Friday, 19 April 2024, 13:38

gaulislam edisi 206/tahun ke-4 (5 Dzulqaidah 1432 H/ 3 Oktober 2011)

 

Jangan keburu ngeper dan kaget sampai keluar kentut disertai koloid (baca: mencret) segala pas kamu baca judul ini. Biasa aja lagi. Kalem bin nyantai. Tema terorisme sama enaknya untuk dibahas dengan tema musik, game dan seks. Hah, seks? Kalo game dan musik sih emang doyan. Kok seks juga sih? Iya, soalnya banyak juga teman remaja yang ketahuan berlama-lama di depan komputer warnet, sampe lupa menghapus browsing history-nya. Hayoo ngaku! Hehehe.. saya bukan penjaga warnet, tapi seringkali harus ke warnet jika koneksi internet di rumah mendadak lemot kayak keong. Nah, di situlah saya seringkali pas duduk manis di depan komputer warnet, setelah ngisi data billing lalu membuka web browser, mata saya dikagetkan dengan pemandangan tak senonoh. Memang sih, bukan berarti yang ngelakuin hal itu remaja, bisa aja orang dewasa di warnet itu. Tetapi kan kalo mayoritas pengguna warnet anak sekolah, dugaan kuat pelakunya ya anak sekolah juga. Kemungkinan besar lho, bukan nuduh. Hehehe…

Bro en Sis, prolog saya di paragraf pertama tadi sekadar menginformasikan aja, bahwa ada fakta remaja yang senang dan lebih menyukai hal-hal ringan. Maka tema-tema seperti musik, game, dan juga seks (termasuk dalam hal ini pergaulan antar laki dan perempuan) bertebaran memenuhi halaman media massa (cetak, elektronik, termasuk internet). Sementara tema-tema berat macam politik, perkembangan ekonomi, hukum, pemerintahan kayaknya jauh banget dari pembahasan hot kamu semua. Mungkin saking bingungnya dengan masalah politik dan juga demi menghilangkan kepenatan rutinitas belajar, nggak sedikit remaja yang ngocehnya seputar musik, game, dan juga seks. Seringkali juga hal-hal sepele ditaburkan di situs jejaring sosial. Kasihan juga remaja kita ya, otak encernya cuma dipake buat nyampah di facebook. Ckckckck…

So, sekarang melalui buletin gaulislam ini saya ngajak kamu semua untuk mau berpikir lebih jauh, lebih detil, lebih peduli dengan hal-hal lain di sekitarmu. Salah satunya nih, tentang terorisme. Khususnya lagi saya ambil judul: remaja dan terorisme. Semoga tema ini bisa membantu kamu semua untuk peduli dan memandang dengan lebih jernih dan mendalam. Bahwa, fakta kejadian terorisme memang ada, tetapi apa benar fakta itu ada dengan sendirinya atau dipicu oleh fakta lain? Atau bisa juga, bener nggak sih fakta tersebut, atau justru rekayasa pihak tertentu? Bisa dan mungkin saja kamu semua juga berpikir: apa iya ada orang yang begitu mudah menjalankan aksi teror dengan kesadaran penuh atau justru didoktrin pihak tertentu? Mengapa juga media massa getol menayangkan peristiwa ini dan memberikan penghakiman? Semua pertanyaan dan mungkin pernyataan ini perlu mendapat jawaban. Semoga pembahasan gaulislam edisi 206 ini bikin kamu semua tercerahkan.

 

Akrab dengan teror

Boys and gals, bener nggak sih kalo kamu semua udah akrab dengan teror? Sepertinya sudah akrab ya. Buktinya dari dulu tawuran remaja sering terjadi. Korban tewas pun udah banyak jumlahnya. Perlu dicatat, bahwa itu juga adalah bagian dari tindakan teror. Seorang remaja menteror seorang remaja lainnya, atau dua kelompok remaja saling baku hantam tawuran mempertontonkan teror kepada masyarakat di sekitarnya. Setiap tahun bahkan digelar acara yang berpotensi melakukan teror, meski yang diteror umumnya mental. Yup, di acara MOS atau kalo di kampus namanya OSPEK. Jadi, sebenarnya selama ini remaja juga sudah akrab dengan teror dan bahkan di antaranya dibolehkan meski dengan catatan tertentu dari pihak sekolah or kampus.

