Monday, 9 December 2024, 13:41

gaulislam edisi 339/tahun ke-7 (21 Jumadil Akhir 1435 H/ 21 April 2014)

Ruwetnya alur kehidupan yang kita lalui, seringkali membuat kita lelah menempuhnya. Adakalanya, selain lelah, kita mengalami kejenuhan yang luar biasa disertai ragam problem. Maka timbullah berbagai konflik yang menyita perhatian kita. Kadang, konflik itu kian menjauhkan kita dari kesabaran, atau justru dengan adanya konflik yang belum terselesaikan kita menjadi kian semangat segera menuntaskannya. Hidup memang ibarat alur cerita dalam kisah fiksi. Namun, hidup adalah kenyataan. Jadi kamu harus tetap tegar menghadapinya meskipun itu pahit terasa secara fisik atau merajam pikiran dan perasaanmu.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Pada edisi ke-339 atau sama dengan pekan ke-339 sejak pertama kali terbit pada 29 Oktober 2007 silam, buletin kesayanganmu ini juga mengalami pasang-surut gelombang kehidupan. Pada masa-masa awal merintis, buletin ini tentu saja nggak dikenal. Meski para penulisnya sudah memiliki banyak pengalaman, namun tetap saja gaulislam saat itu adalah media yang baru dikenal. Namanya masih terasa asing di lidah saat diucapkan atau terdengar kurang familiar di telinga. Tetapi, alhamdulillah atas izin Allah Ta’ala gaulislam kini menjadi buletin remaja yang terbit nonstop setiap pekan dengan ragam topik yang mencerahkan dan memberi solusi bagi para remaja muslim. Edisi cetaknya tersebar luas dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ke Nusa Tenggara Timur. Bagaimana dengan edisi internetnya? Alhamdulillah sudah tersebar hingga ke luar negeri melalui website resmi gaulislam dan juga disebar di blog-blog lainnya serta di jejaring sosial semacam facebook dan twitter. In sya Allah perkembangan ini akan memberikan nilai tambah bagi dakwah, khususnya bagi remaja muslim.

Ngomong-ngomong, judul gaulislam edisi ke-339 ini terasa beda dari biasanya. Yup, ini sengaja dibedakan. Judul ini ingin mengesankan bahwa kita diajak untuk berhenti sejenak dari perjalanan mencari kebahagiaan di dunia dan juga di akhirat. Berhenti sejenak untuk merenung. Berhenti sejenak untuk mengevaluasi sejauh mana catatan perjalanan kita bisa memberikan manfaat dan kontribusi besar bagi kehidupan pada umumnya. Seperti apa bentuk evaluasinya? Akan dipreteli satu per satu dalam tulisan ini supaya kamu bisa memahaminya dengan benar dan baik. So, jangan ke mana-mana, tetap stay tune di buletin kesayangan kamu ini.

 

Kenali diri kita

Ah, masa’ sih kita nggak kenal dengan diri sendiri? Eh, jangan salah sobat. Banyak orang tak kenal dirinya lho. Jangan kaget pula kalo pada akhirnya banyak orang yang baru ngeh dengan potensi dirinya setelah berusaha menggalinya lebih dalam. Nggak percaya? Hei, nggak usah ngotot! Cukup banyak di antara manusia yang nggak kenal dirinya sendiri. Kalo udah nggak kenal dirinya sendiri, maka bisa dipastikan dia nggak akan kenal siapa penciptanya. Sungguh!

Yahya bin Muaz ar-Razy, seorang sufi pernah mengatakan bahwa “man ‘arafa nafsahu, ‘arafa rabbahu” (barang siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya) memiliki makna barang siapa yang mengenal dirinya dengan sifat lemah, membutuhkan, lalai, hina dan tidak tercapai maksud, maka akan mengenal tuhannya dengan sifat-sifat jalal dan jamal atas yang patut bagi kedua sifat itu, maka seorang hamba selalu melakukan muraqabah sehingga dibukakan kepadanya pintu musyahadahnya alias keadaan hati seorang hamba yang merasakan berhadapan dengan Allah Ta’ala (dari sebuah tulisan di internet yang mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Kitab al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Hlm. 206)

Nah, itu dia. Coba interospeksi diri deh. Kalo merasa bahwa diri kita ini lemah di hadapan Allah Ta’ala, berarti kita nggak boleh sembarangan merasa sok jago dengan menjejalkan beragam ide atau pemahaman yang nggak benar—apalagi yang sesat—ke dalam pikiran dan perasaan kita. Misalnya nih, biasanya pada 21 April kan diperingati sebagai Hari Kartini, nah biasanya ide yang dihembuskan kaum feminis adalah emansipasi wanita yang kebablasan karena dibumbui ide feminisme tentang kesetaraan jender. Nah, ide itu jelas keliru, sobat. Tentu saja untuk mengukur dan menilainya adalah akidah dan syariat Islam.

