ialah:(1) Sekitar 60 persen dari pemilih muslim yang religius itu memberikan jawaban positif atas mokrasi. (2) pemilih muslim yang paling religius sekalipun di Indonesia sangat nasionalistik. Mereka tidak anti-nasionalisme. Sebaliknya, mayoritas mereka cinta negara dan bersedia berperang membela negara. Bahkan persentase pemilih muslim yang bersedia berperang membela negara lebih tinggi ketimbang pemilih non-muslim.

Menurut Denny JA, temuan yang dihasilkan LSI memberikan gambaran yang sesungguhnya. Memang ada kelompok ekstrem di Indonesia, yang anti-demokrasi dan anti-nasionalisme. Namun jumlah mereka sangat kecil, sekitar 1-2 persen saja. Di samping itu, kelompok ekstrem ini menyebar merata. Mereka tak hanya ada di kalangan muslim yang religius, tapi juga muslim sekuler, dan bahkan pemilih non-muslim sekalipun. Masih menurut Denny JA, “Mayoritas muslim Indonesia, bahkan di kalangan pemilih muslim yang sangat dan cukup religius, yang taat beribadah, mereka adalah pendukung demokrasi. Lima puluh tahun terakhir ini, tumbuh secara signifikan muslim demokrat. Evolusi pemilih muslim Indonesia dapat pula dilihat dari dua titik waktu. Misalnya direntangkan pemilu pertama di tahun 1955 dan sekitar lima puluh tahun kemudian dalam pemilu 2004 nanti. Hasil survei LSI menunjukan terjadinya moderasi dan demokratisasi yang cukup signifikan di kalangan pemilih muslim itu. Di tahun 1955, kita mempunyai empat partai Islam yang memperjuangkan syariat Islam di dunia publik. Partai Masyumi, Partai NU, Perti, dan PSII berjuang untuk sebuah formalitas politik Islam, baik bernama negara Islam ataupun Piagam Jakarta. Jumlah total mereka saat itu diukur dari pemilih sekitar 43 persen.

Dalam pemilu 1999, dan juga dari hasil survei LSI 2003, partai yang secara langsung ataupun tidak mengusung syariat Islam di dunia publik adalah PPP, PBB dan PKS. Total pemilih mereka jika pemilu dilaksanakan hari ini hanya sekitar 14 persen saja. Terjadi penurunan yang sangat drastis sejak tahun 1955, dari sekitar 43 persen menjadi hanya 14 persen saja di tahun 2003.

Ke mana NU yang dulu mendukung Partai NU dan Muhammadiyah yang mendukung Partai Masyumi? Telah terjadi perubahan yang signifikan pada dua organisasi itu. NU kini mengidentifikasikan diri dengan PKB, yang memperjuangkan pluralisme dan partai terbuka. Muhammadiyah juga banyak yang pergi ke PAN dan Golkar, yang juga memperjuangkan pluralisme dan partai terbuka. Pemilih muslim Indonesia kini memang sudah sangat berbeda.”

Demikianlah kutipan yang agak panjang dari artikel Denny JA di Harian Republika.

Dalam artikel tersebut, digunakan banyak istilah yang popular di tengah masyarakat, tetapi memiliki makna yang kabur dan sering kontradiktif jika dicari akar atau padanan maknanya dalam khazanah Islam, seperti istilah “moderat”, “demokrasi”, “pluralisme”. Sayangnya, banyak tulisan di media massa – termasuk media massa Islam, seperti Republika — tidak menjernihkan makna istilah-istilah tersebut.

Sebagai contoh, apa yang dimaksud dengan makna “muslim moderat”? Ditulis dalam artikel tersebut: “Lima puluh tahun terakhir ini, tumbuh secara signifikan muslim demokrat.” Indikator yang dipakai untuk mendukung statemen tersebut adalah penurunan prosentase pemilih Muslim yang mendukung partai-partai Islam. Pada Pemilu tahun 1955, empat partai Islam mendapat sekitar 43 persen suara. Sedangkan pada pemilu 1999, hanya 14 persen saja yang memilih partai-partai yang mengusung syariat Islam di dunia publik. Jadi, katanya, “Hasil survei LSI menunjukan terjadinya moderasi dan demokratisasi yang cukup signifikan di kalangan pemilih muslim itu.”

