Wednesday, 9 October 2024, 00:17

gaulislam edisi 716/tahun ke-14 (2 Dzulhijjah 1442 H/ 12 Juli 2021)

Semoga kamu semua nggak kaget membaca judulnya. Ya, sebenarnya sih emang nggak perlu kaget, sih. Biasa aja, lagi. Cuma, kesan pertama karena ada tulisan “neraka” jadi rada ketar-ketir, ya. Bagus kalo gitu. Berarti takut kepada Allah karena khawatir banyak dosa lalu dimasukkan ke neraka. Emang mestinya ngeri. Kalo mendengar kata “neraka” tapi nggak ngeri, berarti perlu dicek keimanannya. Beneran, lho. Jangan sampe kayak ada tuh yang koar-koar di medsos katanya nggak apa-apa masuk neraka juga daripada di akhirat bersama ulama (dia nyebutin beberapa ulama yang dibencinya). Wah, kalo kamu ngeh sih, pasti tahu siapa yang saya maksud. Males sih saya nyebutin namanya. Hadeeuuh.

Sobat gaulislam, mungkin di antara kamu ada yang tanya kok judulnya digabungkan tiga penyebutan: Covid-19, Neraka, dan Surga. Iya, emang sengaja. Begini penjelasannya. Saat ini, ketika pandemi Covid-19 merajalela, sampai diberlakukan PPKM alias Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, yang katanya darurat, banyak orang takut terinfeksi virus tersebut. Istilah taat prokes alias protokol kesehatan menggema di seantero negeri. Pasti kamu juga pada ngeh, kan. Ada pula istilah 5M (Mencuci tangan, memakai Masker, Menjaga jarak, Menjauhi kerumunan, dan Mengurangi mobilitas) yang harus dipatuhi demi keselamatan bersama. Intinya, untuk hal beginian, karena bisa jadi urusannya adalah hidup dan mati, maka semua siaga dan semua waspada.

Bagus sih, artinya ada edukasi agar masyarakat menjaga kesehatan diri dan lingkungannya demi keselamatan banyak orang. Mereka akhirnya banyak taat prokes. Walau, di lapangan sih ada juga yang nggak taat prokes. Maskeran aja nggak. Di pasar malah jaga jarak nggak berlaku. Tapi di masjid ketika shalat berjamaah malah ada banyak yang menerapkan jaga jarak. Piye, jal?

Menurut kamu, itu udah bagus atau belum? Maksudnya yang taat prokes demi kesehatan dan keselamatan diri dan sesama? Bagus! Betul. Itu udah bagus. Artinya, informasi seputar Covid-19 udah dipahami sebagai bahaya. Sehingga banyak masyarakat waspada. Walau, itu tadi, banyak juga yang nggak percaya. Okelah, nggak perlu berdebat soal itu.

Nah, sekarang pertanyaannya, apakah ada banyak orang takut dan tergerak untuk beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala ketika disampaikan bagaimana mengerikannya neraka dan bagaimana nikmatnya surga? Belum tentu semua takut dan tergerak untuk beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Buktinya masih banyak orang kafir. Udah sejak lama begitu, sejak masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih ada. Orang kafir ada juga di masa nabi, bahkan memerangi nabi dan para sahabat. So, kalo di zaman sekarang ada yang kafir juga sebenarnya nggak heran, sih. Mereka takut pada “monsterisasi” Covid-19, tetapi tidak takut ancaman neraka bagi mereka yang kafir dan senantiasa berbuat maksiat. Adem-adem aja kayak nggak ada rasa takut. Ini problem sebenarnya, Bro en Sis.

Bagimana dengan informasi tentang surga? Banyak yang berharap mendapatkannya, sih. Meski demikian, hanya sedikit yang tergerak untuk taat sebagai bukti bahwa dia benar-benar menginginkan surga. Banyak yang cuma pengennya doang, tetapi malas ibadah. Banyak yang ingin masuk surga, tetapi maksiat terus dilakukan. Duh, aneh nggak sih?

