Thursday, 25 April 2024, 02:50

Itu memang singkatan dari Rest In Peace – istirahat dalam damai –. Sebutan bagi mereka yang telah meninggal dalam khasanah Barat. Tapi sedamai-damainya mati, tidak ada orang yang ingin buru-buru mati. Apalagi para remaja, pastinya nggak bakalan mau mati muda. Masa remaja itu memang asyik punya, terlalu indah untuk dilewatkan dengan cepat. Chairil Anwar yang penyair saja sampai mengatakan ‘aku ingin hidup seribu tahun lagi’ dalam sajak Aku-nya, tapi beliau sendiri mati muda. Lalu ada lagu lama dari kelompok Alphaville, Forever Young, dan Who Wants To Live Forever dari Freddie Mercuri. Tapi lagu itu tetap saja tidak bisa memperpanjang umur Freddie yang akhirnya mati kesambar virus HIV.

Man propose, but God dispose. Manusia punya keinginan, tapi Tuhan yang menentukan. Siapa yang tahu kapan kematian akan datang merampas segala impian dan cita-cita kita?

Maka kami tercekat, kaget, ketika seorang teman sekelas meninggal hanya beberapa hari menjelang acara pelulusan sekolah. Kita semua berkomentar, “Kasihan ya, padahal sebentar lagi kita bakal lulus.” Tapi, sekali lagi, siapa yang tahu kematian akan menjemput kita.

Teman, wajar kalau bulu kuduk kita merinding setiap membahas kematian. Terbayang, kita terkurung di dalam tanah yang lembab dan sempit, hanya mengenakan kain kafan dan sendiri dalam kegelapan. Belum lagi bayangan kalau kita bakal diminta bertanggung jawab untuk apa yang sudah kita perbuat. Mati itu mengerikan.

Tapi apa apa mau dikata, Allah sudah menakdirkan bahwa ada kematian adalah teman kehidupan. Setiap yang bernyawa pasti akan mati. FirmanNya:

“Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian,”(TQS. Ali Imraan [3]:185)

Kematian juga menjadi bukti kalau manusia itu adalah lemah. Kita cuma mahluk yang tunduk pada kekuasaan Allah. Kehidupan itu ada batasnya yaitu kematian. Stalin atau Lenin atau Karl Marx yang menolak adanya Tuhan akhirnya juga harus menghadap Tuhan, tidak kuasa menolak sunatullah bahwa yang hidup itu bakal mati.

Tapi kawan, takut pada kematian tidak pada tempatnya. Karena takut ataupun tidak, kematian pasti datang. Kata Imam Ali bin Abi Thalib, “Manusia hidup dikejar rizkinya, sebagaimana ia dikejar kematiannya.” Menolak kematian juga tidak ada artinya. Kemanapun kita akan lari, sekuat apapun kita berusaha, tidak ada yang sanggup melawan kematian. Sang pemisah kenikmatan hidup dengan manusia.

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh,”(TQS. An Nisaa [4]:78).

* * * * *

Banyak orang pandai mengatakan bahwa yang harus kita takuti seharusnya bukanlah kematian itu sendiri, tapi dalam keadaan seperti apa kita mati, dan bagaimana caranya bertanggung jawab kepada Allah setelah kita mati. Ya, karena kita akan diminta bertanggung jawab atas semua kelakuan kita di dunia. Tangan, kaki, mata, lidah, telinga, dan berbagai anggota tubuh kita akan diminta pertanggungjawabannya oleh yang menciptakannya.

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”(TQS. Al Baqarah [2]:281).

Maka luar biasa malu dan takutnya kita bila menghadap Allah pada saat teler minuman keras, ketika OD (overdosis), berduaan dengan pacar, sedang melawan orang tua, sedang meninggalkan shalat, ketika tidak berpuasa, ketika belum memakai jilbab menutup aurat, saat tawuran, atau ketika melakukan kelakuan-kelakuan maksiat lainnya. Ya Allah, apa yang akan Engkau lakukan pada kami kalau kami menghadapmu saat kami sedang melalaikan perintahmu dan melanggar laranganmu.