Inilah salah satu contoh yang dimaksud bahwa kita kudu ngerti siapa diri kita maka kita akan ngerti siapa Rabb kita. Itu sebabnya, berhenti sejenak dan renungkanlah sobat. Apakah selama ini kamu udah berada di track yang benar menurut Islam, atau justru udah terlalu jauh ninggalin Islam? Silakan interospeksi diri ya.

Bro en Sis rahimakumullah, mengenali diri kita sendiri juga ada manfaatnya lho. Salah satunya adalah kita nggak bakalan jadi orang yang sombong. Why? Sebab, kita tak bisa hidup tanpa orang lain. Ngapain kudu sombong? Orang yang sombong nggak ada teman yang mau dekat-dekat. Kalo nggak ada yang nemenin kamu, emang kamu bisa hidup sendiri? Nggak lah! Kita ini manusia yang lemah dan membutuhkan kerjasama dengan orang lain di sekitar kita untuk mewujudkan apa yang kita inginkan.

Suatu hari Lukman al-Hakim menasihati anaknya: “Janganlah engkau palingkan wajahmu dari manusia dan jangan menjauhkan diri dari mereka. Janganlah engkau memandang manusia dengan remeh dan hina. Janganlah engkau bergaul dengan orang-orang yang hasad, dengki, dan sombong. Hiduplah engkau bersama manusia dan untuk manusia. Dengarlah dengan teliti jika manusia berbicara dan bergaul denganmu. Tunjukkanlah kepada mereka wajah manis, riang, dan gembira. Senantiasa kamu melemparkan senyum kepada mereka. Jika engkau selalu bersama mereka, mereka akan mencintaimu. Senyum selalu, dan berlemah lembutlah kepada mereka. Jika engkau merendah diri terhadap mereka, mereka akan memuliakan kamu. Ketahuilah wahai anakku, bahwa orang sombong itu tak ubahnya seperti seorang yang berdiri di puncak bukit. Apabila dia melihat ke bawah, semua manusia kelihatan kecil, sedangkan dia sendiri nampak kecil di mata semua manusia lainnya.” (Mutiara Nasihat Lukman al-Hakim, karya Dr. Fathullah al-Hafnawi, hlm. 84-85)

 

Mencatat setiap jengkal peristiwa

Sobat gaulislam, mungkin kamu termasuk orang yang malas untuk menikmati setiap jengkal peristiwa—apalagi mencatatnya—dalam perjalanan hidup kita. Kita mungkin sudah terlalu sibuk untuk mengurusi hal-hal remeh seperti mencatat peristiwa dalam kehidupan kita. Kita sudah merasa cukup puas bahwa dengan terus berjalannya kehidupan kita, kita anggap sudah berhasil dan tak perlu dinikmati atau dicatat.

Ada baiknya lho kita mencatat setiap jengkal peristiwa yang memang berkesan dan menarik serta menjadi bahan evaluasi. Cobalah berhenti sejenak setiap malam atau menyempatkan dalam seminggu dua atau tiga malam untuk merenungkan jejak langkah perjalanan hidupmu. In sya Allah, itu akan memberikan tambahan wawasan bagi kehidupanmu dan sekaligus memberikan kepekaan dan kepedulian untuk mengasah kepribadianmu agar lebih baik lagi di kemudian hari.

BTW, kamu sering nonton film kan? Baik film bergenre horor, komedi, laga, petualangan, asmara, kesetiaan, angkara murka, dan sejenisnya dan sebagainya yang pernah kamu tonton, pastinya ada pesan atau jalan cerita yang menarik dan unik. Mungkin, begitulah gambaran hidup kita. Bedanya, dalam cerita fiksi tentu saja khayalan, tetapi dalam kehidupan kita adalah bagian dari kenyataan yang harus dihadapi.

Itu sebabnya, catat semua peristiwa yang berkesan bagimu. Jika sudah sering mencatat kan bisa jadi bahan cerita atau inspirasi bagi orang lain. Selain itu, tentu catatan yang pernah digoreskan akan menjadi bekal bagimu untuk berhenti sejenak lalu merenungkan makna hidupmu. Siap?

 

Mengakui kesalahan, lalu berbuat baik

Banyak orang merasa gengsi untuk mengakui kesalahan yang dilakukannya. Perasaan seperti itu muncul karena orang tersebut belum memahami hakikat meminta maaf dan sikap tulus dalam pengakuan kesalahan yang sudah diperbuatannya. Tentu saja kudu dibarengi dengan terus berbuat baik untuk menutupi kesalahan yang sudah dilakukannya.

