Monday, 9 December 2024, 01:40

gaulislam edisi 498/tahun ke-10 (11 Sya’ban 1438 H/ 8 Mei 2017)

Saat ini banyak banget di antara kamu yang narsis abis. Foto-foto selfie diupload ke media sosial. Beragam pose dipajang. Ada yang keren memajang keterlibatan dirinya dan kawan-kawannya di beberapa aksi bela Islam aksi lainnya. Tapi ada juga yang konyol dengan melakukan selfie berpose muka bebek alias duck face. Iya, bibirnya dimonyong-monyongin. Kalo dulu kan malu ya? Kalo difoto kan pengen tampil menarik. Ini kok duck face. Belum lagi yang menjulurkan lidah. Mata dibuat melotot dan sejenisnya. Sempat ngetren juga ada aplikasi di android untuk bikin lucu-lucuan dan bahkan terkesan konyol. Yup, dubsmash. Di situ seseorang bisa menirukan perkataan orang lain sambil dibuat adegan lucu sesukanya dengan gaya dia sendiri yang sudah di-dubbing. Itu sekadar kepuasan diri dengan apa yang dimiliki, sambil berharap teman lainnya ngasih like atau berkomentar bernada pujian. Kalo nggak ada yang nge-like ya maksian nge-like status sendiri. Hihihi.. stres tuh kayaknya.

Urusan narsis ini memang sudah difasilitasi oleh media sosial. Didukung pula dengan kamera ponsel yang canggih dari smartphone keluaran terbaru atau terkeren. Ketika teknologi itu berpadu dengan keinginan terpendam kamu untuk narsis, maka muncullah ide untuk selfie dan hasilnya disebar ke semua akun sosmed milikmu. Lalu di ruang hatimu yang terdalam, kamu berharap orang akan memberi jempol atau menyukai buat aksi narsismu. Waduh,

Kalo lihat sejarahnya, orang yang melakukan selfie—yang tujuannya memang karena terdorong ingin narsis—bukan hanya zaman sekarang ketika perangkat teknologi komunikasi dan informasi sudah berkembang pesat. Menurut sejarah, mengabadikan diri sendiri dengan perangkat elektronik atau dalam bahasa Inggris dinamakan self-portrait atau disingkat selfie dilakukan pertama kalo oleh seseorang bernama Robert Cornelius pada tahun 1839. Ketika era kamera polaroid sedang menjadi salah satu tren di tahun 70an, seorang bernama Andy Warhol juga pernah melakukan selfie dan hal tersebut tercatat sebagai selfie kedua dalam sejarah.

Demi eksistensi diri

Sebenarnya mengapa sih seseorang bisa melakukan selfie? Benarkah karena kurang percaya diri atau justru karena ingin mengeksplorasi diri sendiri? Apakah juga hal itu terkait dengan kondisi kejiwaan seseorang yang melakukan selfie dengan tujuan narsis bisa dikategorikan mengalami gangguan jiwa? Well, semua tergantung pada gejala yang ditunjukkan di lapangan. Secara fakta cukup banyak dijumpai bahwa seseorang ingin dipuji atau mendapat pujian dari orang lain bukan hanya berkembang saat ini saja. Tetapi sejak lama. Manusia memang senang dipuji dan diberikan penghargaan oleh orang lain. Salah satunya tradisi berfoto. Baik sendiri maupun rame-rame. Pastinya kan pada saat difoto ingin dengan penampilan terbaik, bukan terburuk. Nah, ‘nafsu’ ingin narsis ini di zaman sekarang dipermudah dengan adanya teknologi gabungan antara ponsel, kamera, dan internet. Jadilah foto-foto narsis bertebaran jadi cover atau profile picture di akun media sosial. Jumlahnya sangat banyak.

Oya, kamu perlu juga pendapat pakar digital social media, “Selfie adalah salah satu revolusi bagaimana seorang manusia ingin diakui oleh orang lain dengan memajang atau sengaja memamerkan foto tersebut ke jejaring sosial atau media lainnya,” ujar Dr Mariann Hardey, seorang pengajar di Durham University dengan spesialisasi digital social media, seperti dikutip oleh Guardian (14/07/2013, yang dipublikasikan kembali di merdeka online pada 17/07/2013)

Sobat gaulislam, kalo dipikir-pikir bahwa kamu yang melakukan selfie, bisa jadi karena ingin eksis. Iya kan? Indikator ini bisa dengan mudah ditemukan, lho. Coba, emang tujuan kamu apa ketika meng-upload foto-foto selfie kamu yang terdorong narsis itu selain terselip rasa ingin eksis dan pamer diri? Oke, seseorang memang ingin puji oleh orang lain. Maka, ketika menampilkan foto dirinya di akun medsos dalam berbagai pose, ada secercah harapan bahwa akan ada orang lain di jaringan pertemanannya minimal me-like foto tersebut. Malah berharap lebih, yakni komentar temannya (tentu saja komentar yang positif). Apalagi jika foto diri itu ada maksud sekaligus sebagai sarana pamer diri atas apa yang sedang dijalani.

