Friday, 29 March 2024, 01:21

gaulislam edisi 379/tahun ke-8 (6 Rabiul Akhir 1436 H/ 26 Januari 2015)

 

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kamu masih inget nggak tentang peristiwa penembakan awak redaksi majalah Charlie Hebdo di Perancis? Hah, kamu nggak tahu? Ah, yang benar saja. Idih, peristiwa heboh kayak gitu masa’ sih kamu nggak tahu? Kebangetan! Mungkin karena kamu doyannya update berita infotainment dan seputar hiburan melulu (termasuk berkutat dengan urusanmu sendiri). Bagi kamu yang peduli dengan permasalahan kaum muslimin di dalam negeri dan luar negeri, rasa-rasanya peristiwa tersebut nggak akan terlewatkan dari pantauan kamu. Dicerna peristiwanya, apa penyebabnya, lalu mencari solusinya. Begitu kan? Sip!

Kalo di antara kamu ada yang belum tahu peristiwa itu, saya sampaikan sedikit ya. Rabu, 7 Januari 2015 adalah hari terakhir bagi kartunis Cabu, Charb, Tignous, dan Georges Wolinski yang bekerja di majalah Charlie Hebdo. Keempat orang kartunis itu adalah bagian dari 12 orang yang tewas ketika tiga orang pria bertopeng melepaskan tembakan dari senjata otomatisnya di kantor mereka.

Charlie Hebdo adalah majalah yang kerap membuat kartun yang isinya berupa sindiran bahkan sebenarnya sudah masuk kategori pelecehan dan penghinaan, terutama kepada umat Islam. Beberapa kartun yang mereka buat di antaranya pernah menghina Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Konon kabarnya, alasan ketiga pria yang melakukan penembakan di kantor majalah tersebut diduga kuat sebagai aksi balasan atau mungkin ‘menuntaskan dendam’ terhadap ‘kelakuan’ Charlie Hebdo yang sering berteriak atas nama kebebasan ketika diingatkan atas kelakuan buruknya menyindir, melecehkan, bahkan menghina umat Islam melalui kartun-kartun yang dibuat dan diterbitkannya.

Nah, sekarang kamu jadi ngeh kan meski infonya hanya sekilas? Kalo kamu belum puas dapetin info ini, silakan aja searching di internet perihal ini.

 

Bebas yang kebablasan

Sobat gaulislam, setiap orang kayaknya pengen banget bisa bebas. Bebas memilih, bebas berbuat, bebas memiliki, bebas ngomong dan bebas lainnya. Di satu sisi kelihatannya enak banget. Tetapi sebebas-bebasnya, kita tetap akan berhadapan dengan orang lain yang juga ingin mendapatkan kebebasan. Kalo semuanya pengen bebas, apa nanti jadinya bisa kacau? Misalnya nih, kamu ngendarain sepeda motor yang knalpotnya udah dimodif jadi bising. Atas nama kebebasan, lalu kamu ngendarain tuh motor di jalan. Tetapi, pasti kamu akan berhadapan dengan orang lain yang atas nama kebebasannya ingin menikmati kesendiriannya tanpa suara-suara bising. Nah, pastinya bakalan bentrok deh. Antara yang pengen berisik dengan yang pengen hening, meski sama-sama atas nama kebebasan. Kalo nggak diatur, pastinya bakalan ribut. Tul nggak?

Nah, dengan demikian nggak ada kebebasan mutlak atau kebebasan yang kebablasan. Semua ada aturannya. Meskipun kamu pengen bebas di sekolah. Tetapi aturan sekolah akan mengendalikan kamu. Ada rambu-rambu yang kudu diperhatikan dan ditaati. Misalnya soal pakaian seragam. Kalo kamu ngotot nggak mau pake seragam sekolahmu, padahal kamu sekolah di situ, siap-siap aja kena sanksi alias hukuman. Meskipun seseorang bebas berpendapat, tetapi jika isinya caci maki dan hinaan, siap-siap aja menuai protes. Gimana pun juga, bebas bukan berarti tanpa batas. Ada aturan yang kudu dibuat dan disepakati. Tul nggak?

Nah, dalam kasus Charlie Hebdo, majalah mingguan yang kerap menyindir dan menghina semua agama—apalagi kepada Islam—maka pantas jika ada orang yang melawannya. Kebebasan yang diteriakkan pengelola majalah itu termasuk kebebasan yang kebablasan. Wajar aja dong kalo ada yang ingin menyumpal kebebasannya yang tanpa batas itu?

Sobat gaulislam, dalam kehidupan kapitalisme-sekularisme, kebabasan jadi nomor satu. Tetapi anehnya, karena memang dibuat berdasarkan hawa nafsu, mereka ternyata anti kebebasan juga. Khususnya kalo hal itu menyangkut Islam. Contohnya, meski menganut paham kebebasan berpendapat dan kebebasan berperilaku, tetapi di Perancis, muslimah dilarang mengenakan kerudung dan jilbab. Aneh banget kan? Seaneh pikiran pengelola Charlie Hebdo yang menggalang dukungan dunia untuk melawan orang yang membunuh awak redaksi mereka, sementara mereka sendiri menebar kebencian atas nama kebebasan yang bisa memancing kemarahan pihak lain kepada mereka.

