Monday, 9 December 2024, 14:52

Teman dialog saya pernah menyampaikan bahwasannya dia mengaku sudah membai’at atau memiliki khalifah. Meskipun, ketika saya tanya, mana wilayahnya, militer, dsb. Dia menjawab belum ada dan lagi diusahakan. Karena menurut dia, yang penting adalah membai’at atau mengangkat khalifah dulu, soal perangkatnya (wilayah, militer, dll) menyusul. Jika harus nunggu militer dan wilayah dulu ada, maka akan terlalu lama. Keburu nanti jika mati, maka matinya terkategori mati jahiliyyah. Jadi angkat dulu khalifah meskipun belum ideal (bisa dikatakan khalifah darurat). Menurut dia lagi, pemahaman di atas berangkat dari hadits rasul SAW “Barang siapa yang mati dalam kondisi tidak berba’iat kepada khalifah maka matinya mati jahiliyyah”. Pertanyaan saya : 1. Benarkah pemahaman teman dialog saya tadi diatas, yang penting “person khalifah” dulu, bukan “wilayah atau kekuasaan” ? 2. Bagaimana penjelasan soal hadits yang dijadikan dalil oleh teman dialog saya tadi ? Mohon ustad berkenan untuk menjawabnya (Amin, Purbalingga)

Jawab :

Definisi khalifah adalah “huwalladzy yanuubu ‘anil ummah fi as-sulthan wa tanfiidzi al-ahkam asy-syar’iyyah” (khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum syara’). Demikian diterangkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani –radhiyallahu ‘anhu– dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, pada bab Al-Khalifah.

Jadi, khalifah yang dibaiah haruslah mempunyai kekuasaan (as-sulthan) dan menerapkan hukum-hukum syara’ di berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Khalifah yang dimaksud dalam hadits tersebut, tiada lain adalah khalifah dalam definisi syar’i ini.

Maka, kalau seseorang diangkat sebagai khalifah tapi tidak mempunyai kekuasaan dan tidak melaksanakan hukum-hukum syara’, sebenarnya dia bukanlah khalifah dalam pengertian syar’i. Membaiah khalifah tanpa kekuasaan atau tanpa penerapan syariah kepada masyarakat, hukumnya tidak sah menurut syara’ karena telah menyalahi nash-nash syara’ yang menerangkan kewenangan (shalahiyat) khalifah dalam kekuasaan dan penerapan syariah.

Benar, bahwa wajib setiap muslim mempunyai baiat di lehernya dan bahwa kalau seorang muslim tidak mempunyai baiat kepada mati khalifah, matinya adalah mati jahiliyah. Tapi ini tidak berarti bahwa orang boleh membaiat khalifah dengan sembarangan tanpa memperhatikan syarat-syarat syar’i atau berbagai wewenang (shalahiyat) yang dimiliki khalifah. Sama halnya shalat adalah wajib atas setiap muslim, dan kalau seorang muslim tidak mau shalat diancam Allah SWT akan masuk neraka Saqar. Tapi ini tidak berarti seorang muslim boleh sholat secara sembarangan misalnya shalat tanpa menutup aurat, tanpa wudhu, dan sebagainya.

Perlu diperhatikan, bahwa kekeliruan mendasar teman Anda (hadaanallahu wa iyyahu) adalah tidak mampu membedakan antara mengangkat Khalifah (nashbul khalifah) dengan menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah). Kedua hal ini berbeda. Mengangkat khalifah tidak otomatis menegakkan sistem Khilafah (ketika Khilafahnya tidak ada, seperti sekarang). Tapi menegakkan Khilafah secara otomatis akan berimplikasi adanya pengangkatan khalifah. Nah, masalah yang dihadapi umat Islam setelah hancurnya negara Khilafah di Turki tahun 1924, justru adalah menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), bukan sekedar mengangkat Khalifah (nashbul khalifah). Sementara teman Anda mempunyai pemahaman dasar, bahwa masalah yang perlu dipecahkan hanya sekedar mengangkat Khalifah (nashbul khalifah), tanpa memperhatikan apakah negara Khilafah-nya ada atau tidak. Di sinilah pangkal kekeliruan teman Anda. (Lengkapnya lihat kitab Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, karya Wali Al-Fattah).

Dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menerangkan bahwa untuk mengangkat Khalifah (nashbul khalifah), wajib dipenuhi 7 (tujuh) syarat yang melekat pada pribadi (person) khalifah. Yaitu seorang khalifah itu wajib : (1) Muslim, (2) Laki-laki, (3) Baligh, (4) Berakal, (5) Adil (tidak fasik), (6) Merdeka (bukan budak), dan (7) Mampu.

Sedangkan untuk menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), harus dipenuhi 4 (empat) syarat. Pertama, khalifah yang dibaiah wajib memenuhi ketujuh syarat baiah in’iqad (yaitu ketujuh syarat wajib yang telah disebutkan di atas). Kedua, negeri (al-balad) tempat khalifah itu dibaiah wajib mempunyai kekuasaan yang mandiri (sulthanan dzatiyan), bukan di bawah kendali negara kafir. Ketiga, khalifah itu wajib segera menerapkan hukum-hukum syara’ di dalam negeri. Keempat, khalifah itu wajib segera melaksanakan tugas mengemban dakwah Islam ke luar negeri.

Demikianlah penjelasan kami secara garis besar saja. Untuk mengetahui lebih detailnya, termasuk segala dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab yang kami sebut tadi, yakni Nizhamul Hukmi fi Al-Islam karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya yang bertaqwa kepada-Nya. Amin.

Yogyakarta, 29 Juli 2007

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

5 thoughts on “Membaiah Khalifah Tanpa Penerapan Syariah

  1. assalamualaikum wrwb
    bwat kang hadi said
    kekhilafaha Islam yang syah pada saat ini tidak ada karena khilafah sudah runtuh pada 1924, jd kewajiban qt bersama u/ menegakakan khilafah,
    pertanyaan yang ke 2 oleh kang hadi hanya lah pertanyaan yang istilah kasarnya adalah mengejek, ketahuilah bahwa rosulullah pernah bersabda,
    ”janganlah kalian terlalu sering bertanya kepadaku(rosul) sesungguhnya kehancuran ummat2 terdahulu adalah karena seringnya mereka bertanya kepada Nabi2 mereka, maksudnya pertanyaan2 mereka itu bermaksud sebenarnya maksud mereka bertanya adalah mereka engganmelaksanakan perintah2 Allah dan rosulnya yag mereka anggap membebai mereka, bukan pertanyaan yang memang patut di tanyakan.
    klo sekedar ulama yang kita ikuti banyak dan hampir tak terhitung karena org2 sholeh yang fasih itu tidak hanya segelintir orang,mereka patut di ikuti selama mereka menggunakan dalil2 yang kuat dan sumbernya jelas,
    jd sekali lagi pertanyaan seperti itu hanyalah pertanyaan murahan yang seharusnya tidak di pertanyakan
    jzkllh
    wassalamualaikum wrwb

  2. Apakah anda ingat bahwa saat baiah hudaibiyah, nabi belum memiliki wilayah, militer dll ?
    Nabi melarang banyak pertanyaan karena saat itu wahyu masih turun, dikuatirkan akan memberatkan umat islam. Contoh ketika nabi menyatakan bahwa haji itu wajib, ketika ada sahabat bertanya apakah setiap tahun ?
    Seandainya turun wahyu mengiyakan pertanyaan tsb, beratkan ?

Comments are closed.