Penjelasan tersebut memberikan makna, bahwa kaum Muslim yang aktif dan atau yang memilih partai-partai Islam pada pemilu 1955 adalah tidak demokratis dan tidak moderat. Apakah benar demikian? Apakah tokoh-tokoh Islam seperti Sjafruddin Prawiranegara, Moh. Natsir, KH Hasjim Asj’ari, KH Masjkur, dan sebagainya bukan tokoh-tokoh moderat?

Ambillah contoh, Partai Masyumi. Partai ini jelas terlibat dalam proses demokrasi (pemilu) yang sering dipuji sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia. Masyumi juga mendukung demokrasi. Tetapi, “demokrasi” oleh Masyumi sudah dicoba untuk “diislamkan”. Demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan yang tidak fasis dan otoriter. Hal itu bisa dilihat dalam rumusan Rancangan UUD Republik (Islam) Indonesia usulan Masyumi, yang menyatakan, bahwa “kedaulatan adalah di tangan seluruh rakyat Indonesia sebagai amanah Tuhan kepada mereka.” Naskah itu juga menegaskan, syariah sebagai “sumber hukum” tertinggi dalam negara. Pelaksanaan kedaulatan rakyat harus dilakukan dengan berpedoman kepada norma-norma syariah dan tidak melampaui batas yang ditetapkan oleh Tuhan.

Konsep Masyumi tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat itu mirip dengan konsep “theo-demokrasi” yang dirumuskan oleh Abul A’la al-Maududi, pemikir besar Pakistan dan pendiri Partai Jamaat Islami. Apakah konsep demokrasi dan kedaulatan rakyat Masyumi itu tidak demokratis? Bagaimana dengan konsep masyarakat komunis yang diperjuangkan oleh PKI ketika itu? Apakah konsep komunis itu tidak demokratis? Lalu, bagaimana dengan konsep nasionalis-sekuler yang diperjuangkan oleh PNI? Apakah konsep masyarakat sekuler versi PNI itu demokratis? Konsep Masyumi sangatlah masuk akal. Rakyat memang berdaulat, tetapi kedaulatannya dibatasi oleh Tuhan. Oleh syariat. Artinya, jika rakyat bersepakat untuk menghalalkan pelacuran, perjudian, korupsi, dan sebagainya, maka hal itu tidak dapat dibenarkan.

Amin Rais pernah menulis pengantar yang sangat bagus tentang paradoks demokrasi di Amerika dalam buku Khilafah dan Kerajaan karya Abul A’la al-Maududi. Karena rakyat Amerika sudah kecanduan alcohol, maka mereka menolak keras rancangan undang-undang yang melarang minuman alcohol. Sehingga, akhirnya RUU itu dibatalkan. Jika kedaulatan rakyat tidak dibatasi oleh konsep Tuhan, lalu siapa yang membatasinya? Barat percaya pada slogan kuno: “Vox populi Vox Dei”. Artinya, suara rakyat adalah suara Tuhan. Apakah suara rakyat AS (yang terwakili dalam Kongres) yang mendukung serangan ke Irak dan memberikan bantuan tak terbatas kepada Israel adalah suara Tuhan? Apakah suara rakyat Israel yang memilih Ariel Sharon adalah suara Tuhan?

Kata “demokrasi” itu sendiri sebenarnya harus dijelaskan maknanya. Sebab, kata ini begitu bias dan penuh kepentingan. Apalagi dalam tataran aplikasinya. Jika muslim mendukung partai Islam yang pro-syariah dikatakan tidak demokratis dan negara yang menerapkannya dicap yang sama, maka sebenarnya, pada level internasional, negara-negara Barat juga percaya kepada sistem otoritarian dan aristokrasi untuk memelihara kepentingan mereka. Karena itulah, mereka tetap mempertahankan sistem veto dan 5 anggota tetap di Dewan Keamanan PBB. Meskipun mayoritas negara-negara di dunia yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok sudah berulangkali mengeluarkan resolusi yang menggugat struktur Dewan Keamanan PBB yang tidak demokratis tersebut. Dalam kasus Israel, berapa banyak AS berhadapan dengan mayoritas suara internasional di Majelis Umum PBB. Tetapi, yang berkuasa di PBB bukanlah Majelis Umum, melainkan Dewan Keamanan. Dan kekuasaan Dewan Keamanan berada di tangan “the big five” (AS, Inggris, Rusia, Perancis, Cina).

