Saturday, 20 April 2024, 22:28

gaulislam edisi 475/tahun ke-10 (28 Safar 1438 H/ 28 November 2016)

 

Wah, kalo ngomongin kata “bela”, saat ini sih identik dengan aksi massa. Ya, udah 2 kali terjadi tahun ini dengan gelombang massa pengunjuk rasa yang besar. Pertama tanggal 14 Oktober 2016. Kedua, lebih besar lagi, tanggal 4 November 2016. Ketiganya kapan? Insya Allah akan digelar tanggal 2 Desember 2016. Unjuk rasa yang terkenal adalah yang kedua, bahkan bapak presiden saja mengaku kaget karena info yang didapat dari intelijen soal jumlah massa nggak akurat. Menurut data intelijen, massa yang akan berunjuk rasa ditaksir 30 ribuan orang. Eh, nyatanya lebih dari 200 ribu orang (bahkan ada juga yang mengabarkan, bahwa massa yang hadir di Aksi Bela Islam II mencapai 2,3 juta orang). BTW, saya juga ikutan lho bareng santri Pesantren Media di aksi massa tersebut. Sekaligus ngajakin hunting foto karena ada pelajaran fotografi di pondok kami. Ikut merasakan gelombang massa yang besar karena berada di antara mereka. Pengalaman yang berkesan banget. MasyaAllah. Luar biasa!

Sobat gaulislam, kamu sebagai remaja juga wajib bela Islam, lho. Beneran. Jangan sampe hidupmu di masa remaja habis hanya untuk maen gim, nonton film, nonton konser musik, jadi anak alay, atau malah banyak tidurnya. Nggak banget, dong! Tetapi kudu menyiapkan diri jadi pembela dan bila memungkinkan menjadi pejuang Islam. Keren banget, itu!

Nah, mungkin ada di antara kamu yang bertanya, “ngapain kudu bela Islam segala, sih?” Hmm.. gitu ya? Begini sobat. Kalo kamu mencintai Islam, berarti kudu berani berkorban untuk menjaganya, dan juga membelanya. Masa’ sih, kamu cuma berani berkorban saat gadget kamu ada yang merusak atau gadget-mu hendak dirampok orang. Itu juga perlu. Lebih bagus lagi kalo ada yang menghina Islam, kamu kudu lebih gahar membela dan melawan pihak yang membenci Islam tersebut. Begitu seharusnya, memang. Kalo nggak tersinggung atau cuma diem aja? Berarti kamu perlu tahu nasihat al-Hâfidz Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Bahjatul Majâlis. Beliau menyindir orang yang diam saja ketika agamanya dihina, dengan sebuah sya’ir:

أخي إن من الرجال بهيمةً – في صورة الرجل السميع المبصر

فطن لكلّ مصيبة في ماله – وإذا يُصاب بدينه لم يَشعُر

“Wahai saudaraku, sesungguhnya sebagian laki-laki itu layaknya binatang ternak, dalam bentuk seorang laki-laki yang mendengar dan melihat. Dia cerdas untuk setiap musibah yang menimpa hartanya, tetapi ketika musibah tersebut menimpa agamanya dia tidak merasakan (apa-apa).”

Tuh, jadi udah tahu kan konsekuensinya? Sip. Berarti kamu dan kita semua sebagia muslim (termasuk di dalamnya kalangan remaja) harus siap dan berani untuk membela Islam. Insya Allah. Semangat!

 

Mengapa perlu bela Islam?

Sobat gaulislam, selain karena kita muslim, juga ada alasan yang jelas saat ini. Ahok, si penista al-Quran masih berkeliaran walau polri sudah menetapkan si ‘mulut jamban’ itu jadi tersangka. Aneh memang. Sudah terbukti bersalah, jadi tersangka tapi tak ditangkap, apalagi ditahan? Ironi negeri ini. Ini karena negeri kita memang tidak menerapkan Islam sebagai ideologi negara. Maka, jika Islam yang diterapkan sudah pasti Ahok sudah dihukum sejak awal terbukti bersalah. Tidak dilama-lamain kayak sekarang. Sistem demokrasi dalam ideologi kapitalisme memang tak akan berpihak sepenuhnya pada Islam dan kaum muslimin. Ini yang wajib disadari oleh kita semua. Beneran. Maka, langkah berikutnya adalah kita harus mengkampanyekan wajibnya menegakkan Islam sebagai ideologi negara. Harus itu. Sebab, sistem yang diterapkan saat ini bukan Islam. Wajar kalo kemudian tak akan pernah benar-benar membela Islam dan kepentingan kaum muslimin. Buktinya, lebih memilih belain si Ahok ketimbang menghukumnya, padahal dia sudah menistakan al-Quran. Jutaan kaum muslimin yang hadir di Aksi Bela Islam II di 4 November 2016 menuntut hukuman bagi Ahok pun dikacangin. Sungguh terlalu!

