Friday, 8 November 2024, 19:17

Manusia Muslim haruslah manusia merdeka. Imannya kokoh, rakus ilmu tapi tak rakus dunia. Ikhlas dalam ibadah, tidak ‘hubbud dunya’ baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian ke-252

Oleh: Adian Husaini

Dalam rangka memperingati hari lahirnya yang ke-50, pada awal Desember 2008, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyelenggarakan seminar tentang kemandirian bangsa. Oleh panitia seminar, dirumuskanlah tiga aspek kemandirian bangsa, yakni: (1) kemampuannya dalam menetapkan ideologi kebangsaan secara lugas dan tegas. Lugas sehingga bisa dipahami bangsa-bangsa lain bahwa kita memiliki dan menerapkan pandangan atau falsafah hidup kita sendiri. Tegas dalam arti tidak terpengaruh berbagai tantangan dan pendiktean ideologi bangsa lain yang tidak sejalan dengan milik kita, (2) kebolehannya dalam merumuskan, memutuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan negara tanpa campur tangan pihak-pihak lain secara berlebihan, (3) kemampuannya dalam menjaga dan mempraktikkan kedaulatannya atas wilayah, penduduk, dan sumberdaya yang ada di dalamnya.

Diskusi tentang “bangsa mandiri” sudah berlangsung puluhan tahun, sejak Indonesia belum? merdeka, dan hingga kini belum pernah tuntas. Indonesia memang sangat majemuk. Untuk menentukan ideologi khas Indonesia, bukanlah hal yang mudah. Ideologi negara RI pernah diperdebatkan secara serius dalam sidang-sidang BPUPKI dan sidang-sidang Konstituante.? Soal Piagam Jakarta yang memuat naskah Dasar Negara (Pancasila) hingga kini masih terus didiskusikan. Kisah dibalik penghapusan tujuh kata? (… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) masih tetap misterius dan masih menarik untuk diteliti lebih jauh.

Beberapa buku seputar masalah ini diterbitkan, melengkapi buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI (terbitan Sekretariat Negara RI, 1995). Lihat, misalnya, buku?? Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997). Juga, O.E. Engelen dkk., Lahirnya Satu Bangsa dan Negara, (Jakarta: UI Press, 1997), dan RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2004).

Kini, di era keterbukaan dan kebebasan informasi, aspirasi tentang ideologi bangsa semakin beragam dan terbuka, mulai gagasan negara sekular sampai negara khilafah. Biarlah wacana tentang ini terus bergulir. Ideologi apa yang akan dipilih oleh bangsa Indonesia ke depan, akan ditentukan oleh resultante pergumulan tiga aspirasi utama di Indonesia: Islam, Barat, dan ” Jawa”.

Kita tidak akan membahas masalah itu lebih lanjut. Pada catatan kali ini, kita ingin mengangkat satu unsur pokok dalam upaya membangun bangsa yang mandiri, yaitu bagaimana mewujudkan manusia-manusia Indonesia yang berjiwa mendiri, manusia merdeka. Sebab, semua akan sepakat, bahwa kemandirian bangsa Indonesia akan ditentukan oleh manusia Indonesia itu sendiri.? Manusialah yang menentukan, apakah satu bangsa itu mandiri atau tidak. Manusia itu adalah manusia yang merdeka, bukan manusia bermental budak yang tunduk kepada kekuatan di luar dirinya, tanpa kemampuan untuk menolaknya.

Meskipun sudah merdeka selama puluhan tahun, ternyata mencari sosok manusia Indonesia yang merdeka memang tidak mudah. Sebuah deskripsi yang sangat sinis tentang ciri-ciri umum manusia Indonesia pernah dilontarkan oleh budayawan Mochtar Lubis, dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977.

Inilah ciri-ciri umum manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis:? munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, simaklah uraian Mochtar Lubis berikut ini:

1.?????????????????? “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”

2.????????????????? “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.

3.????????????????? “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”

4.????????????????? “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”

5.????????????????? “Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”

6.????????????????? “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat.?? Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”

“Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.”

“Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Uraian lebih jauh,? lihat, Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).

Tentu paparan Mochtar Lubis itu tidak seluruhnya benar, dan juga tidak seluruhnya salah. Tapi, bagaimana pun, stereotip yang diberikan oleh budayawan serba bisa ini bisa bermanfaat sebagai bahan ??????????? refleksi dan penilaian secara kritis. Jika faktanya, ciri-ciri umum manusia Indonesia itu memang seperti itu, maka sangat sulit diharapkan untuk membangun suatu bangsa yang mandiri. Jika manusia-manusia semacam itu yang bercokol di suatu institusi, maka sulit berharap institusi itu akan mandiri. Hanya manusia Indonesia yang merdeka dan berjiwa mandiri, yang akan dapat membangun bangsa yang mandiri.

Manusia-manusia egois yang lemah jiwa, munafik, cari aman sendiri, dan suka mencari jalan pintas? tentu sangat sulit diharapkan untuk membangun suatu bangsa yang sehat.? Masalahnya, masih adakan manusia Indonesia yang ikhlas berjuang untuk membangun bangsa tanpa meminta imbalan.? Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan, Mohammad Natsir – Pahlawan Nasional dan Pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia –? menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan.

“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara? yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”

Peringatan Moh. Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa. Bahwa, baru beberapa tahun saja kemerdekaan berlalu, banyak orang Indonesia sudah kehilangan orientasi, egois, serba pamrih, dan tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Mereka berpikir, bahwa perjuangan sudah selesai, dan seolah-olah tujuan bangsa sudah tercapai. Sudah merdeka. Cukup!. Maka, tiap tahun rakyat dihibur dengan pesta-pesta 17 Agustusan. Menurut mereka, sekarang bukan saat untuk berjuang, tetapi saatnya untuk menikmati hasil perjuangan.

Sikap cepat berpuas diri dan ingin cepat-cepat menikmati hasil perjuangan itulah yang dikritik oleh Natsir. Kata Natsir, jika bangsa ini tidak mau tenggelam dihantam gelombang tantangan zaman, maka bangsa ini tidak boleh berhenti “mendayung”.? Untuk itu, Natsir berseru:

“Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkejauh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini… Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai… Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.” (M. Natsir, Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008, cet. Ke-2)

Sebagai Muslim tentu kita yakin bahwa Indonesia akan menjadi negara besar dan disegani di arena internasional jika bangsa ini mau berpegang teguh kepada ajaran Islam. Sebab, bangsa ini adalah bangsa Muslim. Mayoritas penduduknya Muslim. Kita yakin, karakter ajaran Islam dan kekayaan sejarah Islam, akan mampu mengantarkan bangsa ini ke arah kebangkitan yang sebenarnya. Kita yakin itu. Karena kita Muslim.

Abul Hasan Ali an-Nadwi, ulama besar India, dalam bukunya Maadza Khasiral ‘Alam bi-Inhithaathil Muslimin (Apa Kerugian Dunia Islam akibat Kemunduran kaum Muslim) menyebutkan, bahwa umat Islam adalah pemegang amanah risalah para Nabi dan Rasul Allah. Jika mereka lemah dan mundur, maka misi kenabian akan menjadi lemah. Umat Islam adalah bagaikan obat yang tugasnya menyembuhkan tubuh kemanusiaan. Banyak pemikiran Ali an-Nadwi yang menarik untuk dikaji. Natsir sendiri menganjurkan kaum Muslim Indonesia agar membaca buku-bukunya.

Tetapi, sejak zaman pra-kemerdekaan, para tokoh Islam sudah menawarkan konsep Islam sebagai dasar bagi negara RI. Dan kita tahu, usul itu ditolak oleh berbagai pihak, baik kaum non-Muslim maupun kaum sekular. Mereka lebih percaya kepada konsep-konsep lain untuk membangun bangsa ini. Tentu kita menghormati aspirasi mereka, meskipun kita tidak aka pernah berhenti menawarkan solusi Islam bagi kemanusiaan.

