Monday, 9 December 2024, 02:29

Bisnis narkoba kian berkibar. Sulit dihentikan. Maklum saja, peredaran barang haram ini dikelola secara profesional dan mendunia, bahkan adakalanya dilindungi negara. Kartel-kartel obat bius merajai pasar-pasar dunia. Sejauh mana kekuatan jaringan mereka?

Situs berita satunet.com tanggal 3 September 2002 melaporkan bahwa Pedro Navarrete, asal Cili, ditangkap di Medelin, ketika dia sedang melakukan pertemuan dengan para pedagang obat bius lainnya. Demikian dikatakan Leo Arreguin, kepala Dinas Pencegahan Obat Bius (Drug Enforcement Administration, DEA) AS di Kolombia. Sejumlah agen DEA di Kolombia membantu polisi setempat untuk melakukan penyelidikan.

Navarrete selama ini dijadikan buron oleh pengadilan federal Florida, AS, dengan tuduhan penyelundupan obat bius. “Dia adalah salah seorang pemegang hak utama untuk mengirimkan obat bius ke AS,” kata Arreguin, dan menambahkan Navarrete dituduh telah mengirimkan sekitar 33 ton kokain dari Kolombia ke AS, biasanya melalui Meksiko dan Karibia.

Jumlah sebanyak itu pantas untuk kena cekal. Kalo lolos juga, emang ada kong-kalingkong dengan pihak keamanan setempat. Atau bisa juga kena cekal karena ?setorannya’ kurang kenceng. Dan jangan heran dulu dengan keberhasilan operasi itu, sangat boleh jadi angka 33 ton yang diekspor keluar Kolombia, barangkali cuma sekian persen saja dari total produksi obat bius Kolombia. Sebab, pada tahun 1990 aja, DEA memperkirakan produksi kokain yang diekspor Kolombia bisa menyentuh angka 500 ton sampai 800 ton setahun. Sekadar tahu saja, Kolombia merupakan penghasil 80 persen kokain dunia. Perdagangan obat bius di negara Amerika Selatan telah menghidupkan perang saudara berkepanjangan di sana dan mengakibatkan sekitar 3.500 orang tewas tiap tahun. Walah?

From Columbia with cocaine

Kolombia biangnya obat bius? Benar. Sampe-sampe ada bos mafia yang sampai sekarang namanya jadi legenda, Pablo Escobar. Pria bertubuh tambun dan berkumis tebel ini bernama lengkap Pablo Emilio Escobar Gaviria, merupakan buronan nomor wahid (lengkapnya lihat box). Selain sangat licin, doi juga kerapkali ?dilindungi’ negaranya.

Dengan penguasaan produksi kokain sampe 80 persen,? tentunya Kolombia udah punya jaringan khususnya untuk memasarkan dagangannya di kantong-kantong potensial. Sampai saat ini, pasar potensial peredaran narkoba itu ada di Amerika, Eropa, Afrika, bahkan sudah menjamah Asia, termasuk negeri ini. Bahkan, negerinya Mak Lampir ini menjadi tujuan akhir dari peredaran narkoba di dunia, berarti sebagian besar dari masyarakat kita menjadi target utama penjualan. Hati-hati lho (Direktorat Narkoba, Mabes Polri, 2001).

Bila Indonesia menjadi target utama penjualan narkoba, itu sama artinya memberi peluang pekerjaan untuk menjadi pengedarnya. Lebih tepatnya barangkali menyuburkan minat orang untuk menjadi bos besarnya. Dugaan tersebut hampir sepenuhnya benar. Sebab, menurut harian The Age, Tommy Soeharto diduga kuat terlibat sindikat perdagangan obat bius Kolombia. Disebutkan bahwa Tommy mengutang US 2 juta dollar kepada Kartel Medellin. The Age mengutip sebuah memorandum intern Australian Federal Police (AFP). Dalam memo itu terungkap keluhan seorang pimpinan AFP yang anak buahnya dimutasikan dari bagian operasi gara-gara, ya itu tadi, menyidik kasus dugaan keterlibatan Tommy dan Arie dalam perdagangan obat bius di negeri Kanguru itu.

Tapi, kabar lebih dahsyat justru datang dari Belanda. Kisahnya dimuat tabloid Vrij Nederland, edisi 30 Mei 1998. Sumbernya adalah sebuah buku berjudul “Buda Negro” karya Jose Pablo Bunster. Warga negara Chili ini mengaku sebagai partner Tommy memasok narkotik ke Indonesia. Weleh weleh!

