Thursday, 25 April 2024, 16:43

gaulislam edisi 404/tahun ke-8 (4 Syawal 1436 H/ 20 Juli 2015)

 

Waduh, nih judul panjang dan kayaknya isinya berat dah! Huss.. jangan berburuk sangka dulu. Judulnya memang panjang, tapi nggak sepanjang KA Gajayana atau Mutiara Selatan yang kalo musim mudik laris manis (hehehe…). Ini memang sengaja judulnya panjang dan sepertinya berat untuk dipahami. Tetapi, yakinlah bahwa tema ini tetap asik untuk dibahas dan dibaca. Ok? Nanti kamu akan tahu kemana arah isi pembahasan dari judul ini. Sip!

Bagi kita, kaum muslimin di tempat yang jumlah penduduk muslimnya mayoritas, menjalankan ibadah nggak ada masalah. Tetapi bagi saudara kita di tempat yang penduduk muslimnya minoritas, mau melaksanakan ibadah saja susah. Contoh terkini adalah pada 1 Syawal 1436 H lalu. Saudara kita di Tolikara, Papua, malah nggak sempat melaksanakan shalat Id, mereka dibubarkan sekelompok orang dan masjid satu-satunya yang ada di sana dibakar. Catet, dibakar, bukan terbakar.

Sobat gaulislam, di buletin ini tak hendak merinci banyak berita, karena pasti kamu sudah dapetin dari media massa yang ada, baik cetak maupun elektronik (termasuk internet). Namun, saya ingin mengajak kamu untuk berpikir dari berita dan fakta yang hadir di media massa sejak peristiwa berdarah tersebut. Kemudian dihubunglan dengan sudut pandang pelaksanaan HAM (Hak Asasi Manusia). Lalu dinilai. Apa penilaiannya? Kalo memang mau fair, ya tentu saja melanggar banget. Namun, reaksi para pemimpin negeri ini terkesan adem ayem saja, dan media massa mainstream (arus utama) yang sering menjadi rujukan masyarakat, justru tidak berapi-api memberitakan seperti kalo yang dibakar itu gereja atau rumah ibadah agama lain. Sebaliknya malah umat Islam diminta menahan diri. Kok aneh ya?

Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigay saja yang bersama Komnas HAM mengaku melakukan penelusuran, malah berpendapat memberatkan atau dengan kata lain menyalahkan umat Islam sebagai pemicu tragedi tersebut. Aneh, korban malah disalahkan. Selain itu, Pak JK (Jusuf Kala), Wapres negeri bernama Indonesia, mengeluarkan pendapat langganannya, yakni bahwa kejadian tersebut gara-gara pengeras suara alias speaker yang bikin bising. Tentu saja, karena bahasanya seperti itu, jadi yang disalahkan adalah umat Islam. Ini laporan intelijennya yang salah, atau memang sengaja kejadian itu dibiarkan walaupun mungkin saja sudah diendus pihak berwenang? Apalagi, kabarnya surat edaran yang kontroversial dari gereja di sana—dalam hal ini jemaat GIDI (Gereja Injili di Indonesia)—yang melarang pelaksanaan shalat Id dilakukan di daerah tersebut. Hmmm… siapa nih yang intoleran dan siapa yang jadi teroris karena melakukan pembakaran masjid?

 

Ketidakadilan media massa

Sobat gaulislam, menyikapi fakta terakhir, cobalah tengok pemberitaan di media massa. Mulai dari pilihan judul. Yup, ada media massa yang menulis judul “mushola” bukan “masjid” yang dibakar massa Kristen dari jemaat GIDI di Tolikara. Mungkin saja untuk mengesankan bahwa yang dibakar itu kecil, karena di kita biasanya yang namanya mushola ukurannya lebih kecil dari masjid. Pilihan kata ini saja sudah bermasalah. Pasti ini ada maksud tertentu di balik pilihan kata tersebut.