Sebagai pengemban amanah risalah dan pelanjut perjuangan para pendahulu kita, tugas kita sekarang bukan hanya membuktikan, bahwa secara konseptual Islam memang hebat. Tetapi, yang lebih penting adalah membuktikan konsep Islam itu dalam tataran realitas kehidupan kaum Muslim sendiri. Manusia-manusia Muslim harus menjadi manusia-manusia terbaik dan teladan di berbagai bidang kehidupan. Masyarakat Indonesia tidak akan mudah percaya kepada jalan Islam jika kaum Muslim sendiri – terutama para elitenya – gagal membuktikan ucapan-ucapan mereka sendiri.

Manusia-manusia Muslim haruslah menjadi sosok-sosok manusia merdeka. Mereka harus memiliki iman yang kokoh, rakus terhadap ilmu, kuat dan ikhlas dalam ibadah, berakhlak mulia, tidak diperbudak oleh hawa nafsu dunia, tigak gila harta, tidak gila kedudukan, dan gandrung popularitas. Kita tidak perlu menuntut orang lain untuk menjadi seperti itu. Tapi, diri kita dulu yang perlu bekerja dan berusaha sekuat tenaga agar menjadi “manusia merdeka”.

Kita bisa bertanya pada diri kita masing-masing, untuk apakah kita berniat menjadi Presiden, menjadi guru, menjadi menteri, menjadi anggota DPR, menjadi wartawan, menjadi mahasiswa, menjadi ketua organisasi, dan sebagainya?? Apakah semua posisi itu ingin kita raih dengan tujuan untuk beribadah dan berjuang di jalan Allah, atau hanya untuk memenuhi syahwat duniawi?? Apakah kita masih mau berlomba-lomba menjadi caleg, jika gaji anggota DPR disamakan dengan gaji guru SD/TK?

Jika kehidupan sudah dikuasai nafsu syahwat duniawi, maka kaum Muslim perlu memikirkan serius langkah perjuangan mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw:?? ‘Hendaklah kalian tetap melaksanakan amar makruf dan nahi munkar, hingga apabila engkau melihat egoisme yang ditaati, hawa nafsu yang dijadikan panutan, dunia yang diutamakan, dan tiap orang pandai bangga dengan pendapatnya sendiri, dan engkau mendapati persoalan terlalu sulit diatasi,? maka saat itu hendaklah engkau sibuk dengan diri sendiri dan tinggalkan (kecenderungan) kebanyakan orang. Sesungguhnya di hadapan kalian ada masa-masa dimana bertahan dengan kesabaran ibarat sedang menggenggam bara api. Orang yang berbuat pada masa-masa itu mendapat pahala yang setara dengan pahala lima puluh orang di antara kalian’.” (HR Baihaqi dan Ibn Majah).

Jika kondisi sudah rusak dan terlalu sulit diperbaiki, maka pelu dipikirkan tindakan al-insihab wal ‘audah (proses menarik diri untuk kembali). Tindakan ini tidak lari dari persoalan masyarakat, melainkan justru ingin melakukan perubahan mendasar terhadap masyarakatnya. Melalui gerakan ini, dilepaskanlah kecenderungan publik (yang dikuasai syahwat dunia) dan? dilakukanlah pembenahan internal untuk bersiap-siap melakukan gerakan lain yang strategis di masa depan. Dalam proses ini, dilakukan evalusasi serius? dan pembenahan terhadap pemikiran, kondisi jiwa dan perilakunya. Sebab, perjuangan membutuhkan pemikiran yang benar (sahih), amal ibadah yang sungguh-sungguh, dan keikhlasan yang tinggi.

Perjuangan harus dilakukan oleh manusia-manusia merdeka, yang tidak dijajah oleh hawa nafsu, tidak dirasuki sifat hubbud-dunya, riya’, dengki, dan berbagai penyakit lainnya.? Wallahu A’lam. [Depok, 26 Desember 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com