Covid-19 ada, Neraka ada, Surga juga ada

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Benar, bahwa Covid-19 itu ada dan nyata, setidaknya kita mempercayainya dari informasi yang disampaikan para ahlinya. Terlepas apakah virus itu alami atau buatan di laboratorium lalu disebar oleh pihak yang tak bertanggung jawab, bukan lagi urusan. Apakah ini pandemi alami, atau plandemi alias direncanakan, bukan juga urusan kita. Namun, secara fakta kita sekarang sedang berhadapan dengan ganasnya virus tersebut. Meski tentu saja sebagai pengemban dakwah dan sebagai muslim yang percaya dengan kondisi akhir zaman, percaya pada al-Quran bahwa orang Yahudi dan Nasrani tak akan pernah ridho pada kita, maka kita perlu waspada dengan mereka. Intinya, jaga kesehatan sekaligus jaga keimanan dan tentunya sambil mencari tahu bukti adanya konspirasi di balik semua ini. Begitu.

Kalo Covid-19 diyakini ada dan nyata (bisa dilihat di laboratorium dengan alat khusus), sebenarnya neraka dan surga juga ada, hanya saja secara fisik tidak bisa kita lihat saat ini. Namun demikian, kita tetap wajib percaya dan beriman. Apalagi surga dan neraka ada penjelasannya dalam hadits dan sudah diciptakan. Berarti sudah ada.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika Allah menciptakan surga, Dia berfirman kepada Jibril, ‘Pergi dan lihatlah (surga itu)’. Jibril pun pergi untuk melihatnya. Jibril kembali seraya berkata, ‘Tuhanku, demi keperkasaan-Mu, tidak seorang pun mendengar (tentang surga itu) kecuali dia (ingin) memasukinya’. Kemudian Allah Ta’ala mengelilingi (surga) dengan kesulitan-kesulitan (untuk mencapainya) dan berfirman kepada Jibril, ‘Wahai Jibril! Pergi (lalu) lihatlah (surga itu)’. Jibril pun pergi untuk melihatnya. (Jibril) kembali seraya berkata, ‘Tuhanku, demi keperkasaan-Mu, sungguh aku khawatir tidak seorang pun yang (dapat) memasukinya’.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Tatkala Allah Ta’ala menciptakan neraka, Dia berfirman, ‘Wahai Jibril! Pergi (lalu) lihatlah (neraka itu)’. Jibril pun pergi untuk melihatnya. (Jibril) kembali seraya berkata, ‘Wahai Tuhanku, demi keperkasaan-Mu dan kemuliaan-Mu, tidak seorang pun mendengar (tentang neraka itu) kecuai ia tidak berkeinginan untuk memasukinya’. Kemudian Allah Ta’ala mengelilingi (neraka itu) dengan keinginan-keinginan syahwati dan berfirman kepada Jibril, ‘Wahai Jibril! Pergi dan lihatlah neraka itu’. Jibril pun pergi untuk melihatnya. Kemudian ia kembali dan berkata, ‘Wahai Tuhanku, demi keperkasaan-Mu dan kemualiaan-Mu, sungguh aku khawatir bahwa tidak akan tersisa seorang pun kecuali akan memasukinya’.” (dalam penjelasan kitab Sunan Abu Daud, hlm. 13-14)

Oke, berarti kita mestinya sepakat ya, bahwa neraka dan surga itu ada. Artinya, apa yang kita lakukan pastinya akan berdampak pada kehidupan di akhirat. Kalo kita sudah mengucapkan kalimah syahadat namun banyak dosa dan tak mendapat rahmat dan ampunan Allah Ta’ala, ya mampir ke neraka dulu sebelum akhirnya ke surga.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu siapa orang yang paling terakhir dikeluarkan dari neraka dan paling terakhir masuk ke surga. Yaitu seorang laki-laki yang keluar dari neraka dengan merangkak.

Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Pergilah engkau, masuklah engkau ke surga.”

Ia pun mendatangi surga, tetapi ia membayangkan bahwa surga itu telah penuh.

Ia kembali dan berkata, “Wahai Rabbku, aku mendatangi surga tetapi sepertinya telah penuh.”

Allah berfirman kepadanya, “Pergilah engkau dan masuklah surga.”

Ia pun mendatangi surga, tetapi ia masih membayangkan bahwa surga itu telah penuh.