Sobat gaulislam, kata “maaf” bagi sebagian besar dari kita rada sulit untuk mengucapkannya karena berbagai alasan. Kalo kita udah berbuat salah sama teman kita, tapi kita agak gengsi karena kita sebagai ketua kelas: “masa’ sih ketua kelas minta maaf sama anggota kelasnya? Gengsi dong!”. Jangan heran Bro, kondisi ini bukan kahayalan tapi kenyataan. Padahal, meski sebagai ketua kelas meminta maaf kepada anggotanya bukan berarti turun derajat, lho. Boleh dibilang sebagai atasan bukan aib minta maaf sama bawahannya. Kalo memang udah ngelakuin kesalahan dan ingin menebus kesalahan tersebut, kenapa susah untuk meminta maaf? Justru kalo kita minta maaf akan menguatkan citra dan wibawa sebagai ketua kelas. Iya nggak sih? Jadi, nggak perlu gengsi. Nggak perlu malu. Apalagi merasa turun derajat dengan meminta maaf kepada mereka yang levelnya di bawah kita. Lagian nggak ada hubungannya kok.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Meminta maaf adalah salah satu bentuk dari tanggung jawab kita atas apa yang kita lakukan. Jika memang salah, jika memang apa yang kita lakuin tuh keliru, kenapa harus ditutupi? Kenapa pula harus merasa tetap benar dan jaga gengsi? Nggak ada ceritanya tuh kalo minta maaf bakalan merusak citra diri kita. In sya Allah nggak.

Nah, hubungan dengan manusia lainnya sangat penting, dan menjaga serta merawatnya jauh lebih penting. Percayalah, kalo hubungan yang baik itu akan memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan kita. Bahkan ada yang menyatakan bahwa relationship punya andil besar dalam mempengaruhi pencapaian kualitas hidup di wilayah sentral: karir, keluarga, bisnis, sosial dan lain-lain. Oleh karena itu Alf Cattel mengatakan bahwa jika sudah ditakdirkan semua manusia hidup dengan business of selling maka relationship is product. Senada dengan Cattel,  A.H. Smith, mantan presiden perusahaan kereta api di Amerika Serikat, mengatakan: “Kereta api adalah 95 % manusia dan 5 % besi”. (e-psikologi.com dalam pembahasan “self-defeating”)

Jadi kalo hubungan kamu dengan teman lainnya dibelit konflik, jangan lantas pada diem semua. Harus diobrolkan. Berhenti sejenak untuk mengevaluasi diri. Kemudian baru bicarakan dengan teman kita. Jika kita salah, nggak usah gengsi untuk minta maaf kepadanya. Nggak perlu sulit untuk ngomongin permintaan maaf. Oke? Cobalah.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Jangan kamu saling dengki dan iri, dan jangan pula mengungkit keburukan orang lain. Jangan saling benci dan jangan saling bermusuhan, serta jangan saling menawar lebih tinggi atas penawaran yang lain. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya, dengan tidak mendzaliminya, tidak mengecewakannya, tidak membohonginya, dan tidak merendahkannya. Letak takwa ada di sini (Nabi saw menunjuk ke dada beliau, sampai diulang tiga kali). Seorang patut dinilai buruk bila merendahkan sudaranya yang muslim. Seorang muslim haram menumpahkan darah, merampas harta, dan menodai kehormatan muslim lainnya” (HR Muslim)

Oke deh sobat gaulislam, setidaknya tiga poin yang dibahas di sini bisa mewakili banyak hal yang perlu kita renungkan. Ya, karena mengenali diri kita sendiri adalah kunci untuk bisa memahami masalah dan senantiasa menggantungkan pertolongan hanya kepada Allah Ta’ala. Kemudian, mencatat setiap jengkal peristiwa yang kita lalui, adalah bagian dari evaluasi dan interospeksi atas apa yang sudah kita lakukan selama menjalani kehidupan ini. Terakhir, mengakui kesalahan dan terus berbuat baik adalah bagian dari upaya evaluasi dan perbaikan kualitas diri. Dari semua itu, tentu keimanan kamu kudu terus dikokohkan agar lebih kuat lagi sebagai faktor pendorong dari ketiga hal yang sudah dibahas tadi. Semangat! [solihin | Twitter @osolihin]

1 thought on “Berhenti Sejenak, Renungkanlah!

  1. Luar biasa! Gaulislam tak cuma menulis tema2 yg aktual dan tajam analisisnya, tetapi juga menulis hal2 yg sifatnya perenungan dan motivasi diri spt dlm artikel ini. Salut dan tetap berkarya utk para redaksi gaulislam!

    Alhamdulillah. Terima kasih atas komentar dan apresiasinya terhadap tulisan di gaulislam, khususnya tulisan ini. Semoga bisa memberikan inspirasi dan solusi.
    Redaksi gaulislam

Comments are closed.