Apa yang lainnya? Penyebutan istilah “pertikaian antar warga” untuk menggantikan “penindasan kelompok mayoritas kristen terhadap kelompok minoritas muslim”. Tentu saja istilah yang digunakan tersebut mengaburkan fakta yang sesungguhnya. Opini yang ingin dibangun melalui pemberitaan di media massa tersebut adalah bahwa kejadian itu nggak usah dipermasalahkan karena hanya pertikaian antar warga. Berbeda jika judulnya adalah penindasan mayoritas kristen terhadap minoritas muslim. Pasti jadi masalah besar. Inilah mengapa media massa mainstream menutupi fakta untuk mengaburkan yang sesungguhnya terjadi. Di sinilah kita perlu waspada dan cermat menilai sebuah berita.

Istilah teroris atau terorisme sama sekali tak ada untuk pemberitaan atas peristiwa ini. Udah lama begitu sih. Kelompok OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang udah membunuhi tentara di sana nggak pernah disebut sebagai teroris. Aneh. Berbeda jika pelakunya adalah muslim, media massa mainstream berlomba paling depan mengabarkan dan menyematkan label teroris, padahal belum jelas duduk perkaranya. Bisa dikatakan media massa jenis ini adalah media massa pengkhianat terhadap kebenaran.

Inilah beberapa contoh ketidakadilan media massa terhadap Islam dan kaum muslimin. Kamu, perlu juga tahu soal ini biar nggak gampang dibodohin or dikibulin. Kuncinya adalah jangan mudah percaya terhadap semua pemberitaan media yang bukan berasal dari kalangan kaum muslimin, apalagi media yang tujuannya menjauhkan kaum muslimin dari Islam. Waspadalah!

 

HAM yang bersayarat

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislalm. Hak Asasi Manusia (HAM), di masyarakat yang liberal adalah semacam dewa penolong. Banyak orang untuk melegalkan kebiasaan buruknya menggunakan HAM. Supaya orang yang nggak setuju dengan kelakuannya tak ada alasan memprotes. Kamu masih inget kan, pelaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) juga menggunakan senjata HAM untuk meminta legalisasi perbuatan bejatnya. Termasuk orang berkeyakinan tertentu dalihnya HAM. Semua hal yang buruk alias berlawanan dengan norma masyarakat dan norma agama, lalu menjadikan HAM sebagai pembenaran, berarti memang ada yang aneh dengan HAM.

Nah, ngomongin soal aneh, HAM juga punya cacat sebagai konsep yang tidak menunjukkan keadilan bagi kaum muslimin. Contohnya nih, dulu kasus jamaah Ahmadiyah. Bagi kaum muslimin, jamaah Ahmadiyah sudah menyimpang dari ajaran Islam. Tetapi melalui HAM banyak orang membelanya dengan alasan kebebasan beragama. Kalo memang Ahmadiyah bukan dari Islam, ya silakan. Tetapi persoalannya, Ahmadiyah masih membawa-bawa simbol-simbol Islam. Ini masalahnya. Namun, pejuang HAM malah membelanya. Selain itu, sudah jelas bahwa penganut Syiah, terutama yang rafidah, adalah kelompok yang membenci kaum muslimin (ahlu sunnah) dan bahkan mereka berani mengkafirkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi mereka pun dilindungi dengan alasan HAM.

Hadeuuuh, ini sebenarnya bukan masalah penyalahgunaan konsep HAM, tetapi memang itulah fakta kecacatan konsep HAM. Selain itu, HAM juga bersyarat. Jika pelakunya muslim, pasti nggak akan diberikan keadilan. Nggak akan dibela. Kebanyakan begitu kok. Bukti sudah banyak. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tetapi kalo pelakunya yang dari kalangan agama lain atau dari kelompok yang bukan Islam, maka pasti para pejuang dan pembela HAM mendukungnya sepenuh hati. Di sini, seharusnya banyak orang mikir. Tetapi, kadang saya merasa sedih karena ternyata banyak kaum muslimin pun nggak ngeh soal ini.

 

Pelajaran buat kita

Sobat gaulislam, setiap kejadian yang kita alami seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kita. Kita jadikan evaluasi, lalu mencari cara agar kejadian serupa yang telah kita alami tak terulang kembali di kemudian hari. Termasuk dalam persoalan ini. Pembakaran masjid di Tolikara saat kaum muslimin di sana hendak melaksanakan shalat Id kemarin, seharusnya membuat kita, kaum muslimin mengambil pelajaran. Apa saja?

