Friday, 29 March 2024, 08:43

gaulislam edisi 223/tahun ke-5 (6 Rabiul Awal 1433 H/ 30 Januari 2012)

Berada dalam kesepian dan kesendirian tentulah sangat tidak menyenangkan (kamu pernah nggak? Hehehe.. kalo aku sih sering. Idih, ngaku deh!). Bayangkan jika kamu yang mengalaminya. Bayangin, jika kamu pulang ke rumah, yang hanya kita sapa adalah pintu-pintu yang sedari pagi menunggu menganga lebar-lebar. Menonton tv, gonta-ganti saluran dan tak lama kemudian mematikan tv, pergi ke kamar, tidur-tiduran, berkhayal, menonton tv lagi, begitu seterusnya sampai orang-orang rumah pulang sekitar jam sepuluh malam. Aku benci mengatakannya, tapi itu justru terjadi pada diriku.

Namun, aku sangat berharap kebosanan dalam kesendirian atau kejenuhan dalam kesepian ini hanya aku saja yang mengalaminya. Biarlah hanya aku saja yang menitikkan air mata kesedihan yang sangat ini. Tak jarang pula air mataku berlinang. Merasakan dan membayangkan mereka sedang bersamaku. Suasana hangat dalam keluarga yang kurindukan ini, biarlah hanya aku saja yang tidak merasakannya. Eh, ini termasuk galau nggak sih? Atau malah “Andi Lau” alias Antara Dilema dan Galau? Hihihi) Halah, sedih kok malah melucu.

Akan tetapi, rupanya aku tidak bisa menutup mata terhadap kondisi masyarakat di Indonesia dewasa ini. Ternyata, tidak bisa dihitung dengan jari orang-orang yang mengalami nasib yang sama denganku. Mereka harus hidup tanpa keluarga di sisinya meskipun sebenarnya mereka memilikinya dan tidak seorang pun yang bisa dimintai bantuan. Hati teriris ketika aku dirawat di rumat sakit, aku harus menelpon ke sana kemari untuk mencari teman yang bisa menemaniku di rumah sakit, karena tidak ada satu keluarga pun yang bisa menemaniku dengan alasan sibuk bekerja. Seandainya saja semua harta bendaku bisa kutukar dengan satu hal yang bernama kebahagiaan. Aku rela jika harus hidup kekurangan tapi penuh kebahagiaan. Tapi, astaghfirullah, mungkin di situlah aku sedang diuji olehNya.

Bro en Sis, semua orang-orang rumah disibukkan dengan pekerjaan. Tidak ada yang lebih penting selain pekerjaan, bagaimana agar bisa mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, secukup-cukupnya—kalo perlu lemburan pun diembat, asalkan itu bisa menambah angka saldo dalam rekening tabungan. Semua tanggung jawab pun dilimpahkan kepadaku, mulai dari pekerjaan rumah, sampai pengawasan dan pengasuhan terhadap adikku. Sekilas nampak tidak terlalu sulit. Tapi jujur saja yang bisa kutangani hanya sebatas pekerjaan rumah saja. Soal pengawasan pengasuhan aku benar-benar tidak bisa, karena aku pun harus bekerja full time, dari pagi hingga sore. Berhenti bekerjapun dilarang, karena aku harus membiayai diriku sendiri, walaupun sebagai perempuan yang belum menikah, dalam Islam tentunya jika mereka mampu membiayaiku, mereka wajib untuk menafkahiku. Entahlah, aku sudah tidak mau memusingkan hal seperti itu. Toh, aku sendiri masih diberi kesempatan untuk mencari rejeki di duniaNya ini. Aduuh.. kamu jangan ikutan melow ya, ini sekadar berbagi saja. Berbagi beban. Aku yakin, kita pernah merasakan hal yang sama. Hayo ngaku! Hehehe… (*nyari teman dot kom dah!)