Kemudian ia kembali dan berkata, “Wahai Rabbku, aku mendatangi surga tetapi sepertinya telah penuh.”

Allah berfirman kepadanya, “Pergilah engkau dan masuklah surga, karena untukmu surga seperti dunia dan sepuluh kali lipat darinya.”

Orang tersebut berkata, “Apakah Engkau memperolok-olokku atau menertawakanku, sedangkan Engkau adalah Raja Diraja?”

Ibnu Mas’ud berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi geraham beliau. Kemudian beliau bersabda, “Itulah penghuni surga yang paling rendah derajatnya.” (HR Bukhari, no. 6571, 7511; Muslim, no. 186)

Hadits ini menunjukkan bahwa jika orang beriman yang masih memiliki iman walaupun kecil, ketika masuk neraka, tidak akan kekal di dalamnya. Kalo menurut ustaz saya, beriman dan pernah beramal shalih walau sedikit. Intinya, dia tidak akan kekal di neraka dan kemudian akan masuk surga. Cuma, ya jangan punya cita-cita mampir ke neraka dulu sebelum ke surga. Naudzubillahi min dzalik.

Kalo orang kafir gimana? Duh, itu mah ngeri Bro en Sis. Kekafiran mereka membuat mereka kekal di neraka. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS al-Bayyinah [98]: 6)

Kematian itu pasti, tawakal saja

Sobat gaulislam, sebab kematian itu adalah datangnya ajal. Allah Ta’ala telah menetapkan itu. Ajal nggak bisa diundur atau dimajukan walau cuma sepersekian detik. Tetapi sesuai takdir yang telah ditetapkan.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (ajal); maka apabila telah datang ajalnya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS al-A’raf [7]: 34)

Perkara apakah kondisi yang menyebabkan menemui ajalnya adalah karena sakit atau tersebab kecelakaan atau gugur di medan jihad, itu kita tak kuasa mengaturnya. Allah Ta’ala yang sudah menentukannya. Itu sebabnya, karena kematian itu pasti, maka kita kudu waspada dan senantiasa beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Mendekat dengan ketaatan dan melaksanakan syariat-Nya. Jauhi maksiat dan jangan pernah sengaja berbuat maksiat atau melakukan kezaliman. Tentu, agar ketika ajal datang kita udah siap membawa bekal iman dan takwa serta amal shalih.

So, nggak usah takut kena Covid-19 sehingga hanya fokus pada upaya penyelamatan diri, ikhtiar kesehatan tetapi mengabaikan tawakal. Sebab, mestinya tawakal terlebih dahulu, baru ikhtiar.

  Nah, dalam kasus wabah Coronavirus ini (Covid-19), berarti jelas kudu ada usaha juga dalam pengertian menjaga kesehatan diri, ya. Selain itu, usaha dalam bentuk dzikir dan doa serta meninggalkan maksiat.

Saya coba ambil penjelasan dari Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Kitab Fawaidul Fawaid (terjemahan) di koleksi perpustakaan pribadi saya (cetakan kelima, Juli 2018). Ringkasnya begini:

Tawakal kepada Allah ada dua macam. Pertama, tawakal kepada Allah sekadar untuk memperoleh semua kebutuhan duniawi, atau menghindar dari segala yang tidak diinginkan dan segala musibah yang ada.

Kedua, tawakal kepada Allah untuk memperoleh apa-apa yang dicintai dan diridhai-Nya, seperti iman, keyakinan, jihad, dan dakwah. Dua macam tawakal ini mempunyai keutamaan yang berbeda, dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahui perbedaan keutamaan antara keduanya.

Jika seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan sebaik-baiknya pada bentuk yang kedua, niscaya Allah akan memenuhi seluruh harapannya pada tawakal bentuk yang pertama. Sedangkan jika ia bertawakal kepada-Nya pada bentuk yang pertama saja, maka Allah tetap akan mencukupkan baginya; namun, buah dari tawakalnya itu bukan berupa sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.

