Thursday, 25 April 2024, 19:49

Mari kita simak sebuah artikel menarik yang disampaikan dalam Peringatan Nuzulul Qur`an bertema “Membumikan Al Qur`an”, diselenggarakan oleh Jamaah Shaffuddin Universitas Janabadra, Yogyakarta, di Musholla Ash Shaff, Universitas Janabadra, Yogyakarta, Senin, 3 Desember 2001

Pengertian Membumikan Al Qur`an
Ungkapan “membumikan Al Qur`an” secara implisit mengandung makna bahwa Al Qur`an kini masih “melangit” sehingga karenanya perlu dibumikan. Tentunya dalam pengertian hakikinya, Al Qur`an sebenarnya telah membumi begitu Allah menurunkan ayat Al Qur`an yang terakhir kepada Rasulullah SAW. Maka yang dimaksud dengan ungkapan “membumikan Al Qur`an” sebenarnya adalah maknanya yang majazi (metaforis), bukan makna hakikinya.

Dalam makna metaforiknya, perkataan “membumikan Al Qur`an” mengisyaratkan “jauhnya” Al Qur`an dari kenyataan kehidupan yang kita hadapi. Padahal, idealnya Al Qur`an itu “dekat” dengan kita. Dekat dengan kehidupan kita di sini, dan saat ini. Jadi “membumikan Al Qur`an” mengandung pengertian adanya upaya untuk mewujudkan “yang jauh” menjadi “yang dekat”, yakni mendekatkan dua kondisi yang berbeda, kondisi ideal Al Qur`an (das sollen) di satu sisi, dan kondisi nyata kehidupan umat (das sein), di sisi lain. Sekarang –katakanlah– yang diterapkan hanya 5 % saja dari Al Qur`an (das sein). Padahal seharusnya 100 % Al Qur`an harus diterapkan (das sollen). Untuk dapat mewujudkan kondisi ideal ini, diperlukan  upaya konkrit yang mendasar berupa aktivitas memahami dan menerapkan Al Qur`an itu ke dalam realitas yang ada. Memahami adalah aktivitas yang pertama, sedang buahnya adalah penerapan dalam kenyataan. Berangkat dari sini, maka “membumikan Al Qur`an” dapat diberi arti sebagai upaya memahami dan menerapkan Al Qur`an secara sempurna dalam realitas.

Namun segera perlu diingatkan di sini bahwa Al Qur`an dan Al Hadits (As Sunnah) sebenarnya adalah satu kesatuan. Maka ketika ada pernyataan “membumikan Al Qur`an”, dengan sendirinya sudah include di dalamnya “penerapan As Sunnah”. Firman Allah SWT :

Barangsiapa mentaati Rasul (mengikuti As Sunnah) sesungguhnya ia telah mentaati Allah (Mengiktui Al Qur`an).” (TQS An Nisaa` : 80)

Sabda Nabi SAW :

Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara, yang kalian tak akan tersesat bila berpegang pada keduanya : Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HSR. Muslim)

Dengan demikian, membumikan Al Qur`an sesungguhnya dapat dimaknai sebagai upaya untuk memahami dan menerapkan Islam itu sendiri secara sempurna dalam realitas.

Mengapa perlu membumikan Al Qur`an ? Jawabannya kiranya jelas. Bahwa sesungguhnya terdapat jurang yang sangat lebar antara tuntutan Al Qur`an yang ideal dengan kenyataan konkrit yang ada. Al Qur`an misalnya mengandung hukum-hukum kemasyarakatan yang luas, seperti hukum kriminal (uqubat) (lihat Al Baqarah : 178, Al Maidah : 38, An Nuur : 2) dan hukum kemasyarakatan (muamalah) seperti pengaturan masalah sosial, ekonomi, politik, dan bahkan hubungan internasional (Sahilun  A. Nasir, Ilmu Tafsir Al Qur`an, 1987, Al Ikhlas, Surabaya,  hlm.125 dan 130). Tapi berapa banyakkah di antara hukum itu yang diterapkan?

Adanya kenyataan inilah yang mendorong upaya untuk membumikan Al Qur`an, sebagai respons terhadap realitas yang sangat buruk dalam memperlakukan Al Qur`an. Al Qur`an (baca :agama) dalam sistem kehidupan sekularistik sekarang memang secara telanjang hanya dijadikan urusan pribadi, bukan urusan publik atau urusan negara. Kalaupun dijadikan urusan negara, itu pun terbatas pada masalah-masalah  ibadah mahdhah seperti ibadah haji, atau muamalah sempit seperti hukum keluarga (al ahwal asy syakhshiyah) seperti nikah, talak, cerai, rujuk, dan waris. Maka dari itu, membumikan Al Qur`an (baca : Islam) sesungguhnya adalah jawaban terhadap realitas ini.

Syarat-Syarat Pembumian Al Qur`an
Seperti diuraikan di muka “membumikan Al Qur`an” adalah upaya memahami dan menerapkan Al Qur`an secara sempurna dalam realitas. Dari sini dapat dirumuskan bahwa syarat untuk membumikan Al Qur`an ada 2 (dua):

Pertama, adanya pemahaman yang sahih terhadap Al Qur`an.

Kedua, adanya penerapan yang sahih terhadap Al Qur`an.

