Wednesday, 11 December 2024, 13:27

gaulislam edisi 516/tahun ke-10 (20 Dzulhijjah 1438 H/ 11 September 2017)

 

Waduh, ini judul mantep banget. Kamu bisa ngeden dan garuk-garuk tembok kalo nggak terbiasa disuguhi deretan kata yang susah dipahami atau dirasa berat diucapkan. Tenang Bro en Sis, kalo ngebahasnya sih insya Allah tetap dengan gaya khas gaulislam: ringan tapi berisi. Nggak percaya? Lanjutin aja bacanya. Itu pun dengan catatan, kamu siapkan diri untuk membacanya ya, salah satunya kesabaran. Siapa tahu isinya tambah berat kamu pahami. Jadi kalo dirasa berat dan susah paham, sabar aja ya. Hehehe…

Omong-omong, bosan nggak sih kalo setiap hari menu makan kamu itu-itu saja? Tempe lagi, tahu lagi. Kalo nasi sih, emang udah khasnya orang kita, nggak bisa lepas dari nasi bila yang dimaksud adalah makan. Sebab, mau makan sebanyak apapun camilan, tetap saja belum dikategorikan makan kalo belum ngemil, eh, makan nasi.

Kalo makanan yang itu-itu saja bisa bosen ya? Tapi gimana dengan gosip? Hmm… sepertinya kalo ini sih, banyak yang betah berlama-lama dan mengulang-ulang, bahkan nafsu banget untuk nambah durasi ngunyah ngegosip. Buktinya, banyak yang masih setia mengikuti acara-acara infotainment di televisi atau mantengin akun media sosial penebar gosip (nggak mau nyebutin nama akunnya, entar adminnya keenakan jadi iklan gratis kalo ditulis di sini). Ya, begitulah, meski menu gosip itu-itu saja, tetap banyak yang suka dan bahkan menularkannya kepada orang lain yang awalnya belum tahu perihal gosip itu. Gitu ya? Heu-euh!

Sesuai judul, ada juga kata “teror”. Eh, ini mengenang teror 11 September 2001, lalu ya? Idih, jauh amir! Bukan. Emangnya kita sekarang sedang diteror lagi ya? Jiahaha pake nanya segala. Emang nggak ngerasa ya kalo sekarang kita sedang diteror? Sadarkah bahwa di zaman digital ini kita diteror pesan oleh media massa, lebih khusus lagi media sosial. Akun-akun di twitter, facebook, dan instagram bertaburan tuh yang senantiasa meneror follower-nya atau warganet lainnya dengan pesan-pesan provokatif. Info yang ditebar sulit dibedakan apakah betulan sesuai fakta atau murni hoax, opini yang disebar pun bisa saja menyesatkan yang lebih dominan mengisi timeline.

Bener, lho. Seolah si pembuat informasi dan opini tak peduli lagi yang baca siapa, yang penting ‘lempar bom’ kata-kata atau gambar—yang karena maksudnya meneror, sangat mungkin kata dan gambar itu hoax. Tujuannya menebar ketakutan. Kita yang nggak siap menerima informasi dan opini seperti itu, kalo nggak setuju ya nolak, atau lebih parah nggak percaya lagi informasi karena sulit memilih dan memilah di antara ribuan informasi dan opini yang bertebaran di timeline twitter atau linimasa facebook.

Akibat gosip dan teror media sosial membuat sebagian besar warganet (netizen) merasa khawatir tertinggal tren, merasa terisolasi jika kudet, dan merasa minder dengan pendapatnya sendiri jika kalah banyak yang merespon untuk opini publik yang sedang berkembang. Nah, dari situ, kita bisa mengenal teori “Spiral Kebisuan”. Apa itu?

Begini. Teori Spiral Kebisuan merupakan salah satu dari teori Komunikasi Massa, teori ini dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann mengenai terbentuknya opini publik. Teori Spiral Kebisuan berangkat dari kondisi masyarakat yang merasa harus menyampaikan pandangannya tetapi berada pada posisi minoritas. Sosiolog asal Jerman ini meyakini bahwa media ikut membentuk diamnya kaum minoritas dalam spiral kebisuan.