Pertama, tak perlu mengantungkan diri pada konsep HAM. Sebaliknya, kita hanya menggantungkan urusan kehidupan ini kepada Allah Ta’ala. Pencipta manusia dan pembuat aturan kehidupan. HAM adalah contoh nyata aturan buat manusia yang tak manusiawi. Produk rusak dari sistem kehidupan yang bobrok bernama Kapitalisme dengan ‘akidah’ sekularismenya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maa’idah [5]: 50)

Kedua, jeli dan cermat membaca berita dan menilai sebuah berita di media massa. Nah, berarti dalam hal ini perlu juga kamu belajar apa itu jurnalisme dan bedanya dengan jurnalistik. Ini beda banget, Bro en Sis. Kalo jurnalistik adalah teknik mencari berita dan menyebarkannya kembali ke khalayak ramai, tetapi jurnalisme adalah konsep di atas teknik itu. Memilih dan memilah narasumber berita pun akan ditentukan gaya jurnalisme sebuah media massa. Menentukan judul dan isi sebuah berita pun ada aturan mainnya. Siapa yang hendak dijatuhkan dan siapa yang akan didukung juga tak luput dari campur tangan pihak tertentu sebagai pemilik modal atau pemilik kepentingan.

Silakan kamu cermati pemberitaan di media massa mainstream, pasti penuh dengan kepentingan tertentu. Tak sembarangan, lho. Bahkan tak segan untuk menghalalkan segara cara demi tujuan tercapai yang muaranya adalah hedonisme dan permisifisme, dibalut fulus berlimpah atau jabatan mentereng sebagai ganjarannya.

Itu sebabnya, jangan mudah percaya pada pemberitaan dan opini yang disebar pihak yang bukan berasal dari Islam. Jangankan begitu, dari orang fasik saja kita harus lakukan kroscek. Firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Hujuraat [49]: 6)

Ketiga, merekatkan ukhuwah islamiyah yang sering renggang jika tak ada masalah, tetapi mendadak menjadi kuat ketika ada masalah. Ini sebuah persoalan yang perlu dituntaskan. Sebab, jika ukhuwah dibangun dari keimanan dan ketakwaan, nggak mungkin berubah-ubah sesuai kondisi. Apa pun dan kapan pun, ukhuwah seharusnya tetap terikat kuat, tak pernah renggang. Memang, masih mending meski renggang. Buktinya, tetap terbakar semangat pembelaannya ketika melihat dan mendengar kabar saudaranya dianiaya. Meskipun itu berada jauh dari tempat tinggalnya. Namun, tentu saja ini belum cukup. Harus dibangun lebih kuat lagi dan dibingkai dengan keimanan dan ketakwan kepada Allah Ta’ala. Yuk, lebih rekat lagi.

Dari an-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam” (HR Bukhari, no. 6011)

Keempat, bekerjasama dengan seluruh komponen kaum muslimin untuk menegakkan syariat Islam sebagai pengatur kehidupan umat manusia secara umum. Ini momen yang tepat untuk menggalang kekuatan umat demi tegaknya syariat Islam di muka bumi ini, bukan hanya di Indonesia. Kita, kaum muslimin (seharusnya) sudah merasa bosan hidup jauh dari Islam, hidup tanpa naungan Islam yang tegak dan dibingkai oleh negara yang menjadikan Islam sebagai ideologi, sebagai pengantur kehidupan. Itu sebabnya, momen ini menjadi penanda kebangkitan Islam yang sesungguhnya. Bersiaplah!

Oke deh Bro en Sis, semoga tulisan singkat di buletin gaulislam edisi 404 ini menjadi pemantik revolusi. Bukan saja revolusi berpikir, tetapi juga revolusi fisik yang akan menghantarkan pada kejayaan Islam dan kemuliaan kaum muslimin. Dalam kasus ini, mulai untuk tinggalkan konsep HAM yang memang sudah cacat, jangan percaya kepada media massa pengkhianat. [O. Solihin | Twitter @osolihin]