Saturday, 14 December 2024, 02:19

Kamu kenal Mulyono? Nggak kenal? Wow, doi tuh anak seorang pembantu rumah tangga yang ayahnya meninggal saat dia usia satu bulan. Mulyono tinggal nun jauh di Dusun Ngampel Kurung, Desa Srikaton, Kecamatan Papar, Kabutapen Kediri, Jatim. Kamu nggak tahu prestasi Mulyono? Yang jelas doi bukan salah satu akademia AFI 3. Mulyono hanya �sekadar’ berprestasi di tingkat internasional. Tepatnya doi berhasil menggondol medali perunggu dalam ajang Olimpiade Biologi di Brisbane, Australia!

Apakah kamu juga kenal dengan Ika Rohmatina? Nggak kenal juga? Hmm… ia adalah gadis desa anak seorang petani di Bojonegoro berusia 16 tahun. Prestasinya? Yang pasti bukan peserta KDI di TPI! Ika �sekadar’ satu dari 10 pelajar yang mewakili Indonesia dalam APEC Youth Science Festival di Beijing 3-9 Agustus 2004 ini.

Di ajang ini, Ika yang tercatat sebagai siswa kelas II di SMA 1 Sumberejo itu akan kembali mempresentasikan karya ilmiyahnya berjudul “Pengaruh Pemberian Biji Jarak Ricinus communis L terhadap Masa Kehamilan dan Jumlah Anak Mencit�. Sekadar tahu aja, karya ilmiah ini sudah meraih gelar juara di ajang Kabupaten hingga tingkat Asia Tenggara!

Kamu pernah dengar nama Azis Adi Suyono? Nggak kenal juga? Jangan kaget, doi emang nggak masuk Indonesian Idol kok. Siswa kelas 2 SMP Negeri 9 Cilacap yang beralamat di Desa Jojok, Kelurahan Kota Waru, Kabupaten Cilacap ini �sekadar’ peraih medali emas di ajang Olimpiade Sains Nasional Bidang Fisika yang digelar di Balikpapan pada September 2003 lalu.

Nah, kalo Sutha dan 11 akademia AFI 3 lagi dikarantina di Rafles Hills Cibubur untuk menjadi penghibur, Azis kini sedang mengikuti pemusatan bareng 11 teman lainnya sebagai tim IJSO (International Junior Science Olimpiade) di Perumahan Lippo Karawaci Tangerang untuk menjadi �ilmuwan cilik’. Oya, acara hasil kerja bareng Diknas dan LIPI ini akan digelar di Jakarta Desember mendatang.

Sekali lagi, kamu kenal nggak dengan Yudistira Virgus? Yang pasti dan jelas, anak muda berwajah ganteng dan berkacata minus ini bukanlah peserta acara Variety Show bertajuk “Lelaki�. Yudistira �hanyalah’ salah seorang generasi teknologi nano peraih medali emas pada Olimpiade Fisika di Pohan, Korea Selatan, Juli silam.

Selain Mulyono, Ika Rohmatina, Azis Adi Suyono, dan Yudistira Virgus, ternyata negeri ini masih memiliki remaja generasi teknologi nano seperti Ali Sucipto, Ni Komang Darmiastini, Budi Christanto, Andika Putra, Ardiansyah, Ihsan Tria Pramanda dkk.