Oya, minoritas di sini bukan berarti jumlah etnis atau pemeluk agama tertentu di suatu wilayah atau negara, lho. Tapi kondisi dimana pandangan yang benar hanya sedikit diberitakan media massa, karena yang diblow-up oleh media adalah pandangan yang salah. Sehingga minoritas jenis ini berada dalam pusaran spiral kebisuan, atau minimal bersuara hanya saja nyaris tak terdengar. Kalah dengan gemuruh suara yang salah namun dilambungkan oleh media mainstream pemilik kepentingan dan corong penguasa. Nah!

 

Di persimpangan jalan

Sobat gaulislam, banyaknya informasi dan opini membuat kita bingung sendiri. Mengambil yang mana dan membuang yang mana. Memilih dan memilah jadi sangat dilematis. Meski sebenarnya kita bisa melakukannya asalkan punya iman dan ilmu. Lho, harus melibatkan iman dan ilmu, ya? Harus, Bro en Sis! Gimana pun juga perlu standar. Perlu filter untuk memilih mana yang buruk dan mana yang baik. Mana yang benar dan mana saja yang salah. Apa saja yang terpuji dan mana saja sikap yang tercela. Semua harus ada ukurannya. Nah, iman dan ilmu itulah yang akan menjadi saringan kita dalam memilih dan memilah informasi dan opini yang kini sangat terserak di antara gosip dan teror di media massa dan media sosial.

So, sikap terbaik bukan berdiri di persimpangan jalan. Tetapi terlibat menentukan dan memilih ke arah mana kita bergerak. Diam tak selamanya selamat, bisa jadi malah membuat celaka. Bukan saja celaka bagi diri sendiri, tetapi juga celaka bagi orang lain. Diamnya kita tak selalu membuat orang bunuh diri, tetapi malah kita yang melakukan pembunuhan. Kok bisa?

Begini faktanya. Ketika kamu ngerti bahwa informasi dan opini itu salah, seharusnya segera melawan dengan memberikan bantahan. Jika diam saja karena kamu berlepas diri dari perang info dan opini akibat takut salah menyampaikan pendapatmu karena sudah kadung tersebar liar info dan opini yang salah tersebut, maka diamnya kamu di persimpangan jalan itu, akan membuat orang lain yang bingung dengan info dan opini melakukan bunuh diri (baca: mengikuti pendapat yang salah) atau kamu melakukan pembunuhan dengan cara mendorong orang lain bersikap diam juga atas kesalahan yang tersebar. Mengerikan.

Itu sebabnya, jangan berdiam diri di persimpangan jalan. Tentukan sikap dengan patokan iman dan ilmu. Ajak masyarakat untuk bersikap tegas dan jelas dalam membela kebenaran. Setuju? Kudu!

 

Viral gosip dan teror pesan

Sobat gaulislam, bagi kita yang kesehariannya nggak bisa lepas dari media sosial, maka akses internet menjadi sebuah keharusan. Apalagi internet kini dalam genggaman. Tentu saja, itu berlaku bagi kamu yang punya smartphone. Anggap saja, jika satu kelas di sekolahmu ada 30 orang siswa, maka sangat mungkin seluruh siswa punya smartphone. Jika pun tidak seratus persen punya, anggaplah hanya 90 persen saja, maka di kelasmu ada 27 orang yang punya smartphone. Jumlah yang sangat besar. Asumsinya jika di sekolahmu ada 30 kelas untuk semua jenjang dari kelas 10 sampai kelas 12, maka jumlah siswa yang memiliki smartphone sudah keitung banyak, kan? Jadi, informasi dan opini apa saja yang dilepas ke media sosial besar kemungkinan akan nyangkut di akun mereka dan meresponnya, baik dengan cara diterima atau ditolak hingga debat tak berkesudahan.

