Thursday, 25 April 2024, 07:30

gaulislam edisi 671/tahun ke-13 (12 Muharram 1442 H/ 31 Agustus 2020)

Bro en Sis rahimakumullah, kamu mestinya tahu ya bedanya orang yang berilmu dengan orang yang bodoh. Ya, kalo orang yang berilmu mestinya dia tahu benar dan salah. Tahu juga baik dan buruk. Bisa memilah mana yang terpuji dan mana yang tercela. Termasuk tahu betul mana yang halal dan mana yang haram. Berbeda tentunya dengan orang yang bodoh. Ya, kebodohan itu karena nggak punya ilmu. Akibatnya, menjalani kehidupan ini tanpa pegangan. Masih mending mau tanya-tanya kepada yang berilmu, gimana kalo nggak menyadari kalo dia bodoh alias nggak berilmu? Bahaya!

Namun, ada yang lebih bahaya lagi, yakni orang yang tak mau tahu. Orang jenis ini sudah belajar dan tahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang halal dan mana yang haram. Sudah tahu, tetapi karena hawa nafsunya lebih dominan, maka ia jadi bersikap masa bodoh. Level tertentu dari “tak mau tahu”. Artinya, ia lebih condong kepada hawa nafsunya. Kalo hawa nafsunya yang dituruti, maka akibatnya jadi pengikut setan. Jauh dari ketaatan, tetapi dekat dengan kemaksiatan yang berakibat kepada kesesatan. Semoga kita dijauhkan dari sifat sedemikian.

Nah, kalo ngajinya bener insya Allah nggak bakalan ngeyel bin ngawur. Eh, emang ada ngaji yang nggak bener? Ada. Yakni, kalo kamu cuma ikut-ikutan doang. Niatnya sekadar biar dianggap alim. Namun ilmunya yang didapat nggak menjadikan dia tambah taat. Kalo model gini sih, kudu diluruskan niatnya. Sebab, kalo dibiarkan ngajinya cuma ikut-ikutan doang, nggak akan bener hasilnya. Kasihan.

Nah, ngomongin soal ngaji, kamu sebagai remaja juga tetap wajib belajar. Nyari ilmu. Ngaji itu bagian dari cara meraih ilmu. Khususnya ilmu agama. Selain itu, ketika ngaji kita bakalan tahu makna hidup. Beneran!

Mengajarkan makna hidup

Sobat gaulislam, sebelum bicara tentang makna hidup, kita kenalan dulu, apa sih yang disebut hidup itu? Hmm… hidup dapat didefinisikan dari dua aspek, lho. Pertama, aspek biologis dan kedua,aspek sosiologis. Dari aspek biologis, hidup (al-hayah) seperti diungkapkan oleh Ghanim Abduh dalam Naqdhul Isytirakiyah al-Marksiyah (Kritik terhadap Sosialis-Marxis) adalah sesuatu yang maujud (ada) dalam makhluk hidup (asy-syai‘u al-qaa‘im fi al- ka‘ini al-hayyi).

Dalam pengertian ini, hidup dipahami sebagai esensi alias intisari yang membuat sesuatu menjadi hidup, yang membedakannya dengan benda-benda mati, baik benda itu benda mati secara asli;  kayak batu, pasir, es, air, maupun benda mati dalam arti benda yang sebelumnya berasal dari benda hidup, seperti kayu. Nah lho, moga kamu nggak bingung. Ehm…

Hidup, dengan demikian, nampak dan eksis dengan berbagai tanda-tandanya, seperti kebutuhan akan nutrisi, gerak, peka terhadap rangsangan, pertumbuhan, dan perkembangbiakan. Nah, coba rasakan sekarang, apakah kamu memiliki ciri-ciri tadi? Pastinya kalo masih hidup punya ciri-ciri itu. Kalo nggak? Berarti siap-siap disolatkan aja deh hehehe…

Lawan dari hidup dalam pengertian biologis ini, adalah mati. Yakni tiadanya atau hilangnya tanda-tanda kehidupan pada sesuatu. Maka, batu adalah benda mati karena tak ada satu pun tanda-tanda kehidupan padanya. Demikian pula seseorang yang telah membujur kaku di kamar jenazah disebut telah mati, karena telah hilang darinya tanda-tanda kehidupan yang semula dimilikinya. Nah, kamu yang lagi baca ini, masih hidup kan? Gubrakzz..!