Ngomong-ngomong, teknologi nano itu apaan sih? Hihihi mantengin AFI, Indonesian Idol ama KDI aja sih! (jangan ngambek ya kalo tuduhan ini bener). Menurut Prof Yohanes Surya, “Dalam era ini ada tiga hal yang menjadi primadona perkembangan teknologi, yakni teknologi hayati (biotechnology), teknologi informasi, dan teknologi nano. Teknologi nano adalah tahapan paling aktual dari rekayasa manusia atas susunan atom. Kata nano diserap dari istilah “nanometer� yang berarti sepermiliar meter (10 pangkat minus 9). Dus, teknologi ini menumpukan perkembangannya pada produksi mesin-mesin canggih berdimensi sangat kecil.�

Ide nanometer berkembang dari ceramah Richard Feyman (peraih Hadiah Nobel Fisika) pada 1959. Menurut dia, materi dapat disusun atau diubah dengan memanipulasi atom-atom pembentuk materi. Dengan kolaborasi bersama teknologi hayati, ditemukan aplikasi mesin atau robot canggih untuk beragam keperluan, antara lain menghancurkan kolesterol, memerangi virus/bakteri, dll (Koran Tempo, 1/8/04). Semoga nggak puyeng dengan penjelasan ini ya? Hehehe

Jadi bintang tanpa SMS
Saya tergelitik juga dengan tulisannya Putu Setia di Koran Tempo 1 Agustus 2004 lalu. Beliau menuliskan begini dalam artikelnya setelah “iseng-iseng� survey kecil-kecilan dengan kirim SMS ke ponakannya di Kalimantan: “…saya kirim sandek (pesan pendek, pengganti kata SMS) kepada ponakan saya, pelajar kelas II SMU Tanjung Selor di Kalimantan Timur. “Irma, kamu pernah dengar nama Yudistira Virgus?� Setelah lama menunggu, sandek balasan muncul: “Gak Om, siapa ya?� Saya ulangi lagi dengan nama Edbert, Andika, Ardiansyah. Jawaban yang datang juga tidak kenali. Lalu saya tanya bagaimana dengan Tia dan Rindu? Hanya sebentar menunggu, jawaban sudah muncul: “Tia itu anak Solo yg menang AFI 2, Rindu anak Bdg yg kalah.� Belum sempat membalas muncul lagi suara tit…tit dan ada sandek menyusul. “Om, sumbang pulsa 50 rb ya, mau dukung Sutha anak Bali di AFI 3.� Gubraks!

Dalam artikel yang renyah dengan gaya khasnya, Putu Setia seolah protes dan mempertanyakan kenapa orang cerdas seperti Yudistira dkk nggak dikenal sesama anak SMU lainnya? Kenapa kebanggaan seperti ini nggak menyebar di sekolah-sekolah?

Putu Setia, atau siapa pun, termasuk saya sendiri sedih ngeliat teman-teman remaja yang lebih asyik menggeluti dunia hiburan, dan mendukung mereka di ajang tersebut. Sementara seorang anak bernama Mulyono yang dapetin medali perunggu dalam Olimpiade Biologi di Brisbane, jangankan didukung, dikenal aja nggak!

Padahal, Mulyono tinggal di desa dengan fasilitas penunjang belajarnya yang sederhana banget. Kalo belajar malam hari cuma mengandalkan penerangan dari keremangan lampu teplok. Jarak rumah dan sekolahnya 25 kilometer—sehari-hari ditempuh dengan menumpang angkutan pedesaan. Sebelum mencapai jalan raya, Mulyono harus mengayuh sepeda pancal sejauh 6 kilometer dari rumah. Tentu saja, sang Ibu, Mujiati mengaku terharu anaknya bisa jadi jawara di ajang internasional. Karena ia sendiri nggak tahu apa itu biologi, dan apa itu olimpiade. (Koran Tempo, 1/8/04)

Yudistira, Mulyono, Ika Rohmatina, Ardiansyah dkk menuju puncak untuk menjadi bintang nggak perlu sumbangan SMS dari teman-temannya. Selain karena ajang ini nggak diliput secara khusus oleh media massa, juga karena kepandaian nggak diukur dari dukungan SMS, tapi dari keenceran otak yang dibangun dari kerja keras dalam belajar, ulet, semangat, dan juga keprihatinan.

