Friday, 19 April 2024, 13:56

Peta Jalan Damai yang digagas AS hangus sudah. Israel terus memburu pejuang muslim di Palestina. Hamas dan Jihad Islam balas menyerang. Pro dan kontra pun merembet ke tubuh Pemerintah Otoritas Palestina. Benarkah AS menyiapkan skenario Irak untuk Palestina?

Chaos. Itu kata yang tepat untuk menggambarkan situasi politik di Palestina pasca skenario Peta Jalan Perdamaian. Usulan yang dilontarkan AS pada bulan Mei 2003 gagal total mewujudkan ambisi AS untuk mendamaikan Israel dan Palestina. Adalah nafsu imperialisme Israel yang bertentangan dengan tujuan peta jalan yang bermaksud menyelesaikan secara keseluruhan dan universal konflik Israel – Palestina hingga 2005.

Dalam keputusan tersebut juga ditetapkan dengan jelas batas-batas negara Palestina dan Israel. Israel diberi 54% dari wilayah Palestina seperti yang diketahui. Sementara Peta Jalan menjadikan tema Palestina sebagai sebagai sesuatu yang masih bisa dirundingkan. Ditambah lagi tema pengungsian, Yerusalem dan wilayah-wilayah lain yang diduduki.

Sementara itu Sharon sama sekali tidak ingin melepaskan diri dari Palestina, kecuali hanya memberikan 22% dari wilayah Palestina. Itupun dengan syarat pemerintah Palestina tidak menuntut kembalinya pengungsi ke wilayah yang dikuasai Israel berdasarkan keputusan Amerika no (194, 11/12/1948). Keputusan yang berkaitan dengan pembagian wilayah, hak kembali warga Palestina tersebut dikukuhkan kembali hingga hari ini. Karena itu, Sharon bersikukuh untuk tidak menarik diri dari wilayah jajahan manapun, baik di Tepi Barat, Jalur Gaza, atau dataran tinggi Golan.

Pembangkangan Sharon ditandai dengan tetap berjalannya aksi teror Israel. Militer Israel menyerang pimpinan Hamas Abdel Azis justru ketika kelompok perjuangan Islam Hamas, Jihad Islam dan faksi-faksi Palestina lainnya mengumumkan gencatan senjata pada akhir Juni lalu.

Pada tanggal 14 Agustus militer Israel membunuh salah satu pimpinan lokal Jihad Islam, Mohammad Sedar. Pembunuhan itu dibalas dengan serangan bom syahid pejuang muslim terhadap sebuah bus di daerah Mea Shearim, Jerusalem, pada tanggal 20 Agustus. Sebanyak 20 orang meninggal, 130 orang luka-luka –50 di antaranya luka parah– dan 13 orang lainnya berada dalam keadaan kritis.

Puncaknya pada tanggal 21 Agustus lalu salah satu tokoh utama Hamas Ismail Abu Shanab dan dua orang pengawalnya tewas dihajar lima roket udara milik militer Israel di Gaza. Israel berkilah kebijakan tersebut murni usaha pembelaan diri warga Israel. ”Ini benar-benar sebuah upaya pembelaan diri kami dimana kami melakukan hal itu kepada mereka yang telah menyerang kami,” tegas Avi Pazner, Jubir Pemerintah Israel.

Kematian Ismail Abu Shanab menyulut kemarahan faksi-faksi pejuang muslim di Palestina. Hasilnya Hamas dan Jihad Islam menyatakan bahwa chase fire berakhir setelah 7 minggu berjalan. Himbauan Presiden Palestina Arafat ditanggapi dingin oleh para pejuang muslim.

“Hamas menolak imbauan (Arafat) untuk memulai kembali gencatan senjata karena pihak Zionis Israel telah merusak gencatan senjata tersebut dengan pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan terhadap wanita, anak-anak dan para pemimpin politik Palestina,” kata pemimpin politik Hamas Abdelaziz Rantissi kepada AFP. “Kami tidak dapat berbicara tentang gencatan senjata sementara agresi terhadap rakyat Palestian terus dilakukan,” katanya.

Berangus & Intervensi
Sebenarnya road map perdamaian adalah siasat kotor AS untuk mengukuhkan kekuasaannya di Palestina dan kawasan Timur tengah. Salah satu hidden agenda dibalik peta perdamaian itu adalah memberangus faktor penghambat ‘perdamaian’ di Palestina yakni gerakan-gerakan perlawanan Islam seperti Hamas dan Jihad Islam.

Langkah AS dimulai dengan merestui pengangkatan Mahmoud Abbas atau Abu Mazen sebagai Perdana Menteri Palestina. AS berharap Abu Mazen cukup berani untuk mematikan langkah Hamas dan faksi-faksi ‘militan’ lainnya.

Awalnya Abu Mazen cukup bergigi. Ia mengecam keras aksi-aksi balasan yang dilancarkan Hamas dan Jihad Islam terhadap militer Israel, dan menyebutnya ‘tidak bermanfaat’ bagi bangsa Palestina. Bahkan pemerintahan Otorita Palestina (OP) memutuskan seluruh kontaknya dengan dua gerakan perlawanan Palestina terkemuka, Hamas dan Jihad Islami setelah peristiwa peledakan bom syahid tersebut. Seorang petinggi OP menyatakan bahwa PM Mahmud Abbas (Abu Mazen) akan mengambil tindakan terhadap dua gerakan resistensi Palestina itu yang dianggap paling bertanggung jawab dalam aksi bom syahid kemarin sore.