Oya, kalo tadi secara biologis, sekarang berdasarkan sosiologis, yakni hidup berkaitan erat dengan segala perbuatan manusia yang terwujud dalam seluruh interaksi yang dilakukannya. Dengan pandangan yang demikian, hidup berarti menyangkut seluruh aktivitas manusia dalam berbagai macam interaksinya satu sama lain. Ketika manusia melakukan aktivitasnya dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain, berarti dia telah melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Artinya, dia telah menjalani atau “mengisi” hidupnya.

Pertanyaannya, bagaimana cara mengisi hidup ini? Sebelum ke sana, kita perlu jawab pertanyaan: untuk apa sih kita hidup? Nah, ini baru deh nyampe ke persoalan yang ada hubungannya dengan manfaat ngaji sebagai solusi antibete.

Begini Bro en Sis, kalo kita ngaji tentang Islam, nanti bakalan diajarkan tuh tentang keberadaan kita di dunia ini. Dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup dunia (sekaligus dengan cara apa ngisinya), dan akan kemana kita setelah kehidupan dunia ini. Kalo ditanya begini, kamu jangan ngeles dengan ngasih jawaban kayak lagu lawas ini: “Jangan ditanya, kemana aku pergi..” Hehehe (maksain banget nggak seh? Eh, kamu tahu nggak lagu tersebut? Duh, jangan-jangan emang yang nulis udah tua banget!)

Sobat gaulislam, kayaknya kita kudu mulai serius mikirin soal hidup ini. Tapi juga nggak perlu tegang banget. Soal hidup ini, Allah Ta’ala berfirman, “Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS al-Baqarah [2] : 21)

Nah, kalo kita nggak ngaji atau ogah belajar, nggak bakalan tahu tentang makna hidup ini. Itu sebabnya, kalo kita udah tahu bahwa kita adalah makhluk Allah dan diminta untuk menyembah-Nya sekaligus bertakwa, maka dijamin kita nggak bakalan bete dalam hidup ini. Sesulit apapun kehidupan yang kita jalani, kita bakalan menikmatinya dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah. Insya Allah tidak akan pernah merasa bete lagi.

Itu semua karena kita udah punya pegangan berupa peta jalan hidup yang benar dan jelas. Kita udah bisa mengetahui bahwa kita berasal dari Allah Ta’ala. Kita diciptakan oleh Allah Ta’ala. Terus, karena kita udah ngeh bahwa misi kita di planet bumi ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, maka tentunya kita nggak bakalan gamang lagi dalam hidup ini. Selain untuk menyambung hidup, tugas utama kita adalah beribadah kepada Allah.

Oya, saya ingin jelasin dikit tentang ibadah. Dalam kamus al-Muhiith karya Fairuz Abaadiy disebutkan bahwa ibadah (al ‘ibaadah) secara bahasa adalah (ath-thaa’ah) alias taat. Sedangkan menurut istilah (hukum syara’), al ‘ibaadah memiliki dua makna, yaitu secara umum dan secara khusus. Makna al ‘ibaadah secara umum yaitu ketaatan kepada perintah-perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Dalil dalam masalah ini adalah, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS adz-Dzaariyaat [51]: 56)

Adapun makna khusus dari al ‘ibaadah adalah segala  bentuk perintah dan larangan hukum syara’ yang mengatur hubungan seorang muslim dengan Rabbnya, yaitu apa-apa yang disebutkan oleh fuqaha alias para ahli fikih sebagai ibadah seperti shalat, zakat, haji, puasa, dan jihad.

