Thursday, 28 March 2024, 16:00

Babak baru perkembangan liberalisme pemikiran adalah penghujatan Al-Qur’an. Seorang dosen IAIN bahkan menulis “Edisi Kritis al-Quran.” Baca CAP ke-97 Adian Husaini

Umat Islam Indonesia sekarang memasuki babak baru yang sangat menentukan masa depannya. Arus sekularisasi dan liberalisasi yang kini diusung dan digelindingkan sendiri oleh sejumlah tokoh, kampus, dan organisasi Islam, telah menemukan bentuknya yang mendekati apa yang terjadi di dunia Kristen. Gagasan liberalisasi yang ratusan tahun lalu digelindingkan di dunia Yahudi dan Kristen kini dipaksakan kepada Islam. Maka, apa yang selama ini tidak pernah terpikirkan oleh umat Islam, sekarang sudah mulai harus dipikirkan.

Salah satu isu penting yang digelindingkan kaum liberal adalah masalah isu otentisitas al-Quran. Kaum Liberal – yang menganut paham pluralisme agama – tampaknya tidak rela, kalau kaum Muslim masih saja mengklaim, hanya agamanya saja yang benar, dan hanya Kitab Sucinya (al-Quran) saja yang benar. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.

Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain.

Kata seorang yang aktif menjadi penyebar paham liberal di Indonesia: “Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).

Jadi, orang tersebut tidak mau mengakui bahwa al-Quran adalah satu-satunya Mukjizat yang masih tersisa di zaman akhir ini, yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Padahal, begitu banyak ayat al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran dan tindakan kaum Yahudi dan Kristen yang telah mengubah kitab sucinya sendiri, sehingga menurut al-Quran, kitab suci mereka itu sekarang menjadi tidak suci lagi. Misalnya, Allah SWT berfirman: “Sebagian dari orang-orang Yahudi mengubah kalimat-kalimat dari tempatnya.” (An Nisa: 46)

Juga firman-Nya: “Maka apakah kamu ingin sekali supaya mereka beriman karena seruanmu, padahal sebagian mereka ada yang mendengar firman Allah, lalu mengubahnya sesudah mereka memahaminya, sedangkan mereka mengetahuinya.” (al-Baqarah:75)

Dan firman-Nya: “Sungguh celakalah orang-orang yang menulis al-kitab dengan tangan mereka, lalu mereka katakan: “Ini adalah dari Allah.” (mereka lakukan itu) untuk mencari keuntungan sedikit. Sungguh celakalah mereka karena aktivitas mereka menulis kitab-kitab (yang mereka katakan dari Allah itu), dan sungguh celakalah mereka akibat tindakan mereka. (al-Baqarah:79)

Itulah penjelasan al-Quran tentang kitab-kitab kaum Yahudi dan Kristen. Semestinya, sebagai orang yang mengaku Muslim, tentu ayat-ayat al-Quran itu menjadi pegangan hidup dan pedoman berpikirnya. Sebab, al-Quran adalah landasan utama keimanan seorang Muslim. Jika tidak mau mengakui kebenaran al-Quran, untuk apa mengaku Muslim! Konsistensi berpikir semacam ini sangat penting, sehingga tidak memunculkan kerancuan dan ketidakjujuran dalam beragama. Bagi kaum Kristen yang percaya Injil, tentu akan menolak al-Quran. Itu sudah normal dan wajar. Aneh, kalau seorang tetap mengaku Kristen, tetapi pada saat yang sama juga mengaku percaya kepada kenabian Muhammad saw dan kebenaran al-Quran.

Maka, adalah aneh dan keluar dari logika normal, kalau ada yang mengaku Muslim tetapi mengingkari kesucian al-Quran dan sekaligus juga mengimani kesucian kitab-kitab agama lain saat ini, yang sudah jelas-jelas banyak bagiannya bertentangan dengan al-Quran. Apalagi menyatakan bahwa semua kitab suci agama-agama lain adalah mukjizat. Sungguh pernyataan yang tidak masuk akal. Apakah Kitab Suci aliran kebatinan Darmo Gandul dan Gatholoco juga mukjizat?

Tetapi, rupanya, para penyebar dan pengasong ide-ide liberalisme di kalangan kaum Muslim, tidak berhenti sampai di situ. Mereka kini aktif menulis berbagai buku dan artikel yang mencoba menggoyahkan keyakinan kaum Muslim terhadap kesucian al-Quran. Seorang dosen Ulumul Quran di satu IAIN di Indonesia menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, yang isinya menyatakan: “Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan al-Qur’an, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis al-Qur’an.”