Selain info dan opini di media sosial yang serius dan berbobot—terlepas dari baik atau buruk isi pesannya, juga bertebaran info yang menjadi viral adalah hal yang remeh-temeh macam “om telolet om” atau “eta terangkanlah” dan sejenisnya. Betapa kita mudah memberikan ukuran dan gelaran yang bisa menjadi info dan opini mana yang layak diviralkan dan layak ditenggelamkan dari ribuan pesan yang berjejalan di timeline.

Jujur saja nih, bahwa kebanyakan info yang ditebar itu (dan jadi bahan perbincangan) adalah yang kontroversial, baik itu mengenai gosip artis atau politik pencitraan tokoh atau partai politik tertentu. Media sosial jadi ajang jualan, juga sekaligus medan perang info dan opini. Mereka yang bergiat di dalamnya bisa saja adalah penyebar hoax dan pencitraan untuk menutupi kebusukan diri dan kelompoknya, bisa juga adalah memang pejuang kebenaran yang melawannya dengan fakta dan keteguhan mempertahankan fakta dari pencitraan yang sesungguhnya. Beradu entah sampai kapan. Imbasnya adalah kita yang tak memiliki akses banyak dan luas untuk mendapatkan info.

Itu sebabnya, ketika harus memilih dan memilah info dan opini akan bingung sebingung-bingungnya dalam pusaran informasi dan opini tersebab yang menjadi opini publik adalah info dan opini yang  dominan walau itu salah. Kita tenggelam dalam arus spiral kebisuan jika tak berusaha melawan dengan info dan opini yang benar sesuai fakta.

 

Baik-buruk, ada di tangan kita

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Idiom the man behind the gun, rasa-rasanya pas banget buat menggambarkan bahwa teknologi dan produknya bergantung siapa yang menggunakannya. Senjata api di tangan polisi, untuk membantu melindungi masyarakat dari tindak kejahatan (seharusnya). Tapi bagi penjahat, senjata api adalah alat bantu untuk melakukan tindak kejahatannya. Itu artinya, senjata api bisa digunakan untuk kebaikan, sekaligus bisa juga dimanfaatkan untuk kejahatan.

Demikian juga dengan ponsel dan internet. Kedua produk teknologi informasi ini bisa bermanfaat, tapi sekaligus bisa mendatangkan mudharat. Bergantung kepada siapa yang menggunakannya. The man behind the smartphone or the man behind the internet. Iya nggak sih?

Oya, kudu waspada juga dengan isi tulisan. Jika kamu tidak ingin menuai kritikan dan komentar yang tak perlu dan tak seharusnya, sebaiknya dipikirkan ulang sebelum memposting isi tulisan yang: a) tulisan bernada jorok (porno), b) tulisan yang bahasanya kasar, c) tulisan yang mengandung kebencian terhadap orang lain, d) tulisan yang menyalahi norma agama dan norma masyarakat. Selain itu, nggak boleh melempar fitnah, berbohong, menipu, dan sejenisnya. Tuh, catet ya!

Maka, sudah saatnya jangan percaya akun penebar gosip dan fitnah. Apalagi saat ini sudah jelas dibenturkan antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir. Buat kita nih, ketimbang mantengin kisah cinta Hamish-Raisa dari akun gosip mending kita tanya deh sama adminnya: “kapan nih bahas kepedulian terhadap Muslim Rohingya dan muslim di belahan negara lainnya?” Jleb, tuh!

Yuk, bentengi diri dengan iman dan ilmu, agar tak mudah terprovokasi gosip dan dijejali info dan opini dari akun gosip dan akun pengirim pesan teror. Lawan, agar kita terbebas dari pusaran spiral kebisuan akibat opini publik yang dibangun dari kesalahan namun mendominasi informasi dan opini di tengah masyarakat karena kita tak kuasa menyampaikan kebenaran dan membangunnya melalui opini publik. Siap melawan? Harus! [O. Solihin | Twitter @osolihin]