Saturday, 14 December 2024, 01:09

Rumah besar bercat putih itu berdiri megah di samping jalan utama. Pagar tinggi dengan rajutan kawat berduri menjadi warna tersendiri bagi rumah itu. Rumah jurig alias hantu? Bukan, bukan. Rumah itu milik Tuan Boncil yang sangat kesohor di daerah itu. Orang-orang menyebut Tuan Boncil seorang seniman kelas ‘panas’ karena di semua taman rumah terdapat patung-patung wanita berpakaian mesum. Anehnya dibandingkan ‘seniman’ sekelasnya, Tuan Boncil membuat patung seukuran manusia dengan wajah dan tubuh mirip artis-artis sinetron dan telenovela. Dia mendesain sekehendak inspirasinya yang konyol. Setiap ke mall, Tuan Boncil selalu membeli busana ‘panas’ untuk patung-patungnya. Apapun alasannya, Tuan Boncil adalah seorang lelaki berotak ngeres, bukan seniman.

Pusing tujuh kelilinglah Monica Asmarani, putri tunggal Tuan Boncil. Di saat tumbuh menjadi remaja, muncul keinginannya untuk tampil mengaktualisasikannya. Rupanya dia nyontek gaya hidup bapaknya. Monica ingin diakui bahwa dirinya memang ‘benar-benar’ wanita padahal sejak lahir memang sudah wanita 100%. Rasanya belum terbukti sebagai wanita kalau belum bisa menampilkan ‘apa-apa’ seperti Jennifer Lopez atau Shakira yang khas wanita. Apanya yang khas? Hanya dia dan orang-orang berkepala cabul yang hobbi membahasnya. Monica pusing karena di daerah itu saat ini mulai hidup ghirah Islam yang makin hangat. Tuan Sufi dan remaja Muslim mulai menyuarakan Islam di daerah itu. Islam memang sudah menjadi agama mayoritas di daerah itu, namun yang dibumbui tentang Islam baru seputar khitanan sampai setumpuk bongsang pada hari-hari peringatan keislaman. Tuan Sufi telah berdakwah khususnya di kalangan remaja untuk terikat kepada syari’at Islam dalam berbagai tingkah lakunya. Konsep Islam yang didakwahkannya mulai membangunkan semangat remaja-remaja Muslim di daerah itu.

Kondisi ini sangat merisaukan Monica, karena hal tersebut dapat mempersempit ruang gerak untuk mengaktualisasikan hal-hal penting yang dia ‘punya’. Apa itu yang dia ‘punya’? Lagi-lagi hanya dia dan orang-orang berkepala cabul yang hobbi membahasnya. Beberapa kali Tuan Sufi dalam ceramah umumnya di daerah itu mengajak remaja putri untuk mengenakan jilbab dan mewanti-wanti agar menjauhi pornografi. Pada bagian ceramahnya beliau mengatakan, ‘Bagi seorang Muslimah sudah dianggap porno apabila menampakkan sehelai rambutnya kepada pria yang bukan mahromnya, karena aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan’.? Tidak tanggung-tanggung, beliau juga mengkritik jilbab yang masih ada aroma porno, misalnya kerudungnya rapi tapi pakai celana panjang yang lekukannya bisa bikin orang berotak cabul bergelegak. ‘Sesuai dengan firman Allah SWT, agar busana luar wanita tidak porno maka seorang Muslimah wajib memakai kerudung/khimar (QS. An Nuur: 31) dan jilbab yaitu jubah atau baju kurung terusan sampai menutupi mata kakinya (QS. Al Ahzab: 59).’, demikian penjelasan beliau mengutip tafsir Ibnu Katsir.

Tuan Boncil dari dulu memang sudah bersikap antipati terhadap Tuan Sufi yang suka bicara tentang Islam. Dia minta anaknya, Monica, agar jangan sampai dekat dengan remaja-remaja yang terkena sihir Tuan Sufi. Tuan Boncil sangat khawatir kalau sampai anaknya ikut-ikutan pakai jilbab yang menurutnya seperti karung dan jauh dari nilai seni. ‘Kamu harus jadi diri sendiri Nak !’, nasehat konyolnya kepada putrinya. Monica setuju. Kini Monica menemukan dirinya dengan meniru berpenanpilan hm..hm.. seperti artis-artis telenovela Viva La Pepa di RCTI, Gabriela di SCTV, Saint Tropez di Anteve, Fiorella di Indosiar, dan seminimal-minimalnya Betty La Fea.

Setelah tiga bulan berlalu, pagi itu gempar. Headline surat kabar daerah itu memberitakan tentang percobaan pemerkosaan terhadap Monica Asmarani, putri? tunggal Tuan Boncil. Monica berhasil diselamatkan oleh tim ronda malam itu dari tiga pria bertopeng yang nyaris memperkosanya. Tangan dan muka Monica memar karena menerima perlakuan keras. Dia shock, matanya sendu dibayangi trauma yang sangat mencekam. Sementara itu, Tuan Boncil duduk termangu memandangi patung-patungnya tanpa gairah. Dalam lubuk hatinya ada hal yang tak mungkin dia pungkiri, ‘Islam itu benar’. (Sadik)

[diambil dari Majalah PERMATA, edisi Agustus 2002]