Friday, 19 April 2024, 18:59

Krisis ?menggulung’ perusahaan raksasa Amerika. Kini semuanya berubah. Era kapitalisme laissez-faire berakhir, super-power Amerika kehilangan pengaruh dan uang. Ia kini mirip Republik Pisang (Banana Republic) tapi punya senjata nuklir . Bagaimana Indonesia? [bagian kedua]

Oleh: Amran Nasution *

HANCURNYA MANUFAKTUR

Artinya, walau pun rancangan penyelamatan keuangan berbiaya 700 milyar dollar diterima DPR, tak ada jaminan krisis ini segera berakhir. Pada saat DPR menerima rancangan itu indeks saham di Wall Street malah jatuh 157 poin, setelah beberapa hari sebelumnya terjun bebas dengan 778 poin.

Agaknya pasar terkejut pada pengumuman Departemen Perburuhan pada Jumat pertama bulan Oktober bahwa sepanjang September telah hilang kesempatan kerja sebanyak 159.000. Jumlah itu merupakan tertinggi selama lima tahun terakhir. Dengan demikian, pekerjaan yang hilang sepanjang tahun ini menjadi 760.000.

Sekarang di Amerika Serikat terdapat 9,5 juta penganggur. Sebanyak 2 juta di antaranya sudah menganggur lebih dari 6 bulan. Sebanyak 6,1 juta bekerja serabutan karena tak dapat mencari pekerjaan penuh dengan gaji penuh pula.

Di dalam sistem kapitalisme laissez-faire di zaman Presiden Bush, buruh dibayar atas dasar pekerjaannya. Karena itu berbagai data menunjukkan kesejahteraan buruh dengan para direkturnya terus bertambah senjang. ?’Berita bagus tentang buruh, kalau bisa dikatakan bagus, mereka sangat gampang mendapatkan kredit,” tulis editorial The New York Times, 5 Oktober lalu.

Tapi sebenarnya itu adalah kabar buruk. Karena kemudahan itu, kebanyakan orang Amerika sekarang tak punya tabungan, tapi memiliki banyak utang. ?’Itu artinya,” tulis editorial tadi, ?’mereka akan kesulitan mengurusi diri dan keluarganya ketika menganggur seperti sekarang.”

Kevin Phillips,? bekas ahli strategi Partai Republik, mengungkapkan panjang lebar di dalam bukunya Bad Money (Viking Penguin, 2008) bagaimana orang Amerika Serikat amat tergantung utang. Sudah sejak zaman Presiden Ronald Reagan, ketika sistem kapitalisme laissez-faire ditrapkan – untuk menandingi sistem ekonomi komunisme Uni Soviet — kebiasaan menumpuk utang dilakukan.

Sekadar contoh, utang sektor finansil pada 1974 masih 258 milyar dollar, pada 1984 (di zaman Reagan) melonjak berlipat-lipat menjadi 1,052 triliun dollar, dan pada 2006, sudah 14,184 triliun dollar. Jumlah utang ini berarti mencapai 107% dari GDP (gross domestic product) Amerika Serikat.? Keseluruhan utang (utang finansil dan non-finansil, utang rumah tangga dan pemerintah) pada 2006, berjumlah 44, 744 triliun dollar atau 300% lebih dari GDP. Sulit dijawab bagaimana cara membayarnya.

Ada lagi hal penting yang diamati Kevin Phillips. Negeri itu pelan-pelan meninggalkan industri manufaktur (manufacturing) yang selama Perang Dunia II menjadi andalan dan membuat ekonomi Amerika bangkit dari keterpurukan great depression 1929.? Sekarang yang menjadi primadona adalah industri keuangan (financial services).

Kevin Phillips mencatat, pada 1950, seusai Perang Dunia II, industri manufaktur berperan 29,3% dari GDP, nyaris tiga kali lipat sektor keuangan yang hanya 10,9% dari GDP. Pelan-pelan kondisi itu bergeser. Di tahun 2005, misalnya, sektor manufaktur hanya tinggal 12% dari GDP. Di saat yang sama, sektor keuangan menyumbang 20,4% dari GDP.

Sampai saat ini sektor finansial menjadi penyumbang terpenting ekonomi Amerika, mengalahkan manufaktur, sektor eceran/retail, dan kesehatan. Mencari uang di Wall Street atau di kantor bank dengan dasi melilit leher lebih diimpikan di Amerika daripada bekerja di pabrik. Maka pabrik-pabrik digeser ke luar negeri,? ke Meksiko, India, atau China. Bermunculan bank atau lembaga keuangan raksasa semacam Goldman Sach, Morgan Stanley, Lehman Brothers, Merry Linch, Citigroup, dan semacamnya. Begitu pula perusahaa pialang atau pengelola aset (hedge-funds).