 

Sekadar analisis sederhana

Sobat gaulislam, apa saja yang menarik dari kasus ini? Pertama, terlepas dari siapa pelakunya dan motif penembakan tersebut (meskipun belakangan konon kabarnya pelakunya adalah muslim), peristiwa ini akan berdampak kurang baik bagi umat Islam di Perancis dan eropa pada umumnya. Selain dampak bagi kaum muslimin, juga setidaknya memunculkan kekhawatiran bagi mereka yang kerap menghina Islam dan kaum muslimin. Kedua, opini media massa dunia dan juga nasional yang terpecah menjadi pro dan kontra. Meski jika diteliti sepertinya lebih banyak yang kontra terhadap pelaku penembakan dan malah membela mereka yang berada di belakang Charlie Hebdo. Ketiga, dilihat dari sudut pandang teori komunikasi massa terkait stigma, labeling dan agenda setting.

Benar, bahwa peristiwa ini akan berdampak kurang baik bagi kaum muslimin di Perancis dan eropa pada umumnya, perlu mendapat perhatian. Namun, kita tak perlu mengkhawatirkan—apalagi menakut-nakuti—bahwa kaum muslimin di sana akan mendapat petaka akibat peristiwa ini. Mungkin saja iya. Tetapi bisa jadi tidak. Jangan menafikan pertolongan Allah Ta’ala. Itu sebabnya, yang kita lakukan adalah mendoakan kaum muslimin di sana agar kuat dan kian semangat menghadapi persoalan pelik seperti ini. Selain mereka sudah terlatih mendapat tekanan, dampak peristiwa ini semoga kian menguatkan keimanan mereka untuk tetap istiqomah bersama Islam. Jika masalahnya adalah akan terjadi penyiksaan dan penindasan, seharusnya kita melihat bahwa sudah sering umat Islam di belahan dunia lain merasakan hal itu. Semoga seharusnya tak menyurutkan semangat. Hadapi dan yakin dengan pertolongan Allah Ta’ala.

Di sisi lain, kasus ini akan memberikan efek jera—meski tak 100 persen ampuh—terhadap orang-orang yang melecehkan dan menghina agama atas nama kebebasan berpendapat. Setidaknya mereka akan berpikir dua kali sebelum melakukannya kembali. Mereka akan menilai untung-rugi karena tak mau bermain-main dengan nyawa mereka.

Bagaimana dengan opini media massa dunia dan nasional dalam merespon kejadian ini? Selalu banyak spekulasi dan juga asumsi. Meski kedua hal itu akan dilontarkan tergantung cara pandang penulisnya. Jika mereka pro kebebasan yang kebablasan, tentu saja akan membela Charlie Hebdo. Mereka yang setuju dengan pelaku penembakan, akan menuliskan pembelaannya juga. Bingung? Tidak perlu. Setiap orang itu punya cara pandang. Tetapi sebagai muslim, cara pandang yang wajib dimiliki adalah cara pandang Islam. Maka, pro dan kontra berupa opini dari beragam media massa yang ada, tak usah menjadikan kita pusing. Sebaiknya cermati faktanya, cari sudut pandang Islam terhadap masalah itu. Dakwah, kadang seperti bercocok tanam. Ada yang bertugas menanam dan harus ada yang bertugas mengusir hama. Peristiwa kemarin itu, anggap saja bagian dari mengusir hama.

Lalu apa yang menarik dilihat dari teori komunikasi massa? Buktinya, tak perlu menunggu waktu lama bagi pemerintah Perancis untuk segera mengumumkan bahwa pelakunya adalah mereka yang terlibat dalam jaringan Al-Qaeda. Kesimpulan yang terburu-buru, dan selalu seperti itu jika pelakunya kebetulan muslim. Padahal, adakalanya tak berhubungan sama sekali. Namun, itulah stigmatisasi yang dibangun, labeling yang kerap dibuat, dan tentu sarat dengan agenda setting. Sangat boleh jadi, pihak tertentu ingin mengobarkan kembali proyek memerangi terorisme (baca: memerangi kaum muslimin). Kejadian ini hanya pemicu saja agar bisa dianggap legal untuk melakukan perang tersebut. Sama seperti ketika Amerika Serikat bernafsu memerangi Afghanistan yang dipicu dari peristiwa 11 September 2001. Wait and see.

 

Bebas tapi syar’i  

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,” (QS al-Mudatsir [74]: 38)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ayat ini menjelaskan bahwa kita akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang kita kerjakan. Manusia harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Itu sebabnya, nggak ada kebebasan mutlak. Apalagi alasan kebebasan tersebut adalah ketika melanggar hak orang lain. Waduh, itu sih namanya ngundang penyakit dan pasti bikin rusuh!

So, semua ada aturan mainnya. Nggak bebas mutlak. Lalu apa yang akan membatasinya? Ajaran agama. Ya, sebab bagi seorang muslim, ajaran agama atau syariat Islam adalah pedoman dalam berperilaku. Benar atau salahnya disesuaikan dengan aturan yang telah ditetapkan. Allah Ta’ala befirman (yang artinya): “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.(QS al-Ahzab [33]: 36)

Ayat ini menjelaskan dengan tegas bahwa orang-orang beriman (baik laki maupun perempuan) wajib taat kepada aturan yang ditetapkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Kalo nekat bikin aturan sendiri untuk menyelasaikan problem kehidupannya, sembari menganggap aturan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya harus ditolak, itu artinya sudah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan tentu dicap sesat. Ih, naudzubillah min dzalik!

Sobat gaulislam, kamu harus tahu bahwa Islam mengatur kebebasan. Tetapi tidak bablas. Ada aturan mainnya dan harus sesuai Islam. Catet ye! [O. Solihin | Twitter @osolihin]