Jadi, si dosen itu ingin meyakinkan kepada kita, bahwa al-Quran kita saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul “Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani. Dia tulis dalam bukunya (2005:379-381): “Terdapat berbagai laporan tentang eksistensi bagian-bagian terhentu al-Quran yang tidak direkam secara tertulis ke dalam mushaf oleh komisi Zayd, dan karena itu menggoyahkan otentisitas serta integritas kodifikasi Utsman…Dengan demikian, pandangan dunia tradisional telah melakukan sakralisasi terhadap suatu bentuk tulisan yang lazimnya dipandang sebagai produk budaya manusia.”

Jadi, sekali lagi, penulis buku itu mencoba meyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan. Yang ironis, buku ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Quraish Shihab, tanpa memberikan kritik yang berarti. Dalam pengantarnya, Quraish menulis, “Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas.”

Penulis lain, seorang calon doktor dari satu Universitas di Australia yang juga rajin mengasongkan paham liberalisme, menulis sebuah catatan: “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Al-Quran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan).

Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.”

Ada lagi sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), yang secara terang-terangan juga menghujat Mushaf Utsmani. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doctor dalam bidang studi Islam, dosen di pascasarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut ini:

“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sacral dan absolute, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.”

Fenomena menghujat al-Quran seperti dilakukan oleh para sarjana dari kalangan Muslim semacam ini adalah fenomena baru dalam sejarah Islam Indonesia. Selama 350 tahun dijajah Belanda, fenomena semacam ini tidak pernah ada. Hal semacam ini sudah begitu lumrah dalam tradisi Kristen. Kritik terhadap Bibel sudah menjadi hal biasa. Mereka sudah mengembangkan satu bidang ilmu yang dikenal dengan nama “Biblical Criticism”.

Tradisi Kristen semacam ini sekarang dibawa masuk ke dalam tradisi Islam oleh orang-orang dari kalangan Muslim sendiri, yang terpengaruh oleh tradisi Kristen. Jika kita simak sebuah buku berjudul “Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan” (Yogyakarta: Kanisius, 2003), tampak bagaimana pengaruh studi Bibel telah merasuk ke dalam studi al-Quran di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Para penyerang al-Quran sebenarnya hanya menjiplak ide-ide dan bukti-bukti yang disodorkan oleh para orientalis Yahudi dan Kristen. Bisa jadi, mereka juga mengambil fakta-fakta yang telah ditulis oleh para ulama Muslim. Tetapi, dianalisis dalam perspektif sesuai kepentingan orientalis. Jauh sebelumnya, pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, sudah mengimbau bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”

Imbauan pendeta Kristen dan tokoh studi Islam itulah yang kini diikuti oleh begitu banyak sarjana dari kalangan Muslim. Fenomena penyerangan terhadap al-Quran ini harusnya menjadi perhatian paling serius oleh para ulama dan cendekiawan Muslim. Ini adalah bentuk kemungkaran yang sangat besar. Sebab, mereka telah membongkar satu asas keyakinan kaum Muslim yang paling asas, yaitu tentang kesucian al-Quran. Mungkin para penghujat al-Quran itu sedang khilaf. Mungkin ia merasa menemukan sesuatu yang hebat sehingga merasa dirinya lebih hebat dari para Imam dan ulama Islam terkemuka. Mungkin juga mereka sekedar iseng, karena motif-motif tertentu. Atau, mungkin juga ia merasa menemukan kebenaran.

Terlepas dari semua itu, buku-buku atau artikel yang mereka terbitkan, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Cendekiawan muslim wajib menjawabnya dengan cara-cara ilmiah yang lebih baik dari karya-karya mereka. Tentu saja ini bukan tugas yang ringan, dan memerlukan biaya yang sangat besar. Sebab, harus mengumpulkan literatur-literatur yang sangat banyak. Sayangnya, dalam Kongres Umat Islam yang baru lalu, masalah ini tidak disentuh. Padahal, masalah ini jauh lebih serius daripada masalah bencana alam, pornografi, dan sebagainya. Bukankah Rasulullah saw sudah berpesan, jika kita melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan, lisan, atau hati. Yang menjadi problem besar saat ini adalah ketika para cendekiawan Muslim sendiri tidak paham, bahwa saat ini telah terjadi kemungkaran yang besar semacam ini. Wallahu a’lam. (Jakarta, 29 April 2005/Hidayatullah.com).