Ya, benar. Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya. Karena waktu dan kontrolku kurang, maka adikku pun bebas berkeliaran ke mana-mana sehingga aku terpaksa membiarkan dia bergaul dengan teman-temannya yang aku sendiri meragukan kualitas akhlaqnya. Ketika adikku kecanduan main game dan sering bolos, bisa ditebak siapa yang disalahkan? Siapa lagi kalau bukan aku. Adikku pun sama sepertiku, bosan kalau harus berada di rumah sendirian, bedanya dia punya banyak teman yang bisa dia ajak bersenda gurau dan main. Itu pun aku harus merelakannya pulang malam sekali.

Aku? Aku tidak punya teman seumuran. Sehabis kerja mulutku pun harus tertutup selama enam jam lebih. Sehingga jika papa, mama, dan adik pulang, bukannya aku langsung berbaur dengan mereka, tapi aku lebih suka menarik selimut dan menunggu mata ini tertutup sembari mendengar mereka semua asyik menonton tv.

Bukan cuma aku
Seperti yang sudah aku tuliskan di atas, begitu banyak orang yang harus kehilangan cinta dan kasih dalam keluarganya, sama halnya seperti aku. Jumlahnya mungkin sudah bukan ratusan lagi, bahkan bisa jadi jutaan. Ya, jutaan anak hanya menjadi asuhan pembantu saja. Jutaan anak pula harus mencari cinta kasih yang tidak bisa didapatkan dari dalam keluarganya sendiri. Makna cinta kasih pun akhirnya menjadi suatu hal yang bisa diartikan bermacam-macam dan bisa disalah-persepsikan.

Heran benar aku, tidak habis fikir bagaimana bisa negeri kaya seperti Indonesia ini dapat menghasilkan kemelaratan luar biasa di segala aspek kehidupan, di hampir semua sudut negeri. Negeri kaya yang mampu mencukupi kebutuhan 182 negara kecil hanya dengan kekayaan alam di tambang emas yang digali Freeport saja ini, harus rela ‘mengais-ngais rejeki’ hanya untuk membayar hutangnya pada negara orang dan lembaga dunia. Belum lagi ulah para koruptor yang kebal hukum yang makin membuat kantong negara bolong. Korupsi yang sepertinya sudah mendarah-daging dan berurat berakar. Korupsi ada di level paling tinggi jenjang kekuasaan merembes deras hingga ke level bawah. Mungkin, di antaranya adalah kita: yang sering nilep uang OSIS, korupsi uang rohis dan sebagainya. Sedih!

Ya, sedih dan miris banget, apalagi yang sudah jelas-jelas koruptor malah vonisnya tak jua dijatuhkan dan belum mendekam di balik jeruji besi dan dinginnya lantai penjara. Tetapi kepada mereka yang tingkat kesalahannya jauh dari para koruptor kelas kakap, eh pengadilan malah langsung menjatuhkan vonis dan melaksanakan hukuman. Hmm.. mungkin karena mereka tak punya duit untuk nyumpal hakim, jaksa dan para begundal mafia peradilan.

Sobat muda muslim pembaca setia gaulislam, dilematis memang, banyak generasi bangsa Indonesia kita ini yang harus kehilangan kesempatan bersekolah karena tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikannya, banyak sekali itu terjadi di lingkungan sekitarku. Dan ketika punya kesempatan untuk mengumpulkan uang pun, para orang tua akan ‘habis-habisan’ agar semua kebutuhan hidup bisa tercukupi. Walhasil, banyak para ibu yang harus meninggalkan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga dan beralih profesi sebagai karyawati di pabrik-pabrik yang menyerap banyak karyawan wanita, ataupun merintis jadi wirausahawati, meski kecil-kecilan. Sedih, miris tapi bingung.