Sektor keuangan ini betul-betul berpesta-pora. Dengan laissez-faire, pemerintah mengenakan pajak murah atau potongan pajak, lalu membuang jauh-jauh segala macam regulasi. Pasar betul-betul dibebaskan, para pemilik modal yang menentukan sesuatu itu hitam atau putih. Pasar seperti ini ternyata memang menimbulkan kreativitas tinggi, terutama dalam menciptakan berbagai macam instrument baru surat utang dan turunannya.

Muncul berbagai surat utang yang baru dengan nama mortgage-back securities (MBS), collateralized mortgage obligation (CMO), collateralized debt obligation (CDO), dan credit default swaps (CDS). Nyaris semua instrumen utang itu berhubungan dengan kredit perumahan dan real estate. Harap diketahui sekitar 60% dari bisnis sektor finansial terkait dengan kredit perumahan, subprime morgtgage.

Praktek yang terjadi kira-kira seperti ini. Sebuah proyek perumahan menjadi surat utang. Pembayarannya macet, maka perusahaan pengelolanya membuat lagi surat utang lain dan disebarkan ke mana-mana. Seorang konsumen di Jakarta, misalnya, membeli surat utang keluaran Lehman Brothers yang bangkrut, melalui Citibank Jakarta.

Dan jangan lupa, setiap penjualan surat-surat berharga itu komisinya cukup besar. Maka bisnis ini menyebabkan perusahaan keuangan tumbuh cepat menjadi raksasa dengan eksekutif bergaji jutaan dollar, untuk kini bangkrut dan membebani seluruh rakyat pembayar pajak Amerika. Beginilah cara kerja kapitalisme laissez-faire.

Ternyata pada prakteknya, kredit perumahan diberikan kepada orang-orang yang sebenarnya tak layak. Sudah terlalu banyak rumah dibangun sehingga sulit mencari calon konsumen yang memenuhi syarat.

Ketika kemudian beberapa tahun lalu, diketahui pembayaran kredit perumahan itu macet, mulailah bencana ini terjadi. Harga rumah langsung jatuh dan puluhan ribu rumah disita atau terancam penyitaan. Bermacam surat berharga, obligasi, surat utang yang dikeluarkan bank atau lembaga keuangan, sulit ditagih. Ini menimbulkan kepanikan di Wall Street, pasar keuangan Amerika Serikat, dan pasar keuangan dunia lainnya di Eropa sampai Asia yang juga kejipratan bermacam surat berharga. Sekarang surat-surat itu menjadi sampah tak ada harganya.

Apa yang terjadi pada Amerika sekarang, menurut Kevin Phillips, sudah terjadi dulu pada kolonialisme Spanyol, Belanda, dan Inggris. Mereka menjadi super-power dunia? pada zamannya tapi kemudian bangkrut karena terlalu mengandalkan industri financial.

Bagaimana Indonesia?

Sekarang hampir tak ada yang membantah kehancuran ekonomi Amerika Serikat ini sama artinya dengan kehancuran sistem kapitalisme laissez-faire. Seperti ditulis David Rothkopf dari Carnegie Endowment dalam sebuah artikel di The Washington Post, 5 Oktober lalu, ?’Krisis ini tak hanya dilihat musuh kita, tapi kawan-kawan dekat kita pun melihatnya sebagai awal dari berakhirnya kapitalisme Amerika dan supremasi Amerika.”

Presiden Perancis Nicolas Sarkozy seperti dikutip artikel di atas menyatakan bahwa kini dunia menyaksikan berakhirnya sistem ekonomi pasar bebas (free-market economies). ?‘Laissez-faire, itu sudah habis. Bahwa pasar punya kekuatan dan dia selalu benar, itu sekarang sudah berakhir,” katanya.

Menteri Keuangan Jerman Peer Steinbruck berkata, ?’Amerika akan kehilangan status sebagai super power sistem keuangan dunia. Dunia akan menjadi multi-polar. Dunia tak akan pernah sama lagi.” Selama ini Jerman adalah negara sekutu di Eropa yang paling banyak dikritik Amerika karena campur tangan pemerintahnya ke pasar. Tapi sekarang justru pemerintah Amerika yang mencampuri pasar seakan sebuah negara sosialis, dengan proyek 700 milyar dollar itu.

Malah koran Inggris The Financial Times yang selama ini dikenal amat pro-pasar sekarang menulis bahwa dunia berada di akhir era kapitalisme laissez-faire Amerika Serikat (American laissez-faire capitalism).

Oleh karena itu Nicolas Sarkozy mengungkapkan bahwa Perancis, Jerman, Inggris, dan Italia, berpendapat kini dunia harus membangun kembali dari bawah sebuah sistem moneter dan finansial global. Untuk itu perlu ada pertemuan internasional sebagaimana pernah dilakukan di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, Juli 1944, yang antara lain kemudian melahirkan badan keuangan internasional IMF.

Jelas sekarang IMF dan Bank Dunia cuma menjadi alat Amerika Serikat untuk melaksanakan sistem kapitalisme melalui apa yang disebut Konsensus Washington. Dengan kehancuran ekonomi Amerika maka Bank Dunia dan IMF perlu direformasi atau mungkin harus diganti badan baru yang lebih relevan. Yang lebih penting lagi peran dollar sebagai mata uang dunia sudah perlu dipertimbangkan.