Dan tentunya tuduhan seperti itu tidak saja dialamatkan kepada anak mantan orang nomor satu di negeri ini. Sangat boleh jadi, kini banyak pihak bermain di bisnis basah yang tak kenal kata sepi order. Tabloid AKSI vol. 4 No. 200 (30 Nopember -2 Desember 1999) menurunkan berita seputar narkoba. Beritanya? Ternyata peredaran narkoba di negeri ini melibatkan sindikat internasional. Kapolri Jenderal Roesmanhadi (waktu itu), yang dikutip AKSI, menyebutkan bahwa berbagai jenis kokain dan heroin masuk ke Indonesia melalui jalur udara, laut dan darat. Bubuk itu ada yang datang bersama penumpang (body wraping/swallowed) maupun disembunyikan dalam barang bawaan dan kiriman. Kapolri juga menyebutkan bahwa daerah asal heroin dari the golden triangle dan kokain berasal dari Kolombia, Peru dan Brazilia. Para penyelundup dari Guang Zhou (Cina) pun yang membawa sabu-sabu alias nethamphetaine bebas melenggang.

Tanggal 23 Desember 2001 saja, Polda NTB juga memusnahkan 298 kilogram hasis seharga Rp 59,6 miliar milik Niel Christian Rambek alias Nicolas Paul Rabbut yang hingga kini belum tertangkap. Ia juga diketahui memiliki hubungan dengan dua penyalur asing lainnya, Bruce Craig dan Michael David Bechler, yang belum tertangkap.

Aneh memang, meski pengawasan diperketat, tetap saja barang haram itu lolos dan sampe ke pengguna. Sekarang saja, masih banyak dijumpai kasus-kasus penangkapan para pengedar dan pengguna kelas teri di sini. Sementara bandar besarnya? sulit banget ditembus aparat keamanan. Membingungkan. Begitu kautkah jaringan narkoba ini, atau pihak keamanan dan pejabat setempat yang mudah dikelabui dan dikasih ?salam tempel’ oleh the big boss-nya?

Para juragan bisnis obat bius ini, umumnya menggunakan jaringan terputus (cell and cut), sehingga di antara mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Khusus untuk trafficker narkotika, pada umumnya berasal dari kalangan pemuda warga negara Afrika yang seringkali memanfaatkan wanita Indonesia. Untuk sindikat psikotropika masih didominasi oleh kelompok Cina Hongkong dan Cina Indonesia. Peredarannya di Indonesia menggunakan infra struktur bisnis hiburan terutama diskotik, caf?, karaoke dan salon kecantikan. Selain itu, mereka bekerjasama dengan pembuat passport palsu, sehingga dapat berganti-ganti passport serta menggunakan alat komunikasi telepon selular pra bayar (pre-paid) sehingga menyulitkan petugas dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Terakhir, sindikat kejahatan narkoba yang saling terkait adalah yang berasal dari Cina, Nigeria dan Australia.

Jadi, bos mafia obat bius sekelas Pablo Escobar boleh koit. Kartel Medellin yang dipimpinnya boleh berantakan, tapi bisnis sejenis tetap jalan, bahkan semakin mulus. Sebelumnya, banyak kartel lain yang kalah bersaing dengan Pablo Escobar. Sebab, seluruh lalu lintas perdagangan obat bius nyaris dikuasai oleh kartel Medellin.

Jika benar Indonesia menjadi tujuan akhir, dugaan itu pun tak sepenuhnya salah. Buktinya, situasi kejahatan narkoba di negeri ini sudah mencapai derajat yang mengkhawatirkan. Selama empat tahun terakhir (1998-2001), jumlah kasus menunjukkan peningkatan yang tajam. Sebagai contoh, kalo di tahun 1998 jumlah kasus NAZA mencapai angka 958 kasus, maka di tahun 2001 sudah menyentuh angka hampir empat kali lipatnya (3617 kasus). Data ini sekaligus menunjukkan betapa jaringan or sindikat pengedar barang haram ini masih bisa bebas beroperasi.

Potret buram kapitalisme

Di balik suksesnya kartel-kartel obat bius dunia dalam mengeruk keuntung an bisnisnya, ditambah kendornya pengamanan negara untuk mencegah beredarnya barang-barang haram itu, kian menumbuhkan keyakinan kepada kita bahwa inilah potret buram dalam kehidupan kapitalisme. Peredaran narkoba ibarat lingkaran setan. Semua pihak bisa kena. Jadi mbulet. Karena saling terkait satu sama lain.

Mengapa mereka bisa leluasa menjajakan dagangannya? Karena pihak keamanan seolah tutup mata tutup telinga. Cuek. Kenapa pihak keamanan dan pejabat negara setempat melakukan ATM, alias aksi tutup mata? Karena banyak uang beredar di bisnis basah itu. Bahkan pemerintah Kolombia ikut terlibat dalam mengamankan bisnis sang raja obat bius Pablo Escobar. Pemimpin kartel Medellin ini, punya banyak link dengan pejabat negara Kolombia. Itu sebabnya, Escobar selalu lolos dari sergapan pasukan DEA sekalipun. Sampe-sampe ada anekdot, kalo Kolombia adalah negara yang dibiayai dari bisnis narkoba. Nggak berlebihan tentunya.