Aku sudah merasakannya selama bertahun-tahun, selalu sendirian dalam rumah. Alhamdulillah aku tidak mensikapi semua itu dengan hal-hal ataupun yang malah akan semakin membuatku merasa tidak berguna bahkan menjerumuskan diri pada yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Hal yang positif selalu kubangun untuk mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Jika tidak, mungkin aku akan habis ditelan waktu atau lebih parah lagi malah terjerumus pada yang diharamkan Allah seperti ketergantungan narkoba dan pergaulan bebas yang biasanya terjadi pada anak-anak broken home. Naudzubillahi min dzalik..Alhamdulillah aku tidak sampai seperti itu. Bersyukur aku.

Mencoba mengubah keadaan
Saban hari aku berusaha sedikit demi sedikit belajar untuk menjadi seorang pengemban dakwah sekaligus penulis. Aku ingin mengubah keadaan pahit yang sudah aku dan jutaan orang alami, dimana aku dan mereka harus kehilangan suasana hangat dalam keluarga yang seharusnya saling berbagi dan mengajarkan kebaikan dan manfaat. Semuanya insyaAllah tidak akan kubiarkan hanya menjadi khayalan dan cita-cita saja. Tidak mudah tapi juga tidak sulit untuk kulakukan. Aku harus yakin terhadap hal itu. Tawakal jalan terbaik yang memang diajarkan dalam Islam. Kemudian berusaha semaksimal mungkin dan berdoa. Kutetapkan tekadku.

Lewat dakwah semoga ada perubahan. Bahkan pengemban dakwahnya pun dipuji oleh Allah Swt sebagai sebaik-baik orang yang menyeru, sebagaimana dalam al-Quran: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushshilat [41]: 33)

Bro en Sis, lewat dakwah aku ingin kita sama-sama berpikir tentang arti kebahagiaan hakiki, yang hendak digapai oleh semua orang. Dengan tulisan, aku ingin menyebarkan pada semua orang secara tidak langsung, semua hal-hal yang kuinginkan, kumengerti, dan kupahami sesuai dengan Syariat Islam. Ingin kubangkitkan perasaan teman-teman semua kerinduan terhadap Khilafah Islamiyah yang akan membuat hidup kita sejahtera di bawah naungannya, terjaga akidah kita dan kemaslahatan bagi kita semua. Khilafah Islamiyah, bentuk sistem kenegaraan jempolan tapi tidak banyak dilirik orang (bahkan oleh banyak kaum muslimin sendiri. Sedih!). Khilafah Islamiyah adalah institusi negara warisan Rasulullah saw. dengan seperangkat aturan hanya untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan pribadi bahkan golongan yang berjalan sesuai dengan syariat Allah.

Sehingga insya Allah tidak akan ada lagi jutaan, ratusan ataupun orang yang akan menjadi sepertiku yang selalu sendirian, tidak ada orang yang harus merasakan separuh cinta di dalam keluarganya sendiri. Semuanya bisa saling memahami dan menyayangi satu sama lainnya hanya karena Allah. Untuk ke arah sana, membaca, menulis dan berdakwah yang menjadi tugas dan tanggungjawabku sekarang ini. Semoga tulisan ini bukan sekadar curhat melow binti murahan, tapi bentuk berbagi dariku buat kamu semua. Semoga kita jadi satu persepsi, satu perasaan, dan satu tujuan hidup dalam upaya mengembalikan kehidupan yang lebih baik bersama Islam dan syariatnya.

Sobat muda muslim, mana yang akan kalian pilih? Terus berada dalam kesendirian dan terjebak di dalamnya atau kalian mengubah semua keadaan itu untuk kalian sendiri dan untuk semua orang? Remaja cerdas adalah remaja yang memilih untuk peduli kepada diri sendiri dan juga orang lain. Setuju kan?
Yuk, bekerjasama dalam dakwah. Sebarkan kebenaran Islam. Ubah kehidupan diri, gabung dengan kawan lainnya untuk mengubah budaya lingkungan sekitar, masyarakat dan semoga juga negara agar lebih baik lagi. Bisakah itu? So, nggak ada yang nggak mungkin kan? Yakin! [junnie: pipe_jnh@yahoo.com]