Well, itu sebabnya nggak usah kaget juga kalo kemudian remaja dihubungkan dengan terorisme. Iya nggak sih? Toh cuma beda masalahnya doang, tapi intinya sama, teror.

Nah, gomong-ngomong soal semen, eh, soal terorisme, sederetan kasus peledakan bom di negeri ini, terutama yang menelan korban dalam jumlah besar seperti Bom Bali I, 12 Oktober 2002 disusul dengan Bom Bali II pada 1 Oktober 2005 dan puluhan ledakan bom lainnya hingga yang terbaru di Solo pada 25 September 2011, Islam dan kaum muslimin selalu jadi inceran. Maksudnya jadi target utama untuk dituduh sebagai biang keonaran. Lengkap dengan embel-embel bahwa Islam adalah terorisme, dan kaum muslimin dicap sebagai teroris. Utamanya mereka yang disebut-sebut sebagai kelompok militan. Pokoknya yang suka menumpahkan darah (kalo di rumah potong hewan mah nggak termasuk kali ya? Hehehe…)

Terus, dampaknya juga besar dan luas lho. Saat ini, banyak ortu yang nggak sudi anaknya ikutan aktif dalam kegiatan pengajian. Alasannya, takut anaknya terlibat dalam jaringan terorisme. Maklum, pemberitaan di media massa selalu menyebutkan bahwa orang-orang yang terlibat adalah mereka yang tergabung dalam gerakan Islam radikal (katanya sih gitu, padahal kalo belajar kimia kita biasa nemuin istilah radikal alkil dan radikal bebas—lho apa hubungannya? Wacks! Ngawur!)

Sobat, tentu aja ini bikin temen-temen kita yang aktif di pengajian sekolah, kampus, or lingkungan sekitar tempat tinggalnya jadi nggak nyaman. Mereka yang militan dalam bersikap rada risih, soalnya merasa bahwa setiap langkahnya itu selalu diintai dan jadi bahan omongan yang nggak enak.

Bahkan pernah ada seorang teman yang dulunya ahli maksiat, dan sekarang dapet hidayah jadi baik; doi aktif di pengajian dan bahkan semangat banget dalam berdakwah. Hmm… akibat perubahannya itu, ternyata eh ternyata malah direspon negatif. Tiba-tiba aja ada yang ngomongin kalo doi itu sesat, dan jangan didekati. Kontan aja ngambek total dan marah sempurna. Soalnya, waktu doi dulu ahli maksiat nggak ada yang ngelarang dan ngingetin. Eh, sekarang udah berada di jalan yang benar, malah dicurigai. Hmm.. itu namanya masyarakat yang kejam bin bengis. Dan yang pasti logikanya cekak. Mungkin karena mereka naro otaknya di dengkul kali. Hehehe.. yang kesinggung jangan marah ya? Anggap aja bukan guyon, tapi beneran. Huahaha…

 

Media massa, remaja, dan terorisme

Pada 1960 Profesor Gerbner melakukan penelitian tentang “indikator budaya” untuk mempelajari pengaruh televisi. Gerbner ingin mengetahui pengaruh-pengaruh televisi terhadap tingkah laku, sikap, dan nilai khalayak. Dalam bahasa lain, Gerbner memberikan penegasan dalam penelitiannya berupa dampak yang ditimbulkan televisi kepada khalayak. Penelitiannya ini kemudian membawanya menelorkan teori kultivasi.