Bagaimana Indonesia? Kita sedang menghadapi masalah besar. Sejak krisis ekonomi 1998, Indonesia sudah menjadi satelit Amerika Serikat melalui operasi-operasi yang dilakukan IMF bekerja sama dengan para tokoh Mafia Berkeley di bawah pimpinan Profesor Widjojo Nitisastro (baca Naomi Klein dalam The Schock Doctrine, the Rise of Disaster Capitalism, Penguin Books, 2007).

Sejak itu Amerika campur tangan mulai dari melakukan amandemen terhadap UUD 1945 – dengan memasukkan pasal-pasal yang sangat liberal – sampai membuat bermacam undang-undang seperti UU Migas, Sumber Daya Air, Pendidikan, dan sebagainya.

Akibatnya UUD 1945 kacau-balau. Mukaddimahnya menyebutkan tentang demokrasi perwakilan, tapi presiden, gubernur, bupati dan walikota dipilih secara langsung. Sistem ini sangat mahal sehingga menyuburkan dan menyebarkan korupsi. Kita memang betul-betul sudah menjadi Amerika, malah dalam soal pornografi, kita lebih bebas dari Amerika Serikat.

Belum lama terungkap badan bantuan pemerintah Amerika Serikat US-AID memberi dana 21 juta dollar (hampir Rp 200 milyar) untuk mempersiapkan UU Migas. Jelas itu adalah uang sogok yang melanggar hukum baik di Indonesia mau pun Amerika Serikat. Seharusnya polisi, KPK, dan FBI harus segera mengusut kasus suap yang begitu besar.

Sebelumnya, untuk melaksanakan reformasi 1998, sejumlah LSM diberi US-AID dana 26 juta dollar. Soal dana ini pun sampai sekarang tak pernah transparan, tetap misterius, padahal berita pemberian dollar itu dimuat koran The New York Times, 20 Mei 1998.

Presiden SBY bukan cuma pengagum Amerika (ingat pernyataan America my second country – Amerika negeri saya yang kedua), dia juga pendukung kapitalisme laissez-faire. Itulah sebabnya Budiono dan terutama Sri Mulyani diberi kekuasaan yang amat besar. Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah orang IMF, sehingga ekonomi negeri ini sebetulnya praktis dikendalikan secara langsung oleh IMF.

Oleh karena itu selama pemerintahan ini konglomerat Indonesia bertambah kaya berlipat-lipat, sementara jumlah orang miskin bertambah banyak. Sumber daya alam kita, terutama minyak, sebagian besar dikuasai asing. BUMN yang di dunia internasional berjaya – ingat Temasek dari Singapore atau Petronas dari Malaysia – di Indonesia dijajakan kepada asing. Diobral. Soalnya menurut sistem kapitalisme, BUMN harus diswastakan.

Lihat bagaimana super market Carrefour dari Perancis tumbuh bak jamur di musim hujan menempati setiap pojok Kota Jakarta. Percayalah Carrefour lebih banyak jumlahnya di Jakarta dibanding di Paris, kampung halamannya sendiri. Bahwa pedagang kecil di sini pada bangkrut, itu bukan karena pemerintahan SBY, tapi karena pasar. Laissez-faire, biarkan terjadi.

Maka setelah bangkrutnya sistem keuangan Amerika Serikat, pemerintahan SBY terlihat panik, bikin rapat terus menerus. Tampaknya mereka tak menduga Amerika mengalami nasib seperti ini. Mereka harus menghadapi kenyataan pasar modal yang selama ini dibanggakan Presiden SBY sekarang babak-belur. Ekspor kita akan bermasalah, defisit ekonomi – kita meniru Amerika, APBN-nya defisit lalu ditombok dalam bentuk utang – akan sulit ditambal, dan Indonesia akan diserbu berbagai produk asing (seperti dari China) yang mencari pasar baru, pengganti pasar Amerika.

Yang paling merepotkan, selama pemerintahan SBY bisnis dan politik menyatu. Sejumlah menterinya adalah juga pengusaha seperti Aburizal Bakrie, Fahmi Idris, dan beberapa yang lain. Pada 7 Oktober lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham sejumlah perusahaan Group Bakrie. Dikabarkan saham itu digadaikan ke perusahaan Amerika JP Morgan Chase. Dari perdagangan saham itu JP Morgan memperoleh keuntungan dan itu dia tarik ke negerinya dalam bentuk dollar. Akibatnya rupiah terpuruk.

Yang membingungkan, kenapa BEI bertindak begitu terlambat? Tentu karena takut pada nama Bakrie. Itulah repotnya kalau politik dan bisnis menyatu. Itulah juga yang terjadi dalam kasus lumpur Lapindo yang merugikan begitu banyak rakyat di Sidoarjo. [habis/www.hidayatullah.com]

Penulis adalah Direktur Institute for Policy Studies (IPS) Jakarta