Sobat muda muslim, maaf, bukannya saya bingung, bukannya saya iri (ini kok jadi gaya Mpok Minah di Bajaj Bajuri kalo ngomong sama si Emak! hehehe), saya nulis begini adalah sebagai bentuk protes kenapa ajang asah otak seperti ini dikalahkan oleh ajang olah vokal, olah gaya tubuh, dan olah raga?

Pemberitaannya aja seringkali nggak proporsional. Mungkin karena ajang asah otak bikin puyeng yang nonton dan baca kali yee? Saya sendiri khawatir teman-teman remaja sudah terjebak dalam gaya hidup yang nyantai, bahkan terkesan hura-hura dan hedonis banget. Kalo udah begini, apa jadinya generasi mendatang kalo hanya memproduksi remaja-remaja yang tidak saja lemah iman, tapi juga lemah ilmu. Bahaya banget tuh!

Yang bahagia dan yang merana
Meski sama-sama ngetop, bahkan seharusnya anak-anak yang cerdas ini lebih ngetop lagi ketimbang para remaja yang berlaga di ajang AFI, Indonesian Idol, dan KDI, karena sudah berhasil menorehkan prestasi di tingkat internasional, tapi angin “nasib� nggak selalu berpihak kepada mereka. Bahkan untuk sekadar perhatian sekalipun.

Sebut saja Ni Komang Darmiastini, peraih medali perunggu pada Olimpiade Biologi Internasional di Brisbane, Australia, 11-18 Juli lalu, sebelum berangkat ke Brisbane, pihak sekolahnya, SMA 1 Singaraja, secara resmi sudah melayangkan surat ke DPRD Buleleng guna meminta bantuan. Permohonan itu tak mendapat respon positif. “Tidak ada disposisi bantuan. Yang ada hanya disposisi untuk maklum. Artinya tidak dibantu.� Ujar seorang staf keuangan DPRD Buleleng kepada Koran Tempo (29/7), sambil memperlihatkan risalah surat-surat masuk (Koran Tempo, 1/8/04)

Waduh! Tapi lihatlah bagaimana Veri yang jawara AFI 1. Doi dieluk-elukan bak pahlawan oleh masyarakat Langkat, daerah kelahirannya. Disambut meriah. Bahkan sang Bupati menghadiahkan 4 hektar tanah untuk Veri. Atau Tia yang jawara AFI 2, ia sampe disambut Walikota Semarang setelah menang di AFI 2. Sebagai jawara di ajang itu, panitia ngasih Veri dan Tia mobil keren.

Sobat muda muslim, sebenarnya perhatian pemerintah terhadap orang-orang cerdas nyaris nggak ada. Sekadar nostalgia, yuk kita kenalan dengan Prof. Dr. Azhar Djaloeis, Ketua Badan Pemeriksa Tenaga Nuklir.
Berdasarkan catatan Koran Tempo (1/8/04), tahun 1983, Prof. BJ Habibie meminta peneliti senior di KFA (Nuclear Riset Center) Juelich, Jerman, itu kembali ke tanah air guna menjadi staf ahli menteri di bidang nuklir.

Tapi apa lacur, saat pertama kali pulang ke Indonesia, beliau sempat kecewa. Kenapa? Karena penghargaan terhadap seorang ilmuwan sangat jauh jika dibandingkan dengan di Jerman. Padahal ketika diminta “paksa� balik ke tanah air, di sana beliau sudah punya rumah, kendaraan, dan kehidupan yang bagus. Bahkan sebagai peneliti senior di KFA dan guru besar beliau mendapatkan Aufenthaltsberechtigung (hak tinggal tetap).

Di sini, mantan pengajar Fisika Nuklir, Mekanika Quantum, dan Fisika Modern di Universitas Bonn, Jerman, ini hanya digaji Rp 6 juta sebulan (gaji pokok plus tunjangan jabatan). Kasihan banget deh.