Prof Hasby as-Ashddiqiey membuat uraian yang cukup bagus tentang demokrasi dan Islam dalam bukunya “Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam”. Maka, seyogyanya, dalam hal ini tidak dilakukan simplifikasi. Bahwa Muslim pendukung Masyumi adalah tidak demokrat, tidak moderat, dan sebaliknya, Muslim pendukung Golkar adalah demokrat dan moderat. Karena Golkar tidak pro-syariah. Lalu, apa sebenarnya makna democrat dan moderat? Kata ini pun tidak jelas maknanya. Apalagi jika dicari akar katanya atau padanannya dalam khazanah Islam. Sama dengan istilah fundamentalis, radikal, militan, ekstrim, dan sebagainya, yang begitu sering digunakan dalam pelabelan kelompok atau orang-orang tertentu, tetapi biasanya tidak diberikan definisinya yang jelas.

Satu istilah yang kini banyak digandrungi adalah “pluralisme”. Istilah ini semakin popular dan banyak kaum Muslim sendiri bangga disebut sebagai penganut “pluralisme”, tanpa mengkaji dan memahami makna yang sebenarnya dari istilah ini. Dalam sebuah seminar di Kuala Lumpur, seorang doktor asal Indonesia, dengan berapi-api menyatakan, bahwa RUU Sisdiknas yang banyak ditolak kalangan non-Muslim sebenarnya sudah sesuai dengan semangat pluralisme. Setelah diberitahu apa makna “pluralisme” yang sebenarnya, si doktor tadi terkejut.

Sesuai dengan judul berita di The Jakarta Post, bahwa “Muslim Voters Favor Pluralism”, maka perlu diklarifikasi, apakah yang dimaksud dengan “pluralism” pada kalimat tersebut? Pluralisme adalah sebuah paham, sebuah isme. Paham tentang yang plural. “Pluralisme” berbeda dengan “pluralitas”, seperti hanya “komunisme” berbeda dengan “komunitas”. Pluralisme bukanlah istilah yang bebas nilai, tetapi merupakan satu istilah yang memiliki akar filsafat dan teologi dalam sejarah peradaban Barat. Istilah ini sarat dengan muatan keagamaan. John Hick, misalnya, dalam Encyclopedia of Religions, merumuskan “Religious pluralism” sebagai berikut: “Philosophically, however, the term refers to a particular theory of the relation between these traditions, with their different and competing claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to, the one ultimate, mysterious divine reality… Explicit pluralism accepts the more radical position implied by inclusivism: the view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate, and that within each of them independently the transformation of human existence from self-centeredness to reality- centeredness is taking place. Thus the great religious traditions are to be regarded as alternative soteriological “spaces” within which – or “ways” along which – men and women can find salvation, liberation, and fulfillment.”

(Secara filosofis, betapa pun, terminologi (religious pluralism) itu merujuk pada suatu teori dari hubungan antara agama-agama ini, dengan segala perbedaan dan pertentangan klaim-klaim mereka. Ini adalah teori bahwa agama-agama besar dunia mengandung konsepsi-konsepsi persepsi-persepsi varian dari, dan respon-respon tehadap, “yang asal”, realitas ketuhanan yang misterius… Pluralisme ekplisit menerima posisi yang lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklusivisme: yaitu satu pandangan bahwa agama-agama besar mewujudkan persepsi dan konsepsi yang berbeda-beda tentang, dan secara bersamaan memiliki respon yang berbeda terhadap “The Real” atau “The Ultimate”, dan bahwa di dalam masing-masing agama itu sendiri — secara terpisah – transformasi eksistensi manusia dari ?pemusatan diri’ menuju ?pemusatan realitas’ sedang terjadi. Dengan demikian, tradisi-tradisi agama-agama besar dianggap sebagai “tempat” soteriologi alternatif di mana – atau sebagai “jalan” di mana – laki-laki dan perempuan dapat menemukan keselamatan, pembebasan, dan pemenuhan).”