Kian jelas aja bahwa semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme, termasuk negeri ini, selalu bermasalah dalam menangani setiap persoalan kehidupan yang dialaminya. Dalam kasus ini saja, pemerintah nyaris kehilangan tenaga dan akal untuk membendung banjirnya peredaran narkoba. Buktinya, hampir tiap hari kita disibukkan dengan mendengar dan membaca berita seputar narkoba. Anehnya, berita itu seperti tak pernah habis disampaikan. Selalu ada, alias nggak pernah kelar-kelar. Menyedihkan.

Padahal, kalo mau serius menangani, sebenarnya bisa dituntaskan. Persoalannnya, kembali kepada itikad baik pemerintah dalam membereskan kasus ini. Seharusnya emang bisa, apalagi banyak masyarakat sekarang mulai gerah dengan maraknya peredaran narkoba.

Korban sudah berjatuhan. Tak baik kalo hanya tinggal diam. Saatnya perangi narkoba. Memang sih, selama para pempimpin kita masih betah bermesraan dengan sistem kapitalisme, maka masalahnya nggak bakalan kelar-kelar. Sebaliknya seperti sekarang, narkoba kian tak terbendung. Bahkan barang haram ini udah jadi salah satu senjata pamungkas untuk membunuh masa depan remaja kita.

Ya, seandainya semua negara di dunia menjalin kerjasama dalam memutus jaringan peredaran narkoba yang sudah mendunia ini, kayaknya bisa segera tuntas. Sayangnya, masing-masing juga masih dipusingkan dengan persoalan internal yang makin tak karuan. Inilah kapitalisme. Memang bikin rusak. Bahkan maraknya narkoba adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dari sistem kapitalisme. Tentunya kita ogah dipusingkan lagi dengan munculnya ?Pablo Escobar-Pablo Escobar’ baru yang melenggang tenang di jalur ini dengan jaringan yang menggurita di seluruh dunia. Jadi, tinggalkan kapitalisme! [sholihin, dari berbagai sumber]

BOX:

Akhir Petualangan Pablo Escobar

Pablo Emilio Escobar Gaviria, adalah bos kartel Medellin Kolombia. Sebelumnya doi adalah anggota biasa kartel tersebut. ?Tapi karena repuasinya yang oke, akhirnya bisa juga menempati posisi menggiurkan itu. Prestasinya di dunia hitam ini melambung namanya sejak awal tahun 80-an. Kesohor taktis, lihai, dan raja tega. Seringkali doi merepotkan DEA, sebagai lembaga yang khusus menanggulangi tindak kejahatan narkoba. Pemerintah Amerika serikat dan Kolombia rela mengeluarkan dana lebih dari US 8,7 juta dollar hanya untuk menangkap gembong obat bius ini. Ia sangat licin, karena senantiasa dilindungi oleh banyak oknum negara Kolombia yang sudah kena sogok kartel Medellin. Menurut catatan DEA, sepanjang tahun 1990 kartel Medellin ini kerap meneror dan menyatakan perang terhadap pemerintah Kolombia dalam upayanya mencegah ekstradisi beberapa warga Kolombia yang terlibat jaringan mereka.

Pablo Escobar dan beberapa pemimpin kartel Medellin, dicap sebagai orang-orang yang berpotensi untuk diekstradisi karena tindakannya dalam melakukan kekerasan untuk mencoba menekan pemerintah Kolombia supaya menyetujui undang-undangan antiekstradisi. Kartel Medellin ini pun bertanggung jawab atas pembunuhan terhadap lusinan pejabat pemerintah yang dianggap tak memihak mereka, dan sejumlah kasus penyuapan. ?Anehnya’, pada Juli 1991, kongres Kolombia mengadopsi undang-undang baru yang melarang pengesktradisian warga Kolombia, dan itu dianggap sebagai kemenangan besar bagi kartel Medellin.

Juli 1992, Escobar ?dibebaskan’ dari penjara Envigado, untuk menghindarkan dirinya dijebloskan ke penjara Bogota setelah melakukan pembunuhan terhadap 22 orang dari komplotan pengedar obat bius lainnya. Bahkan satu atau dua orang korbannya disiksa, kemudian dibunuh dan mayatnya dikubur di penjara Envigado.

Selama 17 bulan Escobar menjadi orang yang paling diburu dalam sejarah buronan Kolombia.? Pada 2 Desember 1993, Escobar menemui ajalnya sehari setelah ia merayakan ulang tahunnya yang ke-44. Saat itu, doi dan komplotannya terlibat baku tembak dengan CNP (Columbian National Police) di dekat kediaman pribadinya di pusat kota Medellin. Tak lama kemudian kartel Medellin ini pun bubar. [solihin, dari berbagai sumber]

[diambil dari Majalah PERMATA, edisi Oktober 2002]