Ngomong-ngomong tentang penerapan syariat Islam oleh negara, ini juga akan berkaitan erat dengan pelaksanaan syariat Islam yang lainnya. Nah, agar pelaksanaan syariat Islam bisa terus berjalan, negara terus tegak, sehingga berbagai kesejahteraan, keamanan, dan perlindungan lainnya tetap bisa dirasakan, maka kewajiban bela negara menjadi bagian yang nggak bisa dipisahin dalam kehidupan warga negara Islam. Kamu perlu tahu itu.

Sebagai sebuah ideologi, tentunya Islam memiliki dong yang namanya sistem keamanan dan pertahanan negara. Bahkan dalam keadaan tertentu, misalnya terjadi pemberontakan di suatu tempat negara wajib untuk meredamnya. Nggak boleh tinggal diam aja, tapi harus melawan setiap para pemberontak dan bahkan negara lain yang bakalan menginjak-injak kedaulatan negara kita.

Itu sebabnya, kita rindu banget dengan kehadiran Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara. Kita nggak boleh cuek lho, karena ini adalah bagian dari kewajiban kita untuk memperjuangkannya. Islam sebagai ideologi negara udah hancur sekitar 92 tahun lalu (3 Maret 1924). Jadi, tugas kita-kita nih untuk kembali menghadirkannya sebagai kekuatan dan penyelamat umat manusia di dunia.

Jangan salah lho, kewajiban mendirikan negara Islam (Khilafah Islamiyah) itu udah diserukan banyak ulama. Imam Ibnu Taimiyyah berkata, “Harus dipahami bahwa wilayat al-naas (mengurus urusan masyarakat –tertegaknya Khilafah Islamiyyah) merupakan kewajiban teragung di antara kewajiban-kewajiban agama yang lain, bahkan agama ini tidak akan tegak tanpa adanya Khilafah Islamiyyah.” (Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyaasat al-Syar’iyyah.  Lihat pada Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Maridl, hlm. 375)

Oke deh, memperjuangkan tegaknya kembali adalah wajib, tentu mempertahankannya juga jauh lebih wajib jika nanti udah berdiri.

 

Rela berkorban untuk perjuangan

Sobat gaulislam, semoga kamu juga masih inget dengan perjuangan kaum Muslimin di negeri ini yang mengusir penjajah Inggris, Portugis, Belanda, dan Jepang. Mereka menggelorakan semangat perang melawan penjajah. Mereka rela berkorban. Korban harta dan bahkan nyawa. Ini semua bisa kita baca di buku-buku sejarah.

Tekanan-tekanan yang begitu kuat dari penjajah, membuat kaum santri berontak. Dalam kondisi seperti ini, menurut Ahmad Mansur Suryanegara (dalam buku Menemukan Sejarah, hlm. 240, dengan mengutip pernyataan Harry J. Benda), fungsi pesantren pun berubah. Lembaga pendidikan ini kemudian berubah menjadi a centre of anti-Deutch sentiment (sebagai pusat pembangkit anti-Belanda). Jadi sangat wajar jika sejarah kemudian mencatat beberapa aksi pemberontakan kaum santri (Santri Insurrection) seperti di Cirebon (1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Padri di Sumatera Barat (1821-1838), dan Perang Aceh (1873-1908). Bahkan Anthony Reid (1969), menyatakan bahwa di Aceh ini Belanda jatuh-bangun melawan santri-santri Aceh. Para ulama tidak pernah absen melancarkan gerilya hingga tahun 1942. Belanda pun kewalahan.

Ini sekadar contoh aja, bahwa mempertahankan kedaulatan negara, dan terlebih harga diri sebagai Muslim, maka kita nggak bakalan diem aja kalo ada yang hendak menjajah. Malu dong sama para pendahulu kita yang udah banyak berkorban untuk kita.

 

Tapi awas terjebak ashabiyyah!

Sobat gaulislam, ikatan ashabiyyah (kelompok, komunitas, kesukuan, dan kebangsaan) itu rentan dan lemah. Sudah terbukti bahwa ikatan-ikatan ini rentan banget terhadap goncangan. Kalau ada musuh, kita bangkit dan trengginas. Pas nggak ada ancaman dari musuh, kita adem ayem aja. Itu namanya ikatan yang nggak stabil. Udah gitu yang dibelanya juga suka nggak jelas dan amat rendahan. Bener, yang dibela itu paling-paling cuma urusan sepele dua pele.