Sobat muda muslim pembaca setia gaulislam, persepsi dan cara pandang yang ada dalam masyarakat, untuk saat ini, sangat besar dipengaruhi oleh televisi. Coba rasakan sendiri, pikiran kita ternyata dibentuk oleh media massa. Isu terorisme cukup menjadi contoh yang relevan ditampilkan saat ini berkaitan dengan teori kultivasi. Ketika mendengar atau melihat kata terorisme, yang terlintas dalam benak dan pikiran masyarakat adalah “jenggot, sorban, celana ngatung”. Penayangan media massa televisi yang berulang-ulang membawa opini masyarakat dan menanamkan pendefinisian istilah terorisme dengan semua aksesoris tersebut atau setidaknya dekat dengan hal itu.

Hmm… saya belajar jurnalisme dan juga jurnalistik, sempat jadi wartawan untuk sebuah media, pernah menjadi pemimpin redaksi di majalah remaja, pernah kuliah ambil program studi ilmu komunikasi, sehingga insya Allah saya mengetahui praktik produksi informasi dan penyebarannya. Tetapi, sejujurnya saya juga prihatin melihat ‘penyalahgunaan’ pesan-pesan informasi dan komunikasi di media massa. Aspek mencari dan mengungkap kebenaran serta menyebarluaskannya dalam jurnalisme mulai agak diabaikan. Idealismenya digadaikan demi kepentingan penguasa dan pemilik modal. Maka, tak heran banyak media yang memilih bungkam terhadap praktik kotor pemberitaan. Ini memang tidak semua, tetapi kebanyakan begitu. Parahnya lagi malah mempublis fakta rekayasa, dan mengubur fakta sebenarnya.

Dalam pandangan teori kultivasi ini, media massa televisi seringkali melakukan generalisasi. Bisa jadi, adalah suatu kebenaran jika yang melakukan tindakan terorisme adalah mereka yang “berjenggot, bersorban, bercelana ngatung”. Namun, bukan berarti, semua yang “berjenggot, bersorban, bercelana ngatung” adalah teroris dan pelaku terorisme. Tak dapat dipungkiri, opini yang dibangun media menuntun sebagian besar masyarakat untuk melakukan generalisasi terhadap hal-hal seperti ini. Ini jelas kekacauan, Bro en Sis.

Akibatnya, opini yang terbangun menjadi tidak berimbang, alias njomplang. Masyarakat banyak yang was-was dengan istilah terorisme. Dan langsung tumbuh persepsi bahwa yang melakukan kaum muslimin. Padahal, tak sedikit yang justru meragukan aksi terorisme ini dilakukan oleh umat Islam. Bisa karena mereka terjebak dan jadi korban, mungkin juga ada umat Islam yang memilih jalur kekerasan karena ketidaktahuannya tentang ajaran Islam, bisa juga memang bagian dari aksi intelijen untuk mencapai tujuan tertentu.

Menurut mantan KABAKIN alm. Z.A. Maulani, terdapat istilah false flag dalam sebuah operasi intelijen. False flag adalah kegiatan atau operasi yang dilakukan suatu pihak sehingga dampak kejadian itu bakal diarahkan ke pihak yang dikehendaki. Dengan kata lain, false flag dilakukan untuk menebar fitnah atau citra negatif kepada pihak yang dikehendaki. Gitu, Bro en Sis. Catet yo!

Oke deh, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak kamu berpikir jernih. Jangan terganggu dengan pemberitaan terorisme di media massa yang bakalan merugikan semangat kamu mencintai Islam. Jadi, mari kita tunjukkan bahwa kita bisa menjadi remaja yang mencintai Islam sepenuh hati kita, dan membelanya dengan penuh keberanian. Oya, ketegasan tidak identik dengan kekerasan. Tapi justru menunjukkan keyakinan. [solihin: www.osolihin.net | Twitter: @osolihin]

3 thoughts on “Remaja dan Terorisme

  1. Menurut saya yg sebenarnya teroris itu adalah media massa n para penguasa suatu “kaum” yg berusaha membelokan pikiran publik keluar dri jalan Allah..
    ulah bangsa Fir’aun modern..
    prihatin ya.. :/

Comments are closed.