Pertanyaannya pernahkah hal-hal seperti itu terpikir oleh kita, apalagi saat kita masih remaja, ketika keinginan dan cita-cita sedang meluap-luapnya. Sepertinya jalan itu masih panjaaang. Akibatnya, kita sering mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan Allah. “Ah, tobat dan ibadah nanti saja, kalau sudah kakek-kakek.” Nggak main-main, filosofi yang menyesatkan itu mengisi banyak kepala orang, khususnya remaja. Buktinya, jamaah shalat dan pengajian hampir selalu dipenuhi oleh mereka yang sudah tua, kakek-kakek ataupun nenek-nenek. Jangankan kita yang masih muda, mereka yang sudah berumur 30 atau 40 tahunan saja masih merasa umurnya panjang. Suka lihat kan om-om atau tante-tante yang eksekutif muda ‘rajin’ berjojing di diskotik, malah nggak sedikit juga di antara mereka yang coba-coba ngedrugs. Padahal umur mereka jauh lebih tua dibandingkan kita, yang berarti secara teoritis matematis mereka itu lebih dulu meninggal daripada kita. Tapi ya begitulah, masih saja mereka berpikiran hidup itu masih teramat panjang untuk dilewati.

“Sebaik-baik pemuda adalah yang ibadahnya seperti orang tua,” kata Rasulullah saw. Biasanya, semakin bertambah umur seseorang semakin rajin ia beribadah. Tidak lain karena ia mulai merasakan tanda-tanda akan datangnya kematian. Rambut yang mulai memutih menjadi uban, tulang yang mulai sering terasa linu, pandangan yang mulai kabur, telinga yang mulai berkurang daya tangkapnya, dan berbagai penyakit lain yang datang silih berganti. Orang tua jadi mulai berpikir serius soal kematian, maka ia pun jadi tekun beribadah.

Tapi ketika ada barisan pemuda yang tekun beribadah, shalat, membaca Al Qur’an, hadir di pengajian-pengajian dan berakhlak mulia, itu luar biasa. Pantaslah kalau Rasulullah saw. memuji mereka. Di saat banyak remaja hanyut dalam berbagai kenikmatan dunia yang menipu dan sebagian menyesatkan, mereka malah asyik masyuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

* * * * *

Yakin saja, ajal itu bisa datang kapan saja, tidak pandang umur dan kekayaan. Bisa ketika kita sedang berkumpul dengan keluarga, ketika kita sedang tidur, ketika kita berjalan di pasar, naik kendaraan, ketika sedang shalat, baca Al Qur’an, hanya jangan sampai ketika kita sedang maksiat (na’udzubillah).

Lagipula, alangkah beruntungnya keluarga kita dan juga kita pribadi, seandainya saat kita meninggal banyak orang yang menangisi kita, mengingat kebaikan-kebaikan kita, dan bukan keburukan-keburukan yang kita perbuat.

Salah satu pelajaran yang bisa kita lakukan untuk selalu ingat akan kematian adalah mengantarkan saudara kita, teman kita, atau tetangga kita yang meninggal. Dengan begitu kita akan bisa menghayati dengan khusyu’ makna kematian. Hari ini ia, mungkinkah esok atau lusa kita yang akan menemaninya di alam Barzakh?

“Hendaknya kalian berziarah kubur, karena sesungguhnya (berziarah) itu mengingatkan akan kematian,”(HR. Imam Muslim)

Masih mau bermain-main di dunia ini dan melupakan Allah, padahal ajal bisa datang kapan saja? Sebaiknya tidak lagi.

“Orang yang cerdik adalah yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.”(HR. Ibnu Majah).[januar]

[Pernah dimuat di rubrik “Takwin”, Majalah PERMATA, edisi Desember 2002-Januari 2003]