Sikap Abu Mazan didukung oleh Menteri urusan Perdana Menteri, Yasir Abdurabbu. “Apapun alasannya suatu operasi tidak dapat dibenarkan. Apabila itu sebagai respon terhadap kriminalitas Israel di masa lalu maka kita tidak menginginkan masuk dalam suasana chaos yang hanya dimanfaatkan Israel,� katanya kepada stasiun televisi Al Jazeera. Ia juga menyalahkan JI sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam operasi mematikan itu yang diklaimnya hanya memecahbelah kesatuan bangsa Palestina.

Namun sikap ini berseberangan dengan Arafat yang meski masih mengharapkan peta perdamaian berjalan mulus tapi mengecam keras Israel. Dalam wawancara tanpa kamera oleh saluran CNN Selasa (2/9) dari markasnya di Ramallah menegaskan bahwa “Peta Jalan� damai telah mati oleh karena agresi militer Israel dalam beberapa pekan terakhir.� Ia juga menggarisbawahi bahwa Washington tidak berbuat banyak untuk menyelamatkan cetak biru perdamaian di Timur Tengah.

Pernyataan Arafat itu buru-buru diluruskan oleh seorang petinggi pemerintahan Otoritas Palestina. Di hari Rabu (3/9), seorang penasehat senior Arafat mengkonfirmasi komitmen Palestina pada Peta Jalan yang diusung empat pihak di atas. Menurut Nabi Abu Rudeina kepada Agence France Presse (AFP) mengatakan, “Palestina akan terus menghormati Peta Jalan, dan ia masih eksis.� Dengan demikian road map ini juga berpeluang memancing perang saudara di tengah-tengah bangsa Palestina.

Namun Mahmoud Abbas yang tidak tahan dengan tekanan dari dalam dan luar Palestina justru memilih mundur dari jabatannya. Dalam perbincangannya dengan jaringan televisi Al Akhbar (6/9), Abu Mazan menegaskan pihaknya mengundurkan diri untuk menghindari pertentangan, yang pada gilirannya menimbulkan perang saudara. Sebelumnya, Abu Mazan telah beberapa kali mengancam akan mengundurkan diri jika Presiden Arafat tidak memberikan kekuasaan yang lebih luas terhadapnya.

Skenario lain untuk berkuasa di Palestina juga terwujud dari rencana AS dan Israel untuk mendongkel Presiden Palestina Arafat yang mereka anggap telah gagal menghentikan perjuangan kelompok Islam. Ini terbaca dari pernyataan Jurubicara Gedung Putih Claire Buchan di Washington, Rabu (27/8) yang meremehkan imbauan Arafat kepada kelompok-kelompok garis keras Palestina untuk melakukan gencatan senjata, dan mengatakan yang diperlukan adalah melenyapkan organisasi-organisasi itu dan Arafat adalah “bagian dari persoalan itu”. Buchan menegaskan tuntutan AS agar Arafat menyerahkan pasukan keamanan kepada PM Mahmud Abbas.

Keuntungan lain bagi AS dari kisruhnya Peta Jalan Damai adalah kian mulusnya peluang untuk terlibat secara militer ke kawasan tersebut. Bila ini terjadi maka akan terulanglah skenario Aghanistan atau Irak. Hal ini tercetus dari seruan Presiden AS George Bush kepada dunia internasional untuk menyatakan tegas bahwa Hamas adalah organisasi teroris. “Saya serukan pada seluruh negara yang mendukung perdamaian di Timur Tengah untuk menganggap bahwa Hamas adalah organisasi teroris. Dan semua negara harus melakukan tindakan yang sesuai untuk memutus hubungan apapun dengan organisasi teroris itu,� demikian ujar Bush. Ia mengatakan telah membekukan simpanan dana dari 6 petinggi Hamas dan 5 organisasi yang sebagian bermarkas di Eropa, lantaran dituding sebagai pendukung aksi teroris.

Sejumlah senator AS juga mengemukakan dukungannya agar tentara AS melakukan intervensi dalam konflik Timur Tengah, antara Palestina dan Israel. Richard Loger, kepala Komisi Urusan Luar Negeri di Senat AS menjelaskan bahwa pemerintah Washington hendaknya mulai mempelajari kemungkinan mengirim pasukannya dan pasukan sekutunya ke Timur tengah untuk menstabilkan keadaan. “Saya yakin ini merupakan langkah yang mendesak,� katanya.

Ia menambahkan bahwa Amerika dan para sekutunya dalam tubuh NATO harus segera campur tangan dalam konflik di Timur Tengah untuk menghabisi aksi aksi terorisme. “Kaum teroris di sana sudah merusak kesempatan damai,� tandasnya.

Sementara itu Dyan F, anggota Partai Demokrat yang dalam forum Senat AS juga menyuarakan hal yang sama, bahwa keterlibatan militer tentara AS di Timur Tengah merupakan langkah mendesak. Ia mengatakan bahwa orang Palestina lebih dari membutuhkan sekedar penyebaran pasukan pemantau perdamaian dari PBB atau AS. Menurutnya, pasukan pemantau perdamaian PBB tidak mencukupi di sana, melainkan harus dengan pasukan militer yang mampu mematahkan kekuatan teroris.

Bila sudah begini, masih bebalkah kaum muslimin untuk percaya pada skenario damai yang ditawarkan Israel dan AS? Mungkin lebih tepat apa yang diucapkan Nafiz Azzam, petinggi JI dalam pernyataannya kepada Al Jazeera : “Kami kira Israel yang membahayakan setiap kepentingan Palestina dan mempermainkan nasib serta masa depannya. Tidak masuk akal bila hanya rakyat Palestina diharap menahan diri sementara tanah negeri mereka terus dijajah dan dinodai.�

Nah, dengan demikian hanya ada satu kata dan sikap untuk Israel dan AS: Jihad! Allahu Akbar! [Iwan Januar, dari berbagai sumber]