Hmm.. masalah-masalah sepele memang. Lihat aja para bocah alay yang sok jagoan jadi suporter sepakbola. Bela-belain klub sepakbolanya, bahkan berani melawan anak alay lainnya hanya gara-gara berbeda idola klub sepakbola. Eh, juga penghinaan saat kalah main basket, kalah rebu­tan cewek favorit di sekolah. Atau dalam tata­ran yang lebih luas, bapak-bapak kita suka kela­bakan saat negeri ini ada yang mengancam; embargo ekonomi, invasi militer musuh, or negara lain ikut campur urusan politik dalam negeri. Semuanya bak kebakaran jenggot. Bah­kan mulai kampanye untuk bikin perlawanan.

Itu kalo lagi ada ancaman, lho. Kalo lagi aman sejahtera? Bapak-bapak pejabat aja bisa melupakan rakyat dan melupakan siapa musuh yang siap mengancam lagi. Nah, itu sebabnya, dalam Islam paham ini mendapat kritikan tajam dan dikasih label haram untuk dipake dan disebarluaskan. Hati-hati ya!

Gimana urusannya? Begini, pertama kamu kudu nyadar or ngeh, bahwa seorang muslim itu standar perbuatannya adalah aturan Islam. Halam or haram menurut Islam. Bukan yang lain. Jadi apa katanya Islam. Titik.

Ashabiyyah artinya semangat golongan. Dan dalam faktanya, semangat golonganisme ini terdapat di dalamnya sukuisme dan nasio­nalisme, patriotisme, dan sejenisnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baginda kita bersabda saat terjadi peristiwa perang yang megusung semangat antar golongan: “Wahai kaum mus­limin, ingatlah Allah, ingatlah Allah. Apakah kalian akan bertindak seperti para penyembah berhala saat aku hadir di tengah kalian dan Allah telah menunjuki kalian dengan Islam; yang karena itulah kalian menjadi mulia dan men­jauhkan diri dari paganisme, menjauhkan kalian dari kekufuran dan menjadikan kalian bersau­dara karenanya?”

Jadi, jangan sampe kita membela kelom­pok yang menyerukan semangat golongan (komunitas, gerakan dakwah, kesukuan, kebangsaan atau nasionalisme—selain Islam). Padahal seharusnya kita membela kelompok, dimana dasar pembelaan kita adalah karena ikatan akidah Islam. Bukan yang lain. Sebab, inilah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. Ingatlah akan nikmat Allah ketika kalian dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan hingga Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian, karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian agar kalian mendapat petunjuk. (QS Ali Imrân [3]: 103)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, “Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah” (HR Abu Dawud)

Menurut al-Manawi ketika memahami hadits ini, “Maksudnya, siapa yang mengajak orang untuk berkumpul atas dasar ‘ashabiyah, yaitu bahu-membahu untuk menolong orang yang zalim.” Sementara al-Qari menyatakan, “Bahu-membahu untuk menolong orang karena hawa nafsu.”

Dalam hadis lain, larangan berperang di bawah bendera ‘Ummiyyah atau ‘Immiyyah, menurut as-Sindi, adalah bentuk kinâyah, yaitu larangan berperang membela jamaah (kelompok) yang dihimpun dengan dasar yang tidak jelas (majhûl), yang tidak diketahui apakah haq atau batil. Karena itu, orang yang berperang karena faktor ta’âshub itu, menurutnya, adalah orang yang berperang bukan demi memenangkan agama, atau menjunjung tinggi kalimah Allah. (as-Sindi, Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibn Majah, Maktabah Syamilah, t.t., VII/318)

Sobat gaulislam, dengan demikian jelas bahwa makna ‘ashabiyyah di sini bersifat spesifik, yaitu ajakan untuk membela orang atau kelompok, tanpa melihat apakah orang atau kelompok tersebut benar atau salah; juga bukan untuk membela Islam, atau menjunjung tinggi kalimat Allah, melainkan karena dorongan marah dan hawa nafsu.

Jadi mulai sekarang yang wajib kita bela dan perjuangkan adalah Islam. Jangan sampe kita membela gang atawa kelompok atau kesukuan atau negara yang ikatannya bukan akidah Islam. Yuk, jadi remaja bela Islam. Kita hidup dan mati hanya untuk Islam. Begitu, sobat! [O. Solihin | Twitter & IG: @osolihin]