So, kamu bisa saksikan banyak remaja (dan juga para orang tua) yang seperti berlomba memamerkan diri mereka dalam bingkai foto yang diupload ke akun media sosial miliknya dan berharap mendulang like dan pujian dari teman-temannya. Misalnya nih, kamu menampilkan foto diri dengan background di sebuah tempat di luar negeri. Seolah, tanpa perlu banyak kata ingin menunjukkan bahwa kamu tuh keren bisa jalan-jalan ke luar negeri atau punya kesempatan jalan ke tempat tersebut. Kamu berharap, bahwa teman-teman di jejaring sosial bisa melihat foto tersebut dan memberi like atau komentar. Iya kan? Hehehe.. soalnya kadang saya pernah melakukan juga. Hadeeuuh.. (tapi kalo udah nyadar, saya buru-buru ‘membunuh’ keinginan yang tak perlu tersebut).

Citra diri

Sobat gaulislam, narsis memang bagian dari citra diri. Seseorang ingin mendapatkan itu di hadapan teman-temannya. Ingin dianggap eksis, walau dengan cara memamerkan apa yang dia punya atau apa yang dia lakukan. Pernah lho, saya melihat ada seorang pria yang memajang mobil barunya lengkap dengan kata-kata yang ditujukan pada istrinya, bahwa mobil tersebut dihadiahkan kepada istrinya sebagai bentuk rasa cinta dan sayang. Diberi embel-embel info seputar kelebihan mobil tersebut. Please deh, apa sih niatnya? Kalo ingin menghadiahkan, ya langsung saja kan, wong itu suami-istri. Nggak perlu sampai di-upload di  media sosial. Coba, pasti ada motifnya, ada niatnya. Apalagi jika bukan ingin sedikit pamer di hadapan teman-temannya di media sosial bahwa dia bisa melakukan hal tersebut (ini bukan nuduh lho, sekadar berasumsi). Mungkin saja ingin memposisikan dirinya sebagai seseorang yang penuh perhatian dan berkelas tinggi, apalagi dirinya sebagai publik figur dengan profesi tertentu yang tentu saja akan mendongkrak prestisenya. Hmm…

Oya, sesuai namanya, narsis itu adalah pengagum diri sendiri (kalo merujuk pada mitologi Yunani kuno tentang kisah Narcissus). Memang benar kalo kita boleh untuk menghargai diri kita sendiri dan percaya diri bahwa kita mampu melakukan hal yang sama dengan orang lain dalam tujuan yang positif. Tetapi, kan nggak perlu sampai menjadi narsis. Kalo udah taraf narsis, itu bahaya, Bro en Sis. Beneran. Sebab, kalo kamu punya kelebihan dan ingin dengan kelebihan kamu itu orang lain mendapatkan manfaat darimu, ya boleh-boleh saja. Namun, jangan sampe kemudian saban hari kamu tampil selfie demi memenuhi sifat narsismu. Apalagi lupa dengan kewajiban lainnya dalam hidup kamu, karena kamu lebih sibuk memfoto dirimu sendiri dan diupload ke media sosial sambil berharap ada yang like dan ngasih komentar pujian. Waspadalah!

Nah, kalo sampe kamu sibuk melakukan selfie demi memenuhi sifat narsismu dan berujung pada ketagihan untuk dipuji, hati-hati lho. Sebab, bisa jadi kamu udah dihinggapi kelainan jiwa. Kalo melihat faktanya, biasanya orang yang senang selfie itu bisa dikategorikan kurang percaya diri alias rendah diri. Jadi pada awalnya ada orang yang memang menutupi sikap rendah dirinya dengan mencoba tampil narsis. Namun, timbul perasaan yang menyenangkan ketika melakukan narsis sehingga mereka mengalami ketagihan dan menjadi orang yang narsis dalam level tertentu. Kecanduan seperti ini sebenarnya nggak perlu terjadi. Tetapi apa boleh buat, medsos memang menyediakan ruang yang besar untuk kita agar bisa melakukan hal tersebut.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kita juga rasanya perlu tahu tentang ciri-ciri orang yang narsis. Beberapa di antaranya yang pernah saya baca dari sebuah tulisan di internet adalah: Pertama, selalu merasa menjadi pusat perhatian, tetapi pada kenyataannya ia tidak menjadi pusat perhatian. Kedua, selalu ingin dipuji tetapi sangat sulit menuji orang lain. Ketiga, emosional. Keempat, suka berpura-pura atau mendramatisir sesuatu hal. Kelima, antisosial. Keenam, harga dirinya sangat rapuh dan sensitif terhadap kritikan-kritikan kecil. Tuh, bahaya lho.