Ini sekadar contoh aja, betapa pemerintah kurang peduli,?  terhadap mereka yang cerdas. Bandingkan dengan penghargaan pemerintah atau pihak mana pun di negeri ini kepada para penghibur, baik di ajang olah vokal, maupun olahraga. Nggak usah disebutin detil, toh kita sering juga melihat faktanya di lapangan. Kalo ada atlit yang mengharumkan nama bangsa di ajang internasional, sambutannya luar biasa. Tapi mereka yang mengharumkan nama bangsa di ajang internasional lewat kecerdasan otaknya, disambut seperlunya saja. Mengenaskan banget. Benar-benar sebuah tragedi.

Penghargaan cara Islam
Sobat muda muslim, bukan rahasia lagi kalo Islam, sangat menghargai orang-orang yang berilmu. Khalifah Umar pernah menghargai para pengajar di sekolah setingkat TK dengan gaji 15 dinar sebulan (1 dinar setara dengan 4,25 gram emas). Di jaman Khalifah Harun al-Rasyid, para penulis berbagai bidang ilmu, akan diberikan emas seberat buku yang ditulisnya. Fantastis!

Jadi jangan heran jika Islam di masa kejayaannya memiliki ribuan ilmuwan muslim. Salah satunya ketika Andalusia, Spanyol, menjadi pusat pemerintahan Islam. Bahkan Valencia menjadi kota tujuan utama para pelajar Eropa yang ingin belajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Islam.

Kamu kenal al-Khuwarizmi (kalo orang Eropa menyebutnya algoritma)? Nggak kenal? Nggak apa-apa, beliau �hanyalah’ seorang ulama sekaligus pakar di bidang matematika. Buku beliau yang cukup terkenal di bidang matematika adalah “al-Jabr wa al-Muqabalah�.

Kamu pernah dengar nama al-Khazini? Nggak pernah dengar? Nggak apa-apa, beliau �hanyalah’ seorang ilmuwan Islam yang pakar di bidang fisika dan astronomi. Beliau menulis sebuah buku tentang mekanika, hidrostatik, dan fisika dengan judul “Kitab Mizan al-Hikmah�.

Al-Khuwarizmi dan al-Khazini adalah dua dari ribuan ilmuwan muslim hasil pembinaan, kepedulian, serta penghargaan dari Khilafah Islamiyah. Sampe-sampe George Sarton dalam “Introduction to the History of Science� menulis: “Pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (813-833 M), perkembangan ilmu-ilmu baru mencapai puncaknya. Pemerintah mendirikan sebuah sekolah reguler untuk penerjemahan di kota Baghdad. Sekolah itu dilengkapi dengan perpustakaan. Salah satu penerjemah yang terkemuka adalah Hunain ibn Ishaq (809-877 M), seorang filsuf berbakat sekaligus pakar fisika yang terpelajar.�

Tapi sayang banget, orang-orang berprestasi dengan keahlian di bidang sains dan teknologi, kurang pendapat perhatian dan penghargaan yang semestinya di negeri ini. Di negara maju saat ini, orang-orang cerdas ini sangat dihargai, karena mereka tahu betul, sangat boleh jadi satu orang berilmu lebih berharga ketimbang seribu orang bodoh.

Islam pun, sejak dulu sudah sangat menghargai keahlian orang-orang seperti ini, bahkan sejak awal menciptakan mereka. Tapi sayangnya, itu terjadi ratusan tahu lalu saat Islam berkuasa di dunia ini. Jadi, tugas kita saat ini, mengembalikan kejayaan Islam di muka bumi ini dengan mengkampanyekan penting dan wajibnya menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Yang tidak saja akan menciptakan dan menghargai orang-orang cerdas di bidang sains dan teknologi, tapi sekaligus menghancurkan segala kebatilan yang ada di dunia ini sambil menyebarkan cahaya Islam. Salam perjuangan dan kemenangan Islam! [solihin]

(Buletin Studia – Edisi 207/Tahun ke-5/9 Agustus 2004)