Lebih lanjut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menuliskan bahwa bentuk tawakal hamba yang paling agung adalah tawakal dalam hal memohon hidayah, memurnikan tauhid, mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan memerangi para pelaku kebatilan. Itulah tawakal para Rasul Allah dan para pengikut utama mereka.

Beliau menjelaskan pula bahwa adakalanya tawakal muncul dari keterpaksaan. Yaitu, seseorang baru bertawakal kepada Allah ketika sudah terhimpit dan tidak menemukan tempat untuk berlindung. Ketika merasa semua upayanya buntu, hati terasa sempit, dan mulai melihat bahwa hanya Allah tempat satu-satunya, maka ketika itulah dia baru bertawakal kepada-Nya. Namun, tawakal semacam ini tidak melahirkan jalan keluar dan kemudahan atas kesusahan yang ada.

Adakalanya pula sikap tawakal lahir dari sebuah pilihan, bukan keterpaksaan. Yaitu, seseorang bertawakal di saat sebab-sebab (jalan) untuk mencapai keinginannya masih terbuka. Jika sebab itu termasuk sesuatu yang diperintahkan oleh syariat, maka meninggalkan sebab itu termasuk perbuatan tercela. Sementara, jika sebab itu dilaksanakan dengan konsekuensi pengabaian tawakal, maka meninggalkan tawakal juga tergolong sikap yang tercela. Pasalnya, bertawakal hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan umat Islam dan nash al-Quran. Maka, yang wajib dilakukan oleh seorang hamba dalam situasi ini adalah melaksanakan kedua-duanya.

Lalu bagaimana mewujudkan tawakal? Makna tawakal dapat terwujud dengan melaksanakan sebab-sebab yang diperintahkan-Nya untuk mewujudkan apa yang diinginkan. Orang yang tidak berupaya tidak dikatakan telah bertawakal. Sebagaimana harapan yang tidak dibarengi dengan upaya untuk mewujudkannya merupakan angan-angan kosong belaka; bergitu pula, tawakal yang tidak dibarengi dengan upaya hanya mencerminkan suatu kelemahan, atau kelemahan yang mengatasnamakan tawakal.

Rahasia dan inti dari tawakal adalah menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala semata. Mengupayakan suatu sebab tidak menodai tawakal selama hati tidak bergantung dan tidak condong kepada sebab tersebut. Karena, meskipun seseorang mengucapkan: “Aku bertawakal kepada Allah,” namun tawakalnya itu tidak ada artinya selama hatinya masih bergantung, condong, dan lebih percaya kepada selain Allah. (Fawaidul Fawaid, hlm. 113-115)

Misalnya nih, agar terhindar dari Covid-19, lalu hanya mengandalkan bersih-bersih diri, menjadikan pedoman 5M diyakini sebagai cara memutus mata rantai penyebaran virus, lockdown jadi semacam keyakinan pasti untuk meyelesaikan wabah ini. Sehingga shalat di masjid shaf-nya jadi lebar-lebar banget padahal shalat jamaah. Nggak gitu. Karena, itu artinya kita masih percaya bahwa sebab tersebut sebagai keyakinan pasti, bukan tawakal kepada Allah, walau bilang: “ini tawakal kepada Allah”.

Semoga bisa dipahami, ya Bro en Sis. Inti dari edisi kali ini, bahwa Covid-19 itu ada dan lengkap dengan konsekuensinya jika terinfeksi sehingga membuat kita harus jaga kesehatan dan banyak berdoa. Nanun, jangan lupakan neraka dan surga. Keduanya sudah diciptakan dan tentu sudah ada. Jangan sampai kita hanya fokus agar tak tertular virus, tetapi malah abai dengan menjauhkan diri dari Allah Ta’ala, sehingga bukan surga yang didapat, malah neraka yang jadi tempat kita kelak. Nudzubillahi min dzalik.

Itu sebabnya, selain menjaga kesehatan diri dengan taat prokes, juga lebih wajib lagi dengan mengokohkan keimanan dan menguatkan ketakwan serta menjauhi maksiat. Sehingga, jika pun pada akhirnya qadarullah kita terpapar virus, bahkan kemudian meninggal dunia, tetapi dalam kondisi tetap beriman dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Insya Allah. [O. Solihin | IG @osolihin]