Lalu, bagaimana gejala dan kriteria dari ‘penyakit’ narsis ini? Masih di artikel yang pernah saya baca di internet, disebutkan bahwa: Pertama, merasa dirinya sangat spesial dan merasa dirinya hanya cocok bergaul dengan orang-orang yang memiliki status tinggi. Kedua, membutuhkan pujian atau disanjung-sanjung terhadap sesuatu yang dilakukannya. Ketiga, memiki keinginan untuk mendapat julukan tertentu dari orang di sekitarnya. Keempat, tidak memiliki perasaan empati terhadap orang-orang di sekitarnya. Kelima, selalu mencari keuntungan dalam setiap kesempatan untuk mencapai apa yang ia inginkan. Keenam, memiliki pikiran jika orang lain iri padanya dan ia juga memiliki perasaan yang iri terhadap keberhasilan orang lain. Ketujuh, mereka tidak segan-segan melontarkan kata-kata kasar yang merendahkan orang lain. Waduh, negatif semua tuh. Waspadalah!

Oya, saya dapatkan keterangan juga lho di webiste rumaysho.com seputar memuji diri sendiri. Dijelaskan bahwa Al-‘Izz ibnu ‘Abdis Salam berkata, “Engkau memuji dirimu sendiri lebih parah daripada engkau memuji orang lain. Karena kesalahan seseorang di matanya sendiri lebih ia tahu banyaknya dibanding mengetahui kesalahan orang lain. Kecintaanmu pada sesuatu itu membutakan dan menulikan. Dan memang betul, tidak ada yang disukai kecuali diri sendiri. Oleh karena itu, kita lebih suka melihat ‘aib (kekurangan) orang lain daripada memperhatikan kekurangan diri sendiri. Juga kita lebih mudah memberi toleransi jika diri kita kurang, namun tidak bagi yang lain.”

Eh, memang nggak boleh seseorang memuji dirinya sendiri kecuali jika ada hajat untuk hal itu. Misalnya:

Pertama, ingin melamar seorang wanita dan ia mengemukakan keistimewaan dirinya. Kedua, ingin memperkenalkan kemampuan dirinya dalam memenej pemerintahan dan mengurus agama seperti yang terjadi pada Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS Yusuf [12]: 55)

Ketiga, boleh memuji diri sendiri agar bisa dicontoh. Tentu ini bagi orang yang benar-benar niatannya untuk dicontoh orang lain dan aman dari penyakit riya’ dan sum’ah. Seperti Nabi kita sendiri pernah berkata, “Aku adalah pemimpin (sayyid) anak Adam pada hari kiamat. Aku katakan ini bukan untuk menyombongkan diri. Di tanganku ada bendera Al-Hamdi. Aku katakan ini bukan untuk menyombongkan diri. Tidak ada seorang nabi pun, tidak pula Adam, juga yang lainnya saat itu melainkan berada di bawah benderaku. Aku orang pertama yang keluar dari kubur. Aku katakan ini bukan untuk menyombongkan diri.” (HR Tirmidzi, no. 3148; Ibnu Majah, no. 4308. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

So, dipikir ulang sebelum segalanya terlambat. Kita boleh melakukan pencitraan diri, tetapi harus bisa mengendalikan diri. Niatnya pun bukan untuk pamer atau menyombongkan diri, tetapi untuk bisa dijadikan contoh (kalo emang layak dijadikan contoh). Jalani apa adanya, dan jika pun melakukan hal itu dalam taraf yang wajar maka niatnya juga sebagai bagian dari memberikan inspirasi dalam hal yang positif kepada orang lain. Bukan dengan maksud narsis, atau ingin eksis berbalut kesombongan dan lupa diri karena terdorong ingin pamer semata. Hati-hati, ya! [O. Solihin | Twitter @osolihin]