Berbagai artikel di media massa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “pluralisme”, khususnya di bidang teologi. Harian Republika, misalnya, pada 24 Juni 2001 memuat satu artikel yang mendefinisikan “teologi pluralis”, adalah teologi yang melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengepreksikan adanya The One in the many(Sayyed Hossein Nasr). “Di sini jelas teologi pluralis menolak paham eksklusivisme, sebab dalam eksklusivisme itu ada kecenderungan opresif terhadap agama lain.”

Intinya, dalam semangat pluralisme, Anda tidak boleh mayakini, hanya agama Anda saja yang benar. Semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan, sebagai jalan kebenaran dan keselamatan. Dalam sebuah seminar di Universitas Paramadina, saya katakana, bahwa “sebagi muslim, saya tentu meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar”. Ketika itu, seorang doktor dan dosen di Paramadina menyatakan, bahwa keyakinan seperti itu dia miliki 20 tahun yang lalu. Para penganjur pluralisme menyatakan, bahwa sudah saatnya kaum Muslim meninggalkan klaim, bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan jalan keselamatan. Jadi, istilah pluralisme sebenarnya memiliki akar filosofis dan teologis yang mendalam, khususnya dalam tradisi Kristen. Istilah ini sudah “mapan” dalam dunia teologi dan dialog antar agama. Benarkah sebagian besar kaum Muslim sudah menerima paham pluralisme?

Dalam artikel Denny JA di Republika itu disebutkan: “Telah terjadi perubahan yang signifikan pada dua organisasi itu. NU kini mengidentifikasikan diri dengan PKB, yang memperjuangkan pluralisme dan partai terbuka. Muhammadiyah juga banyak yang pergi ke PAN dan Golkar, yang juga memperjuangkan pluralisme dan partai terbuka.”

Jika benar, seperti kata Denny JA, NU dan Muhammadiyah sekarang memperjuangkan “pluralisme” maka ini bisa dikatakan merupakan tragedi besar dalam sejarah Islam Indonesia. Sebab, kedua organisasi besar itu sudah tidak meyakini lagi, Islam sebagai satu-satunya kebenaran dan jalan keselamatan. Seorang pluralis pasti tidak merasa perlu mendakwahkan kebenaran agamanya kepada kaum atau bangsa lain, seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabat yang mulia. Mereka aktif mengajak umat manusia untuk memeluk Islam. Jika Nabi Muhammad saw seorang pluralis, untuk apa beliau berusaha sekuat tenaga mengislamkan kaum Musyrik Arab? Bahkan beliau juga menghancurkan berhala-berhala sesembahan mereka. Apa Nabi Muhammad saw seorang pluralis?

Sebenarnya lebih tepat jika digunakan istilah “pluralitas”, yakni sikap menghargai dan toleran terhadap agama lain, tanpa meninggalkan keyakinan teologisnya. Pada level ini pun, Indonesia jauh lebih maju ketimbang Barat. Di negeri yang mayoritas Muslim, kaum minoritas mendapatkan hak social, ekonomi, politik yang tinggi. Mereka dapat menjadi menteri dan pejabat-pejabat tinggi negara lainnya – sesuatu yang masih menjadi mimpi bagi Muslim di Barat, meskipun Islam telah menjadi agama kedua terbesar di beberapa negara Barat.

Melalui catatan ini kita mengimbau, seyogyanya kaum Muslim, terutama kalangan media Islam, lebih kritis dalam menggunakan dan menyebarkan istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalahan persepsi atau bahkan penggelinciran aqidah. Dalam konsepsi Islam, penyebaran konsepsi yang salah, bisa lebih berat nilainya ketimbang melakukan kesalahan itu sendiri. Orang yang tidak mengerjalan solat lima waktu terhitung fasik – selama dia meyakini solat itu adalah kewajiban. Sedangkan orang yang menyatakan, bahwa solat lima waktu tidak wajib, dia terhitung murtad.

Jika gara-gara membaca satu artikel di media Islam, lalu ribuan orang bangga menjadi “pluralis”, siapa yang bertanggung jawab? Wallahu a’lam. (Kualalumpur, 28 November 2003) [hidayatullah.com]