Pemahaman yang sahih terhadap Al Qur`an diperoleh dengan cara mempelajari Al Qur`an dengan perangkat-perangkat ilmu-ilmu keislaman yang bertolak dari Aqidah Islamiyah (tsaqafah Islamiyah). Misalnya ilmu tafsir, ilmu hadits, bahasa Arab, dan sebagainya.

Jadi pemahaman Al Qur`an tidaklah menggunakan perangkat ilmu-ilmu sosial yang lahir dari peradaban Barat, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi (kapitalisme), politik (demokrasi), dan seterusnya. Ilmu-ilmu semacam ini lahir dari aqidah Sekularisme (fashluddin ‘anil hayah), yang secara ideologis tidaklah selaras dengan Al Qur`an.

Sedang penerapan yang sahih terhadap Al Qur`an, adalah penerapan melalui institusi negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab hanya dengan institusi inilah penerapan Al Qur`an secara sempurna akan dapat diwujudkan. Memang untuk nilai-nilai atau hukum-hukum yang bersifat individual, seperti sholat dan zakat, penerapan Al Qur`an dapat langsung dilakukan oleh individu. Akan tetapi penerapan hukum-hukum kemasyarakatan seperti sistem politik dan ekonomi Islam sangatlah mustahil tanpa adanya institusi yang relevan untuk itu, yaitu negara Khilafah.

Negara yang ada sekarang, sesungguhnya tidaklah mampu memikul tugas menerapkan Al Qur`an secara paripurna, sebab negara republik yang ada sekarang tidak diciptakan untuk mengabdi kepda Islam. Ssitem republik tercipta dalam konteks sosio-historis khas Eropa pasca Abad Tengah, yang bersifat sekularistik. Maka mengharap penerapan Al Qur`an dalam kerangka negara republik adalah mimpi di siang bolong.

Dari dua syarat pembumian Al Qur`an yang dikemukakan di atas, dapat dipahami pula faktor-faktor yang menghambat pembumian Al Qur`an. Yaitu, pertama, adanya ide-ide Barat (seperti demokrasi, pluralisme, HAM) yang dijadikan standar dan pedoman dalam mempelajari Al Qur`an. Kedua, adanya insitusi negara republik yang sekuler. Maka dari itu, mari kita upayakan pembumian Al Qur`an dengan cara memerangi ide-ide Barat yang bertentangan dengan Islam, dan juga menghadirkan kembali institusi negara Islam yang dapat mengemban amanah menerapkan Al Qur`an secara sempurna. Itulah tugas kita bersama. [Muhammad Shiddiq Al Jawi]

3 thoughts on “Membumikan Al Qur’an

  1. Saya sudah memberanikan diri untuk melakukannya dengan menulis beberapa buku yang melihat manfaat kesehatan pada ibadah, seperti shalat, shaum dan haji. Dalam buku fikih kesehatan saya mengatakan bahwa bila semua ketentuanNya diikuti maka insyaAllah kita dapat mencegah hampir semua penyakit. Buku-buku itu dapat dicari di toko buku Gramedia.

  2. pembumian alquran adalah hal yang mutlak harus dilakukan. karena alquran adalah pedoman hidup yang harus dijadikan pedoman bukan sekedar tontonan atau bacaan. namun ada beberapa hal yang mesti dicermati:
    1. pemahaman yang benar terhadap alquran. pemahaman siapa yang dianggap benar. apakah pemahaman cendikiawan timur tengah. tidak. menurut saya bukan itu. kita harus membuka diri dengan semua ilmu baik itu dari barat maupun dari timur. kita harus selektif teori apapun jika itu benar tidak pandang bulu bapakah itu teoti dari barat atau yang lain kita harus mengakomodirnya untuk memahami alquran. karena sejatinya ” tidak ada ilmu bagi kita selain yang Tuhan ajarkan kepada kita”
    2. penerapan dan pembumian alquran tidak akan tercapai kecuuli dengan sistem khalifah. dari mana stetemen ini muncul dan apa landasan. sistem khalifah yang mana yang dimaksud? apapun sistem yang diterapkan dalam sebuah negara sebenarnya mempunyai peluang yang sama untuk memberlakukan islam tergantung siapa yang menjalankan sistem itu. kita harus ingat ungkapan muhammad abduh ” saya melihat islam di barat namun tidak melihat muslim di sana” ketika ia berkunjung di barat. ternyata menurut beliau niali islam dapat terwujud di barat dengan sistem pemerintahannya. kita harus mengakui juga bahwa misi islam salah satunya adalah menyejahterakan manusia dan ternyata masyarakat barat lebih sejahtera. dan beliau juga berkata,” aku melihat muslim di timur namun aku tidak melihat islam di sana” saat dia berkunjun ke dunia timut islam. di mengatakan hal itu karena ia melihat nilai islam di sana hanya menjadi wacana atau dengan istilah ini nilai islam masih tinggal di langit belum turun apalagi membumi. apapun bentuk pemerintahannya selama tujuan dan nilai islam dapat terwujud lebih baik daripada memperjuangkan sistem yang khayaknya islami namun belum tentu mampu menjamin keberlangsungan dan pelestarian nilai islam. apa yang ada dibenahi. melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.

Comments are closed.