Nah, karena misi kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, maka jelas amalan itu akan dibawa kelak, yakni di akhirat nanti. Karena akhirat adalah tempat kembali kita (semoga surga yang kita dapat), maka jelas kita akan kembali kepada Allah Ta’ala. Itu sebabnya, di kain penutup keranda jenazah (biasanya warna ijo) kadang tertulis lafadz: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Yup, arti kalimat itu adalah “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya-lah kami kembali.” Kalimat ini oleh para mufasir (ahli tafsir) dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Bahkan kita disunahkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil (termasuk kematian).

Sobat gaulislam, dengan ikut ngaji kita jadi ngeh tentang makna hidup ini. Melalui ngaji pula kita jadi paham apa yang kudu dilakukan di dunia ini, dan kita pun jadi sangat ngerti apa yang akan dibawa kelak ke akhirat pas bertemu dengan Allah Ta’ala. Itu artinya pula bahwa keberadaan di dunia bukan untuk disesali, tapi disyukuri karena kita diberikan kesempatan untuk beramal baik sebanyak-banyaknya yang akan dipamerkan di hadapan Allah Ta’ala kelak. Hidup jadi lebih bermakna kalo kita tahu peta jalan hidup yang kudu kita lalui. Inilah salah satu keuntungan kita ikut ngaji.

Jadi, yuk kita ngaji biar tambah cerdas, en tentunya nggak bakalan bete lagi dalam menjalani hidup ini. Nggak usah ditunda-tunda lho, takut keburu meninggal dan nggak sempet lagi beramal baik. Nyesel deh nantinya. Itu sebabnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda (yang artinya): “Bersegeralah menunaikan amal-amal kebajikan. Karena, saatnya nanti akan datang banyak fitnah, bagaikan penggalan malam yang gelap gulita. Betapa bakal terjadi seseorang yang di pagi hari dalam keadaan beriman, di sore harinya ia menjadi kafir. Dan seseorang yang di waktu sore masih beriman, keesokan harinya menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan komoditas dunia.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Oya, jangan lupa, yang perlu dicermati juga adalah biar ngaji tetep enjoy dan nggak malah bikin bete (baik bagi yang udah ngaji maupun buat yang belum ngaji), kita bisa mengemas pengajian itu dengan asyik dan menarik. Bukan apa-apa, karena kita ingin agar aktivitas ngaji terasa enjoy dan akhirnya merupakan kebiasaan kita. Ujungnya, kita akan dibentuk oleh kebiasaan kita.

Nah, kalo ngaji udah jadi kebiasaan kita, maka kita akan terbentuk dengan pola yang diajarkan di pengajian. Lihat deh temen-temen di pesantren, meski awalnya harus beradaptasi dengan lingkungan barunya, tapi lama kelamaan ia malah akan terbentuk dengan kebiasaan akibat bersentuhan dengan lingkungan barunya itu. Kebiasaan baik tentunya. Inilah yang ingin saya tanamkan bahwa ngaji itu asyik, bahwa belajar itu menyenangkan, dan mencari ilmu nggak serasa dibebani berton-ton doktrin. Plus, tentunya nggak bete dong ya.

Bro en Sis rahimakumullah, mulai sekarang kita bisa ciptakan suasana menyenangkan dalam aktivitas pengajian. Kita bisa bangun bersama aktivitas mencari ilmu ini dalam kerangka yang enak dilakoni. Kita bakalan punya sahabat yang peduli, guru yang melindungi, dan kajian yang enak ‘dikunyah’. Itu semua bisa kita dapatkan dengan terus mengembangkan inovasi baru dan menanamkan bahwa ngaji itu nggak berat dan nggak bikin bete, tapi justru malah mengasyikan dan menyenangkan. Jadi, kalo kamu lagi galau, ngaji aja! Ditunggu lho! [O. Solihin | IG @osolihin]